Find Us On Social Media :

60 Tahun Jadi Pasukan PBB Tunjukkan Indonesia Terus Memperjuangkan Perdamaian Timur Tengah

By Moh Habib Asyhad, Selasa, 19 Desember 2017 | 14:45 WIB

Intisari-Online.com - Hingga tahun 2017 ini pasukan PBB Indonesia telah bertugas selama 60 tahun demi memperjuangkan perdamaian di dunia.

Bertugas sebagai pasukan PBB, bagi pasukan TNI dan Polri sebenarnya merupakan hal biasa serta  juga sudah cukup pengalaman.

Dari sisi sejarahnya Indonesia sudah memiliki pasukan PBB yang terkenal dengan nama Kontingen Garuda Indonesia (Konga).

(Baca juga: Meski Tergolong Tua, Inilah yang Membuat Jet Tempur F-14 Tomcat Iran Masih Tetap Berjaya di Udara Timur Tengah)

(Baca juga: Demi Terkuat di Eropa dan Timur Tengah, Turki Kembangkan Jet Tempur Siluman)

Pasukan PBB Indonesia ini bahkan sudah bertugas sejak tahun 1957 ketika Mesir dilanda konflik militer di wilayah perbatasannya.

Pengiriman misi Konga yang pertama kali dilakukan pada bulan Januari 1957.

Pengiriman misi Konga dilatarbelakangi adanya konflik di Timur Tengah terkait masalah nasionalisasi Terusan Suez yang dilakukan oleh Presiden Mesir Gamal  Abdel Nasser pada 26 Juli 1956. 

Nasionalisasi Terusan Suez langsung memicu konflik karena awalnya pengelolaan Terusan Suez adalah perusahaan Inggris dan Prancis bernama The Suez Company.

Akibatnya militer Inggris dan Prancis pun bertindak diikuti oleh militer Israel yang justru melancarkan serangan ke Mesir paling duluan.

Situasi di Mesir itu jelas mengancam perdamaian dunia karena militer Rusia mengancam juga akan turun tangan membantu Mesir.

Dewan Keamanan PBB pun segera bertindak dan mendesak pihak-pihak yang bersengketa segera melakukan perundingan damai.

Demi mengatasi krisis di Mesir, dalam Sidang Umum PBB Menteri Luar Kanada Lester B Perason mengusulkan agar dibentuk suatu pasukan PBB untuk memelihara perdamaian di Timur Tengah.

(Baca juga: Kekuatan Udara Turki Paling Besar di Timur Tengah, tapi…)

(Baca juga: Lima Jet Tempur Super Canggih Inilah yang Menjadi Andalan Turki dan Negara-Negara Timur Tengah)

Usul ini disetujui sidang dan pada tanggal 5 November 1956 Sekjen PBB membentuk sebuah komando PBB dengan nama United Nations Emergency Forces (UNEF). 

Sejumlah negara, termasuk Indonesia pun menyambut baik terbentuknya UNEF itu dan berjanji mengirimkan pasukan perdamaian.

Sebagai wujud pelaksanaanya, pada 28 Desember 1956, Indonesia (TNI) membentuk pasukan pemelihara perdamaian berkuatan satu detasemen (550 orang) yang terdiri atas kesatuan-kesatuan Teritorium IV/Diponegoro dan Teritorium V/Brawijaya.

Kontingen Indonesia untuk UNEF yang diberi nama Pasukan Garuda ini diberangkatkan ke Timur Tengah pada bulan Januari 1957.

Partisipasi pasukan perdamaian PBB Indonesia terus berlanjut.

Untuk kedua kalinya Indonesia mengirimkan kontingen pasukan PBB yang  diperbantukan kepada United Nations Operations for the Congo (UNOC) sebanyak satu batalyon.

Pengiriman pasukan ini terkait munculnya konflik politik yang memicu perang saudara di Kongo (Zaire). 

Demi mencegah pertumpahan darah yang lebih banyak, maka PBB membentuk Pasukan Perdamaian untuk Kongo, UNOC.

Pasukan perdamaian PBB Indonesia yang dikirim ke Kongo dinamai Pasukan Garuda II, dan kekuatan tempurnya terdiri atas Batalyon 330/Siliwangi, Detasemen Polisi Militer, dan Peleton KKO Angkatan Laut.

Pasukan Garuda II berangkat dari Jakarta tanggal 10 September 1960 dan menyelesaikan tugasnya di Kongo  pada bulan Mei 1961.

Hingga saat ini pun pasukan PBB Indonesia baik dari TNI maupun POLRI masih bertugas di sejumlah negara untuk memelihara perdamaian.

Jumlah personel Indonesia yang tengah bertugas dalam berbagai United Nation Peacekeeping Operation/UN PKO (sesuai data United Nations Department of Peacekeeping Operations per 30 November 2015) adalah sejumlah 2.840 personel, dan menempatkan Indonesia di urutan ke-12 dari 124 Troops/Police Contributing Countries (T/PCC).

Personel dan Pasukan Kontingen Garuda tersebut bertugas di 10 negara, yaitu UNIFIL (Lebanon), UNAMID (Darfur,Sudan), MINUSCA (Repubik Afrika Tengah), MONUSCO (Republik Demokratik Kongo), MINUSMA (Mali), MINURSO (Sahara Barat), MINUSTAH (Haiti), UNMIL (Liberia), UNMISS (Sudan Selatan), dan UNISFA (Abyei, Sudan).

