Find Us On Social Media :

Clare Wolfowitz, ‘Wong Ndeso Amerika’ yang Cinta Mati dengan Tokoh Wayang Bima

By Ade Sulaeman, Selasa, 7 November 2017 | 16:00 WIB

Intisari-Online.com – Bahwa istri dubes AS ini sudah pernah ke Indonesia dalam program pertukaran pelajar AFS, 26 tahun yang silam, sudah sering diberitakan.

Namun, bahwa Clare seorang doktor antropologi yang ahli tentang bahasa Jawa Suriname mungkin belum banyak yang tahu.

Suatu hari di tahun 1962, seorang gadis kulit putih melenggak-lenggok lincah, menari Jawa di depan ibu-ibu PKK di Yogyakarta.

Gadis berambut pirang berumur enam belas tahun itu bernama Clare Selgin, salah satu dan dua anak Dr. Paul Selgin, seorang ahli elektronika di New York.

(Baca juga: Cerita Wayang Sasak Ciptaan Amaq Darwilis yang Menembus Pasar Amerika dan Eropa)

Tiga bulan lamanya ia tinggal di Yogya, mengikuti program pertukaran pelajar yang disponsori AFS (American Field Service).

Bagi Clare, itu adalah pengalaman yang luar biasa. Soalnya, "Saya sama sekali tidak pernah menari sebelumnya. Itu adalah pengalaman pertama," kenangnya.

Masih segar dalam ingatannya dengan kostum lengkap ia menari bersama Ratna, anak Dr. Soetarto, orang tua angkatnya di Yogya.

Ia juga tak lupa, waktu itu ia melakukan kesalahan kecil dalam gerak tari golek yang dibawakannya.

Namun, siapa nyana itu semua merupakan awal kisah cinta Clare yang panjang dengan dunia tari. "Waktu itu saya baru menyadari bahwa saya sangat senang menari."

Sekembalinya ke New York, Clare lantas saja masuk ke Sekolah Tari Martha Graham, salah seorang penari Amerika terkenal. Tak kurang dari sepuluh tahun ia belajar dan mendalami seni tari modern dan balet.  

Sementara itu, ia juga tak melupakan Yogya dan tari Jawanya. Ia sempat ikut berlatih dan melakukan pergelaran bersama kelompok karawitan Kedutaan Besar Indonesia di Washington.

(Baca juga: Tradisi Jawa Ruwatan dengan Pergelaran Wayang Kulit)

Doktor antropologi

Clare tak hanya terpesona oleh seni tari Jawa, tapi pada kebudayaan Jawa secara keseluruhan. Pengalamannya di Yogya sungguh membawa perubahan besar pada dirinya.

 Ia yang mulanya tak tahu apa-apa tentang Indonesia, kemudian malah bercita-cita menjadi ahli antropologi yang menguasai seluk-beluk kebudayaan Jawa. Jadi, bukan kebetulan kalau Clare memutuskan mengambil kuliah antropologi selulusnya dari SMTA.

Ia belajar tak tanggung tanggung. Setelah meraih gelar BA di di Universitas Cornell, ia meneruskan studinya di London School of Economics sampai mendapat gelar Master of Philosophy.

Perkawinannya dengan Paul Wolfowitz, kakak kelasnya semasa di Cornell, 1968, dan kelahiran Sarah dan David, dua anaknya yang pertama, tak memudarkan semangatnya. Ia meneruskan belajar lagi di Universitas John Hopkins, dan akhirnya menggondol gelar doktor pada tahun 1983.

Untuk menyusun disertasinya, Clare sebenarnya ingin sekali melakukan riset di Indonesia, tapi kesulitan mendapatkan dana dan izin memaksanya mengubah rencana.

Karena tetap ingin menulis sesuatu tentang kebudayaan Jawa, akhirnya ia melakukan penelitian lapangan di antara kaum imigran Jawa di Suriname, Amerika Selatan.

Language Style and Social Space: A Sunname Javanese Sign System, begitu judul disertasi setebal 379 halaman yang ditulisnya dan, katanya, akan segera diterbitkan.

(Baca juga: Ada Wayang Kuno Di Taiwan)

Orang-orang Jawa yang ada di Suriname — dulu, Guyana Belanda – adalah  keturunan  kaum buruh perkebunan yang didatangkan pemerintah kolonial antara tahun 1900 -  1925.

Sebagian besar dari mereka berasal dari daerah Bagelen, Banyumas, Solo dan Yogyakarta. Tak heran orang Jawa Suriname umumnya tidak mengenal bahasa Indonesia. Kalaupun bisa, bahasa Indonesia yang mereka pakai amat sederhana.

