Find Us On Social Media :

Wow! Ternyata Pangeran Diponegoro Sudah Gunakan Senjata Biologis saat Melawan Belanda

By Ade Sulaeman, Kamis, 11 Januari 2018 | 19:00 WIB

Caranya aliran air yang menuju benteng Belanda “dikirimi” bangkai-bangkai binatang sehingga memunculkan penyakit seperti diare dan desentri.

Kerugian besar dalam jumlah personel yang diderita Belanda membuat pasukannya berkurang drastis.

Banyak prajurit yang tewas bukan karena senjata musuh tapi justru oleh keganasan alam akibat musim hujan dan wabah malaria serta kiriman bangkai-bangkai binatang.

Pada musim hujan, senjata api yang digunakan Belanda juga sering mengalami kemacetan sehingga kurang efektif.

Apalagi dalam perang melawan pasukan Napoleon di Eropa, Belanda juga mengalami kekalahan.

Untuk menambah jumlah pasukannya, Belanda kemudian merekrut prajurit dari Afrika dan Pantai Gading dan dikenal sebagai pasukan Belanda Hitam.

Untuk menuntaskan perlawanan Pangeran Diponegoro, Belanda juga mendatangkan tentaranya yang bermarkas di Sulawesi sehingga jumlah total kekuatannya mencapai 23.000 personel.

Jenderal De Kock yang dikenal sebagai komandan yang berpengalaman menghadapi pemberontak pun diturunkan.

Berkat sistem benteng yang diterapkan, De Kock berhasil memecah belah pasukan Diponegoro sehingga kekuatannya makin melemah. Menurunnya perlawanan pasukan Pangeran Diponegoro ditandai dengan menyerahnya pemimpin spiritual perjuangan, Kyai Maja pada tahun 1829.

Tak berapa lama kemudian panglima utama Diponegoro, Sentot Alibasya dan Pangeran Mangkubumi menyerah kepada Belanda.

Kendati perlawanan laskar Pangeran Diponegoro makin melemah, Perang Jawa yang mereka kobarkan paling tidak telah memakan korban sebanyak 10.000 tentara Belanda.

Jumlah total pasukan Belanda yang diturunkan untuk melawan pasukan Diponegoro sebanyak 50.000 personel.