Find Us On Social Media :

Perang Saudara di Spanyol, Ajang Pemanasan Menyambut Perang Dunia II yang Banjir Darah

By Moh Habib Asyhad, Senin, 30 Oktober 2017 | 11:00 WIB

Sedangkan kalangan pimpinan militer yang sejauh itu berhasil membawa tentara melalui ombang-ambing perubahan politik dan kekuasaan, bersikap kritis terhadap politik pemerintahan Republik, yang dianggap melemahkan Spanyol.

Tahun 1936, sebagian besar jenderal Spanyol mulai berpikir untuk menjatuhkan Republik yang didukung kaum sosialis, komunis, organisasi buruh, dan berbagai kelompok liberal dan kiri lainnya.

Sebaliknya, lawan kaum Republik adalah pimpinan militer, kaum monarkis, kaum Falangis yang merupakan kelompok kanan mirip dengan kaum fasis di Italia, para pemilik tanah, serta partai-partai Katolik.

Atas desakan kelompok kanan, Februari 1936 diadakan pemilu lagi. Tetapi kelompok kiri kembali menang dan berkuasa.

Pada bulan Juli, pemimpin kanan di parlemen, Jose Calvo Sotelo, tewas dibunuh.

Pendukung kelompok kanan menyatakan tindakan ini tak dapat dibiarkan, dan mendesak militer untuk berindak tegas, menggulingkan Republik. Peperangan yang kejam dan brutal pun pecah karena dilatarbelakangi saling membalas dendam.

Perang saudara Spanyol mengakibatkan ratusan ribu nyawa melayang, dan memakan biaya lebih dari 15 milyar dolar pada hitungan masa itu.

Apakah setelah perang usai tercipta perdamaian dan pemerintahan yang demokratis di Spanyol ?

Ternyata yang dilahirkan oleh perang ini adalah suatu pemerintahan totaliter pula. Jenderal Franco menjadi diktator dalam suatu rezim fasis di Spanyol hingga meninggalnya tahun 1975.

Pada tahun-tahun pertama kekuasaannya, Franco yang mdapat gelar Caudillo atau pemimpin itu, terus melaksanakan balas dendam dengan mengeksekusi musuh-musuh golongan Nasionalis.

Selama tahun 1939-1943, sedikitnya 200 ribu orang dihabisi, baik lewat pembunuhan politik maupun eksekusi.