Disadari atau tidak, bahasa Jawa di Indonesia terus berkembang sejak masa kemerdekaan. Tidak demikian halnya dengan di Suriname. Pengaruh bahasa Belanda ada, tetapi hanya sedikit. Bahasa mereka boleh dikata "ketinggalan zaman".

Namun, justru inilah yang menarik perhatian Clare. la juga ingin mengetahui, apakah dalam masyarakat petani sederhana yang serba homogen dan jauh dari tradisi keraton itu masih ada juga penggunaan bahasa tinggi? Setelah menelitinya, kesimpulan Clare adalah, ya.

Banyak suka-duka dialaminya selama tujuh bulan bercampur gaul dalam orang-orang Jawa — Suriname. Dalam disertasinya Clare misalnya menulis bagaimana ia seperti seorang tukang ikan, keluar-masuk rumah orang untuk melakukan pengamatan dan wawancara.

Selama melakukan penelitian Clare lebih banyak memakai bahasa Jawa ngoko, bahasa Jawa rendah, dan bukan boso, bahasa Jawa tinggi. Juga jika ia berbicara pada mereka yang menjadi tuan rumahnya.

Akibatnya, ia sampai dijuluki wong desa Amerika - orang desa Amerika - , oleh kenalan-kenalan Jawa-Surinamenya.

(Baca juga: Wayang Potehi yang Sempat Mati Suri)

Takut menjadi nyonya duta besar

Pucuk dicinta, ulam tiba, mungkin kiasan yang paling tepat untuk melukiskan perasaan Clare saat mendengar suaminya, Paul Wolfowitz, terpilih menjadi duta besar Amerika Serikat di Indonesia, tahun 1986.

Ia memang sudah sejak lama ingin menginjakkan kaki lagi di Indonesia. Ia kangen pada Yogya yang telah memberinya kenangan masa muda yang tak terlupakan.

"Saya punya orang tua di sini, saya punya keluarga di Yogya," katanya sekali waktu seperti yang dikutip Harian Kompas.Yang dimaksud tentu saja keluarga Dr. Soetarto, yang tinggal di Jl. Jetis (kini Jl. A.M. Sangaji), Yogyakarta.

Sayangnya, suami-istri Soetarto kini sudah tiada. Clare dan keluarga menyempatkan diri khusus terbang ke Yogya waktu Dr. Soetarto meningal dunia, Agustus tahun lalu.

"la seorang dokter yang rajin sekali. "la bekerja sejak pagi di rumah sakit, dan biasanya baru pulang ke rumah pukul 21.00 dari klinik pribadinya," begitu kesan Clare tentang bekas induk semangnya.

Ibu Soetarto yang aslinya bernama Dahlia sudah lebih dulu meninggal dunia, 1973. Untuk mengenang kebaikannya, Clare memberi anaknya yang ketiga nama Rachel Dahlia.

"Ibu Clare sudah minta izin pada kami untuk memakai nama ibu bagi anaknya," kata Ny. Rini Baroto Sarjadi, salah seorang anak Dr. Soetarto.

Meski merasa senang waktu akan ikut suaminya bertugas di Indonesia, Clare juga mengaku merasa sangat takut.

"Saya tidak tahu sudah seberapa jauh Indonesia berubah. "Ternyata, it feels the same. Tradisi di sini sudah berusia ratusan tahun; jadi waktu 25 tahun mungkin tidak berarti apa-apa."

Namun, menurut Clare, ada satu hal lagi yang lebih menakutkannya, yakni menjadi istri duta besar. "Saya 'kan belum pernah menjadi nyonya duta besar," katanya sambil tertawa.

"Ternyata, hal ini pun tak apa-apa. Orang tidak menuntut apa-apa dari saya. Mereka hanya ingin kenal saja. Menurut perasaan saya, orang Indonesia selalu melihat langsung pada pribadi, begitu mereka melewati perkenalan pertama."

"Apakah menurut Anda, pengalaman ikut program AFS banyak bermanfaat bagi Anda dalam menjalankan tugas sebagai nyonya duta besar di sini?"

"Oh, there's no question. Jelas sekali!" Kata Clare tegas.

Paul ternyata lebih ahli

Paul dan Clare Wolfowitz mungkin pasangan duta besar negara sahabat yang memiliki perhatian paling besar pada masalah-masalah seni dan budaya Indonesia. Bukan luar biasa kalau kita melihat pasangan suami-istri ini menghadiri pergelaran wayang kulit, pameran lukisan atau pertunjukan film Indonesia.