Salah satu misi spektakuler pasukan PBB Indonesia adalah ketika bertugas di kawasan konflik di Darfur, Sudan.

Pasukan PBB Indonesia yang tergabung dalam UNAMID berusaha keras menciptakan perdamaian.

(Baca juga: Meski Bukan Berdarah Yahudi, Levi Eshkol Nyatanya Pernah Menjadi PM Israel dan Disebut sebagai Bapak Pemersatu Bangsa)

(Baca juga: Golda Meir, PM Wanita Israel yang Nyaris Menggunakan Bom Nuklir dalam Perang Yom Kippur)

Meski militer Sudan kerap tidak menunjukkan sikap  kooperatif  dengan cara menyerang warga sipil menggunakan pesawat tempur.

Di dalam situasi yang rawan itu pasukan PBB Indonesia yang terdiri dari unsur TNI dan Polri, salah satu tugasnya adalah mengawal bantuan kemanusian dan melindungi warga sipil dari korban perang.

Tindakan secara militer yang sebenarnya tidak disukai oleh kalangan militer Sudan sendiri.

Tapi pasukan PBB Indonesia harus tetap teguh menjalankan tugasnya.

Pada tahun 2015 pasukan PBB Indonesia yang dikirim ke Sudan berjumlah cukup besar dan merupakan pasukan yang terlatih baik.

Sebanyak 800 pasukan yang dikirim dilengkapi 34 unit panser ANOA, 30 truk transport, dan 34 kendaraan ringan lainnya.

Selain bertugas untuk misi pengawalan  pengiriman bantuan kemanusiaan, pasukan PBB Indonesia juga mendapat tugas membangun fasilitas kesehatan dan pendidikan.

Tugas-tugas kemanusiaan  yang diemban oleh pasukan PBB Indonesia di Darfur tetap beresiko.

Sekitar 192 pasukan UNAID dari berbagai negara telah gugur dalam tugas.

Pasukan PBB Indonesia sendiri sejak tahun 1950 hingga sekarang, telah mengirimkan lebih  25.000 personel Pasukan PBB dan 31 di antaranya telah gugur dalam tugas.

Konflik Hizbullah-Israel yang berlangsung pada bulan Agustus 2006  dan telah memporak-porandakan wilayah Lebanon Selatan untuk mengatasinya juga perlu kehadiran pasukan PBB (UNIFIL), termasuk pasukan PBB dari Indonesia.

Pemerintah Indonesia menyiapkan 1000 pasukan perdamaian  dan satuan tugas ini kemudian diberi nama Kontingen Garuda XXIIIA.

Pasukan ini dilengkapi dengan semua peralatan pendukung seperti ranpur kavaleri lapis baja, alat-alat berat, kendaraan trnsport militer dan logistik, tangki-tangki air minum dan BBM, dan lainnya  dengan biaya pengiriman mencapai Rp 380 miliar.

Pengiriman pasukan Konga XXIIIA berlangsung pada bulan Oktober 2006.

Negara-negara lain  yang saat itu turut mengirimkan pasukan perdamaian PBB ke Lebanon adalah Uni Eropa.

Permintaan PBB untuk mengawal perdamaian di perbatasan Lebanon-Israel memang cukup besar, yakni lebih dari 15.000 pasukan.

Pasukan Italia yang diberi mandat untuk memimpin pasukan PBB di Lebanon, mengirimkan sebanyak 3.000 pasukan.

(Baca juga: Meski Pernah Membantai Ribuan Orang, Tentara Nazi Ini Akhirnya Dipercaya Jadi Pasukan Perdamaian PBB)

Perancis yang mengirimkan 200 pasukan perdamaian dan pernah menjadi serangan bom di Beirut bahkan bersedia menggenapi pasukan perdamaiannya menjadi 2000 personel. 

Pada awalnya, Perancis sebenarnya enggan menambahi pasukannya

Pasalnya  pada tahun 1983, 58 pasukan PBB-nya tewas di Beirut dan pada tahun 1990 sebanyak 84 pasukan PBB-nya gugur di Bosnia.

Negara Uni Eropa lainnya yang pada saat itu mengirimkan pasukan PBB demi memenuhi permintaan PBB antara lain Finlandia yang bersedia mengirimkan 250 pasukannya, Spanyol mengirimkan 1000 personel, Belgia mengirim 400 personel, termasuk pasukan yang ahli menjinakkan ranjau, dan tim medis.

Sedangkan negara-negara yang tidak mengirimkan pasukan namun berjanji akan membantu logistik dan pengamanan luar Lebanon adalah Jerman, Belanda, dan AS.

Jerman membantu pengamanan laut Lebanon demikian juga Belanda.

Sementara AS yang beberapa kali mengalami kerugian besar akibat banyaknya pasukan AS yang gugur di Beirut dalam aksi bom bunuh diri, tidak mengirim pasukan dan hanya membantu logistik pasukan PBB.

Kehadiran pasukan PBB  di perbatasan Lebanon dan Israel yang dimulai pada tahun 2006 itu terus berlanjut hingga saat ini.