Find Us On Social Media :

Dituduh Selundupkan Data Pembuatan Bom Atom ke Uni Soviet, Pasangan Yahudi Ini Berakhir Tragis

By Ade Sulaeman, Sabtu, 23 Desember 2017 | 12:45 WIB

Intisari-Online.com - Kisah pembuatan bom atom secara rahasia lewat Proyek Manhattan, di Los Almos, AS tak bisa dipisahkan dari kontroversi kematian tragis pasangan suami istri muda, Julius dan Ethel Rosenberg.

Pasangan tersangka utama penyelundupan rahasia pembuatan bom atom ke Uni Soviet (Rusia) ini setelah menjalani persidangan selama tiga tahun akhirnya mengalami nasib sangat tragis.

Keduanya dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan tertinggi AS, Supreme Court.

Namun demikian peristiwa hukuman mati di kursi listrik yang sangat menggoncang sejarah AS itu masih terasa kontroversial hingga saat ini.

(Baca juga: Meski Bukan Berdarah Yahudi, Levi Eshkol Nyatanya Pernah Menjadi PM Israel dan Disebut sebagai Bapak Pemersatu Bangsa)

Masalahnya, saat dihukum mati dilaksanakan, pasangan muda nan harmonis ini memiliki dua anak yang masih kecil sementara keterlibatan Ethel sendiri masih diragukan.

Maka pelaksanaan hukuman mati yang mencerminkan perlakuan tidak berperikemanusian itu benar-benar telah mencoreng ‘’wajah AS’’ yang dikenal sangat menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.

Dari sisi sejarahnya, Julius Rosenberg lahir 12 Mei 1918 di New York dan pada 1939 lulus sebagai insinyur elektro dari City College of New York.

Tahun 1940, ia bekerja pada Army Signal Corp di bagian perlengkapan radar.

Tetapi tak banyak yang tahu kalau semasa kuliah, Yulius pernah bergabung dengan Partai Komunis AS dan menjadi pemimpin Young Communist League.

Sedangkan Ethel Grenglass Rosenberg lahir 28 September 1915 di New York.

Cita-citanya sejak kecil ingin menjadi seorang aktris dan penyanyi tenar.

Tapi ia kemudian memilih bekerja sebagai sekretaris di perusahaan kapal dagang.

(Baca juga: (VIDEO) Profesor Norman G. Finkelstein, Yahudi Korban Holocaust yang Begitu Gigih Membela Palestina)

Seperti Julius, Ethel juga tertarik dengan ideologi komunis. Ia bergabung dengan serikat buruh dan menjadi anggota Young Communist League.

Pertemuan Julius-Ethel di Young Communist League berlanjut menjadi hubungan cinta.

Mereka kemudian menikah pada 1939. Tak hanya semangat berpartai saja yang membuat mereka merasa cocok.

Sebagai sesama keturuan Yahudi mereka merasa senasib dan seperjuangan.

Selain mendukung Partai Komunis mereka juga mendukung perjuangan Uni Soviet dalam Perang Dunia II melawan Nazi Jerman.

Pasangan yang dikaruniai dua anak itu pada 1950 sontak mendunia namanya ketika diberitakan menjadi tersangka peyelundup rahasia bom atom AS kepada Uni Soviet.

FBI yang bertugas menyelidiki siapa dalang dibalik penyelundupan rahasia bom atom ke Uni Soviet meyatakan bahwa Yulius dan Ethel terlibat dalam konspirasi dan akan segera diajukan ke pengadilan.

Sebelum menahan Yulius-Ethel, penyelidikan FBI dimulai dari penangkapan Klaus Fuchs, seorang ilmuwan asal Inggris yang mengaku telah meyeludupkan rahasia bom atom dan hidrogen ke Uni Soviet.

(Baca juga: ‘Yerusalem Milik Kami, Sebagai Orang Kristen, Yahudi dan Muslim. Orang Luar Tak Boleh Ikut Campur’)

Fuchs merupakan salah seorang anggota tim ilmuwan Inggris yang turut dalam Proyek Manhattan.

Setelah mengembangkan penyelidikan, FBI juga menangkap Harry Gold, ahhli kimia asal Philadelphia yang merupakan kaki tangan Fuchs.

Selain itu ditangkap pula David Greenglass dan istriya Ruth.

David adalah adik laki-laki Ethel, pekerja pada Proyek Manhattan.

Menurut penyelidik FBI, David lah yang diyakini sebagai pengambil rahasia bom atom lalu memberikannya kepada Harry Gold, Yulius, serta Ethel.

Selanjutnya lewat akses di Partai Komunis, Yulius dan Ethel menyalurkan sketsa bom atom kepada agen Uni Soviet.

Berkat pengembangan penyelidikan, meski tapa bukti otentik berupa sketsa atau benda berbentuk lainnya, FBI kemudian meringkus Yulius-Ethel.

Penangkapan terhadap Yulius-Ethel terjadi ketika Perang Korea (1950) baru berlangsung sekitar dua minggu.

Saat ditangkap, Yulius bekerja sebagai pengelola bengkel miliknya sendiri.

Sedangkan Ethel yang menyusul ditangkap dan berstatus sebagai ibu rumah tangga, diduga telah menyebarkan informasi rahasia bom atom dengan cara membangun konspirasi antara staf konsul Uni Soviet, Harry Gold, dan David.

 Atas praduga dan “teori” itu, Yulius-Ethel selanjutnya dihadapkan ke meja pengadilan sebagai tersangka spionase dan pengkhianat negara.