Sebagian sahabat-sahabat kental mereka di sini juga terdiri atas para budayawan dan seniman.

Banyak orang mengira bahwa Clare-lah yang banyak mempengaruhi sang suami dalam hal ini. Termasuk usaha Paul Wolfowitz mempelajari bahasa Indonesia,  konon, antara lain, dari supir pribadinya, yang membuatnya kini mampu berpidato dengan lancar dalam bahasa Indonesia.

Clare, yang sudah sejak lama mendalami pengetahuan tentang kebudayaan Indonesia, tentu saja banyak menunjang citra sang suami sebagai duta besar AS yang istimewa. Namun, ia menyangkal bahwa itu semua disebabkan karena pengaruhnya.

"Tentang Indonesia, suami saya sebetulnya tahu lebih banyak daripada saya," katanya merendah. "Ia sangat menyukai sejarah. Kalau senggang ia biasa membaca sejarah, surat kabar, sampai novel Indonesia. Banyak orang mengira itu semua karena saya. Padahal, pengaruh saya hanya sejauh bahwa saya berpendapat Indonesia adalah negeri yang amat menarik dan istimewa. Baginya, yang paling menarik mungkin soal pemerintahan. Namun, lambat laun ia juga menyukai wayang, batik dan hal-hal lain."

Bagi Clare, memang sisi kebudayaannyalah hal yang paling menarik dari Indonesia. Misalnya saja, "Beberapa waktu yang lalu ada Malam Sumatra Barat di sini (maksudnya, di rumah keluarga Wolfowitz, Red.). Waktu itu, antara lain, ada peragaan adat membawa pulang suami. Menurut ajaran Islam, yang sudah sejak lama dianut orang Sumatra Barat, suami tidak masuk ke dalam keluarga istri. Namun, rupanya, mereka memadukan agama dan tradisi. Bagi saya, itu sangat menarik," begitu Clare bercerita.

Sibuk mengurus anak

Ditanya soal kegiatannya sehari-hari di luar acara-acara resmi, Clare mengatakan bahwa di negeri yang orang-orangnya ramah seperti di Indonesia, sulit menarik garis yang tegas antara kegiatan resmi dan yang tak resmi. "Di sini, semua hal bisa disebut resmi, meski sebenarnya tak resmi."

Yang pasti, Clare senang melakukan latihan tari jika ia punya waktu luang. "Menari adalah adalah satu-satunya kegiatan yang benar-benar saya sukai," katanya.

Ia bukan hanya menari balet modern, tapi juga menari Jawa, yang sudah mulai dipelajarinya lebih dari seperempat abad lalu di Yogya.

Pertemuannya dengan Happy Soeryadjaya-lah yang antara lain membangkitkan kembali semangat lamanya untuk menari Jawa. Menantu Raja Mobil William Soeryadjaya yang penari Jawa gaya Solo ini mengajak Clare untuk berlatih bersama.

Happy juga yang mengusahakan guru tari, khusus untuk melatih di tempat kediaman Clare.

Menurut Happy, Clare memiliki ketekunan dan kemauan keras yang dibutuhkan dalam belajar menari Jawa. Ia telah membuktikan, dalam waktu yang relatif singkat ia mampu menguasai dengan baik nomor-nomor tari yang diajarkan.

Untuk pementasan tari Sukaretna dalam acara Temu Budaya Indonesia — Amerika di Solo beberapa waktu yang lalu, misalnya, Clare hanya berlatih sebulan, di bawah bimbingan tiga orang guru.

Waktu ditanya apakah ia senang menari di depan umum, Clare yang mengaku amat pemalu malah berkata, "Saya lebih menikmati menari justru pada saat latihan."

Kecuali menari, sehari-hari Clare tentu saja juga sibuk dengan macam-macam tugas sebagai ibu rumah tangga. "Anak-anak, Sarah, David dan Rachel Dahlia, banyak menyita waktu saya," kata Clare.

Bima, tokoh pujaannya

Selain belajar menari, ada satu hal yang masih ingin ia lakukan di Indonesia, yakni melakukan penelitian bahasa. Clare rupanya belum puas hanya meneliti bahasa Jawa di Suriname.

"Mungkin bahasa atau dialek Jawa Timur sangat menarik, karena sangat mirip dengan bahasa Jawa yang dipakai di Suriname," katanya. Namun, sekarang ini, dalam kedudukannya sebagai nyonya duta besar, tentu saja tak mungkin bisa dilakukannya.

