Advertorial
Intisari-Online.com – Saking tergila-gilanya pada buah manggis, orang Inggris menyebutnya Queen of tropical fruits, ratunya buah-buahan tropis.
Sebagai ratu, buah ini juga dianggap eksotik. Tidak hanya penampilannya, tetapi juga kisah keanehannya.
Buah manggis paling banyak mendapat pujian di negeri orang. Mereka menilainya sebagai buah yang paling nikmat di seluruh dunia.
Rasanya seperti kombinasi rasa nanas, aprikot, dan jeruk. Teksturnya halus seperti plum yang masak, dan penampilannya juga indah sekali.
Bulat seperti bola yang seimbang menyenangkan, bergaris tengah 3,5 – 7 cm, dan ungu kehitam-hitaman kalau sudah masak.
Penjelajah dunia awal abad XX, David Fairchild melukiskan buah itu sebagai perpaduan antara keindahan bentuk, warna, dan kenikmatan rasa.
Asli Indonesia
Hampir semua kepustaskaan mengenai tanaman ini menunjuk Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sebagai tanah asalnya.
Manggis Garcinia mangostana boleh dikatakan buah asli Indonesia, mengingat nama spesies yang diberikan Linnaeus padanya berbunyi mangostana dari nama Indonesia manggis.
Daerah yang hingga kini menjadi sentra produksi manggis ialah Bogor dan sekitarnya di Jawa Barat, serta Bukittinggi di Sumatra Barat.
Sebagai tanaman daerah tropis, manggis meminta tempat tumbuh yang beriklim basah (diguyur hujan 9 – 12 bulan setahun), seperti daerah Bogor dan Bukittinggi misalnya.
Meskipun begitu, di daerah yang setahunnya hanya kehujanan selama 6 bulan dan menderita kekeringan 5 bulan, dapat juga ditemui tanaman manggis, asal selama musim penderitaan itu ada air yang cukup dalam tanah.
Itulah sebabnya, mengapa di Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, dan bahkan Maluku masih dapat kita temukan tanaman manggis juga.
Buah yang kadang-kadang dipakai main tebak-tebakan ini tergolong buah musiman. Musim manggis di daerah sebelah selatan khatulistiwa jatuh pada bulan November – Januari, setelah didahului musim bunga sekitar Juli – September.
Tetapi makin ke barat, seperti di Sumatra, musim manggis jatuh lebih awal beberapa bulan. Sedangkan makin ke timur, seperti di Nusa Tenggara dan Maluku, musim itu jatuh lebih kasip beberapa bulan.
Meskipun begitu, karena perubahan iklim mikro, pada manggis dapat terjadi musim panen raya dengan hasil buah melimpah ruah, yang selanjutnya diikuti musim panen kecil pada tahun berikutnya.
Dalam keadaan ekstrem malah dapat terjadi musim panen hanya sekali dalam dua tahun. Itulah sebabnya, ratu buah-buahan ini kadang hanya terdapat sedikit di pasaran, padahal seharusnya "sedang musim".
Budh manggis di mana-mana selalu sama. Tidak ada yang lebih unggul daripada yang lain. Sebab, pada tanaman ini tidak pernah terjadi perkawinah silang.
Sebenarnya manggis berbunga sempurna, komplet dengan benang sari jantan dan putik betina.
Tetapi benang sari ini tumbuh rudimenter (mengecil dan mengering), sehingga tidak dapat bertugas sebagaimana mestinya.
Anehnya, manggis tetap saja membentuk buah yang berbiji. Tidak melalui perkawinan, tetapi karena pengaruh hormon endogen (dari dalam tubuh tanaman itu sendiri).
Proses pembentukan buah yang dikenal sebagai apomiksis ini mewariskan sifat-sifat tanaman induk seratus persen kepada anakannya.
Di beberapa daerah pernah dijumpai manggis yang rasa buahnya lebih nikmat, seolah-olah merupakan varietas unggul.
Tetapi ternyata itu lebih disebabkan oleh lingkungan tempat tumbuhnya (yang bagus), daripada faktor genetik yang diturunkan.
Kiat memilih manggis
Enak tidaknyg manggis juga tergantung pada tingkat kematangannya. Tingkat kemasakan ini dapat diketahui dari warna kulitnya.
Kulit yang hijau jelas menunjukkan buah itu masih mentah. Biarpun diperam, ia tidak akan masak.
Makin dibiarkan tua di pohon, warna hijau itu akan berubah secara bertahap menjadi kuning, coklat, merah, dan akhirnya ungu kehitaman.
Warna inilah yang menjadi pertanda buah itu sudah masak sempurna. Bila dipijlt terasa agak empuk. Ia siap disantap, dan rasanya pasti nikmat.
Berbeda dengan manggis yang kulitnya masih merah, coklat kemerahan, atau ungu kemerahan. Walaupun sudah tidak hijau lagi, ia masih belum siap disantap juga, karena getahnya masih banyak.
la perlu diperam dulu selama beberapa hari, sampai kulitnya berubah ungu kehitam-hitaman.
Meskipun begitu, manggis yang sudah merah, coklat kemerahan atau ungu kemerahan, sudah dapat dipetik kalau akan dikirim ke tempat-tempat yang jauh.
Sebab, kulitnya yang masih keras lebih tahan banting dan tidak mudah rusak dariapda yang sudah ungu kehitaman. Manggis yang rusak sewaktu diangkut akan cepat membusuk.
Sebaliknya, kita juga tidak boleh memetik buah yang sudah hitam pekat warnanya, dan sudah keras seperti batu.
Manggis seperti ini sudah kadaluarsa, dan jelas tidak dapat disantap. Ini memang salah satu keunikan manggis. Makin masak buah itu, bukannya makin lunak, tetapi justru malah membatu.
