Find Us On Social Media :

Mulai dari Pattimura Hingga Tan Malaka, Inilah para Pahlawan Tanpa Makam di Indonesia

By Ade Sulaeman, Jumat, 10 November 2017 | 13:45 WIB

Sejarawan Belanda, Harry Poeze berdasarkan hasil penelitian selama bertahun-tahun dengan riset kepustakaan dan serangkaian wawancara di Jawa Timur menyimpulkan, Tan Malaka ditembak di Desa Selopanggung, kaki Gunung Wilis, Kediri.

Oleh sebab itu dilakukan  penggalian di sana tanggal 12 November 2009. Semula diperkirakan hasilnya sudah bisa diperoleh dalam dua-tiga minggu. Namun terjadi keterlambatan karena kesulitan mendapatkan hasil di Jakarta sehingga sampelnya terpaksa diperiksa di Australia. Namun ini temyata belum membuahkan kesimpulan.

Tanggal 8 Maret 2010 diumumkan laporan penyelidikan tes DNA kerangka jenasah yang diduga Tan Malaka, di Jakarta, setelah tertunda sekian lama. Tim Identifikasi Tan Malaka terdiri atas dua dokter spesialis forensik Djaja Surya Atmadja dan Evi Untoro serta dokter gigi Nurtamy Soedarsono (ahli odontologi forensik).

Pada kedalaman 2 m mereka menemukan sebuah kerangka, tanpa rambut, terbaring dalam posisi miring menghadap ke barat, dengan kedua lengan bawah tersilang ke belakang. Di sekitar leher, tungkai maupun lengan tidak didapatkan tali maupun bahan pengikat lainnya.

Kerangka dalam keadaan rapuh, sebagian besar tulang kecil sudah tidak ada lagi, tulang-tulang panjang hanya ada bagian tengahnya saja, rapuh, dan bagian sumsumnya berisi akar dan tanah.

Sebelumnya, dari pihak keluarga diperoleh keterangan bahwa Tan Malaka tidak merokok, mempunyai gigi geraham yang terbuat dari emas tetapi tidak jelas geraham yang mana.

Tidak lama sebelum meninggal ia pernah ditembak tungkainya (tak jelas apakah tungkai kanan atau kiri), sehingga Tan Malaka agak pincang. Ia juga mengidap penyakit paru menahun, yang ditandai dengan adanya riwayat sesak napas.

Pemeriksaan antropologi forensik menunjukkan kerangka tersebut seorang laki-laki, ras Mongoloid, tinggi badan 163 - 165 cm, dikubur secara Islam, tanda patah tulang tidak jelas.

Pemeriksaan odontologi forensik terhadap rahang dan gigi geligi menunjukkan kerangka adalah seorang laki-laki, ras Mongoloid, usia 40 - 60 tahun, atrisi berat pada semua permukaan gigi depan, dan ada riwayat pernah sakit gigi.

Pemeriksaan DNA yang dilakukan pada kasus ini adalah pemeriksaan Y-Short Tandem Repeats (Y-STR). Y-STR merupakan DNA inti (c-DNA) yang diturunkan secara total dari seorang pria kepada semua anak laki-lakinya. Pada kasus ini, Y-STR diturunkan oleh ayah Tan Malaka kepada Tan Malaka dan adik laki-lakinya.

Adik laki-lakinya kemudian menurunkan DNA yang sama kepada anak laki-lakinya, yaitu Zulfikar yang sekarang masih hidup. Jika benar kerangka yang diperiksa adalah Tan Malaka, maka profil Y-STR dari kerangka tersebut akan sama persis dengan profil Y-STR dari Zulfikar.

Pemeriksaan terhadap sampel gigi maupun tulang atap tengkorak tidak berhasil mendapatkan DNA manusia dari sampel-sampel tersebut, sehingga tidak berhasil didapatkan profil Y-STR dari kerangka tersebut.

Pengulangan pemeriksaan Y-STR terhadap sampel-sampel tersebut pada beberapa lab DNA lainnya, baik di dalam dan maupun di luar negeri, juga gagal mendapatkan DNA dan profil Y-STR dari kerangka yang diduga Tan Malaka tersebut.

Sampai saat ini, tim investigasi masih berusaha untuk mengekstraksi dan mencari profil Y-STR kerangka di lab DNA lain, yaitu di Korea Selatan dan RRC.

Penyebab terjadinya keadaan "kerangka tanpa DNA" seperti yang ditemukan pada kasus ini dikenal sebagai kasus bog body, yang dapat terjadi akibat pengaruh lingkungan yang lembab dan basah di sekitar kerangka, yang terkubur di daerah aliran sungai.

(Dr. Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI, di Jakarta)