Di ruang tamunya terlihat, antara lain, dua kursi dan sebuah peti kayu ukir Madura. Selain terdapat dua gitar tradisional Batak sebagai pajangan, di atas meja tamunya juga digelar sehelai kain songket Sumatra Barat.

"Apakah Anda kolektor yang serius?"

"Tidak. Untuk menjadi kolektor yang serius kita harus benar-benar belajar. Kita harus bisa menjelaskan, misalnya, pola apakah ini, dan bisa menilai apakah ini kain yang baik atau buruk," urai Clare sambil menunjuk kain tenun ikat Flores yang menutupi sandaran kursi panjang yang didudukinya.

"Nan, saya bukan ahli seperti itu. Jika saya suka, maka saya akan membelinya begitu saja."

"Pertanyaan terakhir. Orang Jawa biasanya punya tokoh wayang yang jadi idolanya. Apakah ada tokoh dalam dunia pewayangan yang Anda sukai?"

"Ha ha ha. Saya menyukai Bima! Ia tokoh yang amat sederhana. Saya senang sekali menonton wayang; dan bila punakawan dan Bima keluar, waah, tak ada lagi misteri."  (Lily/Nanny/Muljawan Karim)

Sebuah pergelaran di Mangkunegaran

Semua hadirin sudah siap di tempat masing-masing. Termasuk tuan rumah, KGPA Mangkunegoro, dan tamu terhormatnya, Paul Wolfowitz, Duta Besar Amerika Serikat.

Tak kurang dari 300 undangan hadir di pendopo Keraton Mangkunegaran yang gemerlap bermandikan cahaya lampu kristal, dan wangi oleh taburan melati.

Malam itu, setiap orang tak sabar menunggu pergelaran tari Sukaretna. Soalnya, Clare akan lkut ambil bagian di dalamnya. Ini sebuah kejutan, dan sekaligus puncak dari acara Temu Budaya Indonesia - Amerika yang berlangsung di Solo, 28 September - 2 Oktober 1988.

Ning... nang... ning... nong, para pengrawit mulai memainkan gending Ladrang Pangkur. Bersama Happy Soeryadjaya dan Leslie Dexter, Clare muncul dari sisi kiri pendopo dalam kostum penari Jawa lengkap.

Pinggang dan kaki disaput kain batik bermotif parang rusak. Tubuh bagian atas ditutup kotang beledu hitam berhias bordiran benang emas.

Kepala, leher, tangan dan pinggangnya pun sarat dengan perhiasan, mulai dari sisir, jamang, garuda mungkur, sumping, subang, kalung susun, slepe, gelang, sampai kelat bahu yang melingkar ketat di pangkal lengan. Semua dari ernas.

Biasa tampil sederhana, dengan wajah dirias penuh, malam itu Clare betul-betul manglingi dan tampak ayu.

Dalam barisan ia berjalan perlahan menuju ke tengah pendopo berlantai pualam. Sebelah tangannya dengan lembut mengangkat sampur. Clare memiringkan tubuhnya ke samping dan berputar. Kaki kanannya lalu sedikit diangkat, dan kembali menapak pelan pada saat yang tepat.

Semua mata terarah padanya. Semua orang saling berbisik. Semua orang berdecak kagum. Clare menari dengan keluwesan yang tak terduga. Ia yang ramping dan bertubuh mungil - untuk ukuran Amerika, tentu saja - sepertinya menjelma menjadi seorang putri Jawa. Kesalahan-kesalahan kecil pun pupus oleh keanggunannya.

Berlebihan, memang, kalau menuntut Clare menari Jawa dengan sempurna. Kesibukannya sehari-hari tak memungkinkannya berlatih teratur. Memang bukan itu tujuannya.

Ada hal yang lebih penting yang ingin ia tunjukkan lewat Sukaretna: Ketulusan cintanya pada kebudayaan Indonesia, khususnya Jawa, yang sudah sejak lama mempesonanya.

Maka, meski Sukaretna bukan sebuah nomor yang istimewa dalam khasanah seni tari Jawa, ini tak mengalangi Clare untuk tampil sebagai prirnadona.

Malah, malam itu, ia berhasil menjadikan dirinya simbol persahabatan sejati dari dua bangsa. Yang bukan hanya hidup terpisah jauh di dua benua yang berbeda, tapi juga tak secuil pun punya kaitan budaya. (Muljawan Karim)

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1988)