Penulis
Intisari-Online.com – Matera adalah sebuah kota di wilayah Basilicata, di Italia Selatan. Kota cantik ini dikenal sebagai ‘la Citta Sotterranea’ atau ‘Kota Bawah Tanah’.
Sejak tahun 1993, kota ini dianggap sebagai salah satu Situs Warisan Dunia oleh UNESCO.
Lalu pada tanggal 17 Oktober 2014, Matera dinyatakan sebagai wakil Italia dalam Ibukota Budaya Eropa untuk tahun 2019 bersama kota Plovdiv, Bulgaria.
Tapi tahukah Anda bahwa sebelum mendapat pujian dari seluruh dunia, Matera pernah disebut sebagai kota miskin di Italia?
(Baca juga:Kota di Italia Ini akan Membayar Kita hingga Rp31 Juta Jika Bersedia Tinggal di Sana, Tertarik?)
(Baca juga:Rumah Mode Italia Ini Luncurkan Gaun Hitam 'Kantong Sampah' Seharga Rp9,9 Juta, Tertarik Membelinya?)
Ya, Matera merupakan salah satu kota paling miskin di Italia.
Luigi Plasmati (89), salah seorang penduduk setempat, bercerita kepada theguadian.com tentang bagaimana kemiskinan kronis pernah melanda Matera.
“Sangat brutal jika mengingatnya,” cerita Luigi.
“Pernah ada sebuah keluarga dengan sembilan atau 10 anak, tidur di samping keledai dan babi. Kami juga sangat kelaparan.”
Kurang dai 70 tahun yang lalu sekita 15.000 orang, kebanyakan petani, masih tinggal di grotto (gua alami atau buatan yang digunakan manusia pada zaman modern dan kuno).
Grotto di Mareta diukir dari batu kapur yang berasal dari zaman prasejarah. Tempatnya lembab tanpa cahaya alami, ventilasi, air mengalir, atau listrik.
Banyak penduduk yang terkena penyakit, seperti malaria, kolera (diare akut), dan tifoid (demam karena infeksi).
“Tempat tidur itu langka. Anak-anak biasanya tidur terjepit bersama orangtua mereka di ranjang yang dibangun untuk ayam.”
“Keluarga besa akan berkumpul mengelilingi sebuah meja kecil sehari sekali untuk berbagi roti sederhana dengan pasta atau kacang-kacangan.”
(Baca juga:Kreatif, Komunitas Remaja Italia Ini Gabungkan Sepeda dan Musik, Begini Hasilnya)
Tingkat kematian anak tinggi dan Luigi telah kehilangan salah satu dai lima saudara kandungnya. Sementara mereka yang bertahan tumbuh dengan kondisi buta aksara (ketidakmampuan untuk membaca dan menulis).
“Saya bekerja sejak usia enam tahun, pergi pagi-pagi untuk memotong gandung di ladang.”
Kondisi Matera mendapat perhatian internasional ketika penulis Carlo Levi diasingkan pada tahun 1935.
Dalam bukunya yang berjudul Christ Stopped at Eboli, yang terbit tahun 1945, Levi menggambarkan kengeriannya tentang tidak ada rumah, anak-anak telanjang, tubuh dipenuhi penyakit, dan masih banyak lagi.
“Saya tidak pernah melihat kemiskinan yang parah seperti ini,” ungkap Levi.
Melihat tulisan Levi, perdana menteri Italia saat itu, Alcide De Gasperi, mengunjungi Matera tahun 1950.
Setelah berkeliling, Gasperi langsung mendorong pemerintah mengambil langkah drastis untuk menyelamatkan warga di sana.
Uang dari pemerintah mengalir sangat banyak. Penduduk dibuatkan rumah, diberi makanan dan pakaian, serta diobati.
(Baca juga:Di Italia, Memasak Makanan Berbau Menyengat Dianggap Tindak Kriminal! Ada-ada Saja! )
“Untuk pertama kalinya kami melihat banyak air yang mengalir dari keran,” tutu Luigi.
Setelah terbengkalai selama bertahun-tahun, akhirnya Matera berhasil bangkit.
Bahkan kota ini menjadi salah satu tujuan wisata selain kota-kota besar dan indah lainnya di Italia.