Find Us On Social Media :

Clare Wolfowitz, ‘Wong Ndeso Amerika’ yang Cinta Mati dengan Tokoh Wayang Bima

By Ade Sulaeman, Selasa, 7 November 2017 | 16:00 WIB

Orang-orang Jawa yang ada di Suriname — dulu, Guyana Belanda – adalah  keturunan  kaum buruh perkebunan yang didatangkan pemerintah kolonial antara tahun 1900 -  1925.

Sebagian besar dari mereka berasal dari daerah Bagelen, Banyumas, Solo dan Yogyakarta. Tak heran orang Jawa Suriname umumnya tidak mengenal bahasa Indonesia. Kalaupun bisa, bahasa Indonesia yang mereka pakai amat sederhana.

Disadari atau tidak, bahasa Jawa di Indonesia terus berkembang sejak masa kemerdekaan. Tidak demikian halnya dengan di Suriname. Pengaruh bahasa Belanda ada, tetapi hanya sedikit. Bahasa mereka boleh dikata "ketinggalan zaman".

Namun, justru inilah yang menarik perhatian Clare. la juga ingin mengetahui, apakah dalam masyarakat petani sederhana yang serba homogen dan jauh dari tradisi keraton itu masih ada juga penggunaan bahasa tinggi? Setelah menelitinya, kesimpulan Clare adalah, ya.

Banyak suka-duka dialaminya selama tujuh bulan bercampur gaul dalam orang-orang Jawa — Suriname. Dalam disertasinya Clare misalnya menulis bagaimana ia seperti seorang tukang ikan, keluar-masuk rumah orang untuk melakukan pengamatan dan wawancara.

Selama melakukan penelitian Clare lebih banyak memakai bahasa Jawa ngoko, bahasa Jawa rendah, dan bukan boso, bahasa Jawa tinggi. Juga jika ia berbicara pada mereka yang menjadi tuan rumahnya.

Akibatnya, ia sampai dijuluki wong desa Amerika - orang desa Amerika - , oleh kenalan-kenalan Jawa-Surinamenya.

(Baca juga: Wayang Potehi yang Sempat Mati Suri)

Takut menjadi nyonya duta besar

Pucuk dicinta, ulam tiba, mungkin kiasan yang paling tepat untuk melukiskan perasaan Clare saat mendengar suaminya, Paul Wolfowitz, terpilih menjadi duta besar Amerika Serikat di Indonesia, tahun 1986.

Ia memang sudah sejak lama ingin menginjakkan kaki lagi di Indonesia. Ia kangen pada Yogya yang telah memberinya kenangan masa muda yang tak terlupakan.