Find Us On Social Media :

Patah Hati Setara Serangan Jantung, Kerusakan yang Diakibatkan Bisa Permanen di Tubuh Penderitanya

By Moh Habib Asyhad, Selasa, 14 November 2017 | 19:00 WIB

Intisari-Online.com – Anda pernah mengalami patah hati? Ada penelitian terbaru tentang patah hati.

Menurut peneliti dari Inggris, tekanan emosi yang berat (patah hati) dapat merusak jantung seperti halnya sebuah serangan jantung.

Di Inggris sedikitnya ada 3.000 orang dewasa menderita ‘sindrom patah hati’ setiap tahunnya.

Namun, sindrom yang dikenal juga dengan nama ‘takotsubo’ ini jumlah sesungguhnya mungkin lebih banyak lagi.

Patah hati biasanya dipicu sebuah kehilangan dan terjadi ketika stres akan sesuatu menyebabkan otot jantung menjadi terdiam dan melemah.

Namun, sampai saat ini dokter mengira kerusakannya hanya sementara dan akan sembuh dengan berjalannya waktu.

(Baca juga: (Video) Karena Patah Hati, Pawang Ular Ini Bunuh Diri dengan Cara Membiarkan Dirinya Dipatuk Ular Mamba)

(Baca juga: Inilah 5 Hal yang Terjadi pada Tubuh Bila Mengalami Patah Hati, Apakah Anda Pernah Merasakannya?)

Tetapi ternyata, peneliti dari University of Aberdeen menemukan bahwa kondisi jantung melemah secara permanen, setara dengan sebuah serangan jantung.

Sejauh ini, penelitian yang berlangsung panjang, itu diikuti oleh 37 pasien dengan takotsubo rata-rata selama 2 tahun.

Mereka menjalani pemeriksaan gelombang suara tinggi dan MRI pada jantung mereka.

Ternyata, ditemukan kerusakan yang terlihat sudah berlangsung lama setelah peristiwa terjadi yang memicu kali pertama kondisi ini.

Banyak pasien sangat mudah menjadi lemah dan tidak dapat berolahraga meskipun dokter menduga mereka telah sembuh.

Peneliti mengatakan, pasien seharusnya ditawarkan obat yang sama dengan mereka yang jantungnya rusak akibat sebuah serangan jantung.

Dilansir dari situs Mail Online, Senin (13/11), peneliti mempresentasikan penelitian mereka pada ajang American Heart Association Scientific Sessions di Anaheim, California, Amerika Serikat.

Takotsubo menjadi meningkat dari yang diduga sebelumnya. Begitu menurut ketua penelitian di University of Aberdeen, Dr. Dana Dawson.

“Ini adalah penelitian lanjutan yang lama akan efek jangka panjang dari takotsubo. Dan penelitian ini memperlihatkan secara jelas efek rasa sakitnya permanen pada jantung peneritanya,” kata Dr. Dana Dawson.

Pasien patah hati ini tidak mempu melakukan olahraga secara fisikal dan lebih gampang lelah.

Peneliti memperlihatkan bahwa takotsubo membutuhkan perawatan yang samma mendesaknya dengan orang yang mengalami masalah jantung.

Selain itu, pasiennya butuh perawatan terus menerus untuk efek jangka panjangnya.

Disebutkan pula bahwa wanita lebih umum terpengaruh kondisi ini dibandingkan pria.

Diperkirakan kasusnya lebih banyak dibandingkan yang diketahui.

“Takotsubo adalah sebuah penyakit yang menghancurkan yang dapat merusak kesehatan seseorang secara tiba-tiba,” kata Prof. Jeremy Pearson, Direktur Asosiasi Medis di Yayasan Jantung Inggris.

Ia menambahkan, sebelumnya para dokter mengira efek penyakit yang mengganggu kehidupan ini hanya sementara saja.

Namun kini, para dokter dapat melihat takostubo dapat berlanjut memengaruhi penderitanya di sisa hidup mereka.

(Baca juga: Kecanduan Bedah Plastik, Pria ini Justru Mengalami Ereksi Permanen)

(Baca juga: Patah Hati, Penguin Ini Tambatkan Hatinya pada Karakter Animasi. Lucu atau Justru Kasihan?)

“Pengobatannya tidak dalam jangka waktu singkat bagi mereka yang menderita takotsubo, karena kami salah menduga pasien telah sembuh sepenuhnya,” lanjut Prof. Jeremy Pearson.

Penelitian terbaru ini memperlihatkan ada efek jangka panjang pada kesehatan jantung.

Karena itu, pasiennya harus dirawat dengan cara yang sama seperti mereka yang beresiko gangguan jantung.

Kondisi ini terjadi ketika stres yang berat menyebabkan jantung menjadi terdiam, pada bilik jantung sebelah kiri, dan berubah bentuknya.

Takotsubo kali pertama diidentifikasi di Jepang pada 1990-an.

Istilah takotsubo berarti mangkuk octopus, yang menggambarkan kecacatan bentuk dari jantung.

Ilmuwan masih mencoba memahami bagaimana tepatnya hal itu terjadi dan mengapa hanya beberapa orang yang mengalami, sementara yang lainnya tidak.

Pada tahun lalu, penelitian di Swiss menemukan kondisi ini umumnya dipicu oleh peristiwa yang menggembirakan maupun yang menyedihkan.