Para pembela yang berjuang di pengadilan sebenarnya menyatakan Yulius dan Ethel tak bersalah, tetapi kesaksian Ruth memberatkan mereka.

Kesaksian yang diberikan Ruth benar-benar “mematikan”.

Di pengadilan Ruth bersumpah bahwa David telah menyerahkan satu sketsa dan sekumpulan teori yang menjelaskan tentang pembuatan bom atom dan kemudian diserahkan kepada Yulius.

Sementara, Ethel yang hadir dalam pertemuan itu merekam semua pembicaraan lewat tape recorder.

Bahan-bahan rahasia itu diduga telah ditransfer kepada agen rahasia Uni Soviet.

David juga memberikan kesaksian bahwa dirinya telah memberikan sketsa lain kepda Harry Gold.

Sewaktu diinterogasi oleh agen FBI, pernyataan Harry Gold makin menyudutkan Yulius.

Dalam pernyataannya Harry bahkan bersumpah secara serius.

Ia mengaku, dirinya sudah menjadi mata-mata yang bertugas menginformasikan rahasia bom atom dari ilmuwan Klaus Fuchs kepada pemerintah Uni Soviet.

Suatu kali informasi itu, menurut pengakuan Harry, berasal dari Yulius sendiri.

Kendati Yulius Etheel menolak mentah-menth semua tuduhan itu, berdasarkan kesaksian David dan Ruth Greenglass, juri tetap memutuskan mereka bersalah.

Hakim Irving Kaufman lalu menjatuhakan hukuman mati.

Sedangkan Harry Gold dan David dijatuhi hukumann 15 tahun penjara.

Bagi Irving Kaufman kesalahan Yulius-Ethel sangat fatal. Ia menilai kesalahan itu lebih buruk dibanding pembunuhan.

Apalagi bila bom atom itu bisa dibuat oleh Uni Soviet dalam bentuk lebih sempurna.

Mereka bisa menggunakannya dalam peperangan dan akan mengakibatkan jutaan rakyat tak berdosa jadi korban.

Kaufman malah melontarkan pernyataan sagat pedas, “kecitnaan mereka terhadap perkara ini lebih besar dibanding kecintaan mereka terhadap anak-anaknya”.

Oleh karena itu hukuman mati layak dijatuhkan meskipun anak mereka, Robert dan Michael, masih bocah dan sama sekali belum mengerti mengenai musibah yang sedang menimpa orangtuanya.

Putusan hakim langsung memunculkan kontroversi, apalagi banding yang dilakukan para pembela Yulius dan Ethel ke tingkat tertinggi, Supreme Court, hasilnya nihil. Mereka terkena pasal Espionage Act of 1917, “konspirasi dan tindakan spionase di masa perang yang ancamannya adalah hukuman mati”.

Kendati pada kenyataannya antara AS da Uni Soviet hanya terlibat Perang Dingin da bukan perang ofensif, keputusan pengadilan tak dapat diganggu gugat.

Mereka tetap diputuskan untuk menjalani hukuman mati pada 19 Juni 1953 berlokasi di penjara Sing Sing, New York.

Para pengacara Yulius-Ethel sebenarnya telah bekerja lebih dari dua tahun untuk paling tidak bisa menggagalkan putusan hukuman mati itu.

Upaya mereka mengajukan permohonan pengampunan ke Supreme Court berlangsung sampai 9 kali tapi hasilnya nihil.

Dua presiden AS yang memimpin di masa persidangan Yulius-Ethel, Harry S. Truman dan Dwight D Eisenhower juga tak mau memberikan grasi.

Permohonan pengampunan dan protes terhadap keputusan hukuman mati itu cukup banyak dan datang dari dalam serta luar negeri.

Salah satu di antaranya Paus Pius XII. Pemimpin umat katolik sedunia ini menyampaikan permohonan pembatalan hukuman mati itu secara tertulis.

Namun, pada Februari 1953, permohonan itu ditolak oleh Eisenhower.

Sejumlah tokoh ilmuwan yng menjadi tim di Manhattan Project, seperti Albert Einstein, termasuk yag turut memberi himbuan agar mereka dibebaskan.

Tapi himbauan para tokoh internasional ini juga ditolak.

Pada malam menjelang pelaksanaan hukuman mati lebih dari 5.000 orang berdemo di kota New York dan menolak pelaksanaan hukuman mati.

Akan tetapi aksi demo sepanjang malam itu tak mempengaruhi apapun.

Hukuman mati akhirnya dijatuhkan dan kotroversi terhadap kematian tragis Yulius-Ethel terus memanas.

Publik masih menganggap pengadilan dan pelaksanaan hukuman mati itu tidak fair.

Mereka memprotes hukuman mati yang dilakukan bukan disebabkan oleh kasus rahasia bom atom itu sendiri tapi karena “tekanan politik”.

Perang Korea, ancaman komunis dan demam Perang Dingin yang terus melanda AS sengaja dimanfaatkan sebagai kambing hitam.

Yulius-Ethel juga dianggap sebagai korban konspirasi mengingat bukti bahwa mereka telah mencuri dokumen rahasia lalu diberikan kepada seseorang tak perah bisa ditunjukkan.

(Baca juga: Israel 'Merdeka' karena Eropa Merasa Berutang Budi pada Bangsa Yahudi Sekaligus Ingin ‘Cuci Tangan’)