Kadang-kadang kita jumpai manggis yang kulitnya bernoda getah kering, seperti damar kuning. Noda ini terbentuk karena manggis jatuh dan penyok sewaktu dipanen.
Atau memar ketika diangkut dalam perjalanan. Kulitnya yang memar mengeluarkan getah. Inilah yang selain meninggalkan noda kering pada kulit, juga menimbulkan noda kuning pada “daging buah”-nya.
Pertumbuhan yang lamban
Sampai sekarang, permintaan buah manggis, baik dari dalam maupun luar negeri terus meningkat dari tahun ke tahun. Lebih-lebih permintaan ekspornya.
Berbeda dengan kebanyakan buah-buahan lokal Indonesia lainnya yang selalu mencari pembeli dari luar negeri, manggis justru sebaliknya.
Pasar di luar negerilah yang mencari-cari manggis. Negeri pengimpor manggis Indonesia meliputi Jepang, Taiwan, Singapura, Malaysia, Brunei, beberapa negara Timur Tengah, Eropa (seperti Belanda, Prancis, Swiss), dan Amerika Serikat.
Namun, kendati manggis merupakan komoditas ekspor yang menjanjikan, para petani Indonesia tidak berlomba-lomba mengusahakannya secara komersial.
Buah itu masih dihasilkan secara tradisional di pekarangan rumah. Bukan hasil perkebunan. Soalnya, petani pekebun, terlalu lama harus menunggu awal berbuah tanaman itu.
Manggis asal biji baru mulai berbuah setelah umur 10 tahun. Hanya pohon dari bibit hasil sambunganlah yang dapat mulai berbuah pada umur 5 tahun.
Sayang pohon asal bibit ini bekek tumbuhnya, dan pendek umurnya. Pada umur 4 tahun, tingginya hanya 1,5 m dan pada umur 30 tahun sudah minta pensiun.
Sebaliknya, pohon asal biji dapat tumbuh tinggi (sampai 20 m) dengan batang yang kekar bergaris tengah 40 cm, sehingga tahan hidup sampai ratusan tahun. Tetapi sayang, mulainya berbuah juga lama.
Penyebab kelambanan tumbuh ialah penakarannya yang lemah. Walaupun pohon manggis berakar tunggang yang dalam, namun percabangan akar dan bulu-bulu akarnya sedikit sekali.
Gangguan sedikit saja pada akar ini sudah dapat menghambat pertumbuhan. Gangguan ini dapat berupa pencangkulan tanah yang terlalu dekat dengan batang pohon manggis.
Misalnya pencangkulan untuk bertanam tanaman lain sebagai tumpang sari di antara berbagai tanaman buah-buahan di pekarangan rumah.
Kalau gangguan ini tidak cepat dihentikan, manggis akan mogok tumbuh, layu, dan mati.
Sebaliknya, di Malaysia, Thailan, Australia bagian utara, dan negeri tropis lainnya, manggis diperkebunkan secara sungguh-sungguh, dengan jarak tanam yang longgar.
Tanaman dijaga benar jangan sampai terganggu perakarannya. (Ir. Irwan Daud)
Buah manggis memang eksotis
Ia dikatakan eksotis kaqrena bentuk dan susunan buahnya aneh sekali. Daging buahnya begitu tebal meliputi kumpulan biji, sampai dikira bukan daging buah, tetapi "kulit bagian dalam".
"Kulit" yang sebenarnya daging buah manggis kebanyakan dibuang begitu saja setelah selaput bijinya yang berair berwarna putih dimakan.
Padahal "kulit" ini mengandung zat warna ungu yang dapat dimdnfaatkan sebagai pewarna. Di Sumatra Barat "kulit" manggis dipakai untuk mewamai bulu ayam-ayam putih.
Jadi kalau si ayam keluyuran ke tempat tetangga mudah dikenali dan diminta kembali.
Sari "kulit" manggis dulu juga banyak dipakai sebagai stopcret, menghentikan diare karena bersifat astringen, mengerutkan dinding usus.
Tetapi karena belakangan lebih banyak bahan tumbuhan lain yang sama khasiatnya, sari kulit manggis tidak dipakai lagi.
Biji manggis diliputi selaput tebal yang juicy, sampai dikira bukan biji, melainkan "buah". Warnanya putih bersih, dan rasanya asam-dsam manis, harum, dan enak.
Selaput biji tebal yang berair inilah yang kita makan sebagai "buah" manggis. Padahal itu hanya selaput biji yang tebal dan berair.
Kalau yang dimakan biji ini, bagaimana caranya makan yang "cantik"? Pada zaman modern sekarang ini, makan buah manggis tidak dilakukan dengan memecah kulit dengan tangan, lalu "menyerbu" isinya dengan mulut.
Sebaiknya buah disayat dengan pisau sekeliling kulitnya pada bidang yang mendatar. Tak perlu dalam-dalam. Dengan kedua belah tangan, buah kemudian dibuka sampai isinya yang putih' terlihat jelas hingga separuh bagiannya.
Dalam keadaan terbelah ini, buah dihidangkan di atas piring (boleh satu, boleh dua), bersama sebatang porok. Penampilannya lebih cantik dan elit.
Biji berselaput putih yang juicy kemudian dicukil dengan ujung porok. Selagi masih berada di ujung porok itulah, ia kita santap.
Buah manggis berjuring seperti duku, sebanyak 4 – 8 . Jumlah ini dapat dihitung dari luar tanpa harus membelah buah, dengan menghitung jumlah kepala putik bekas, yang duduk di ujung buah. Jumlah juring selalu sama dengan jumlah mantan kepala putik ini.
Ketika masih muda dulu, kepala putik ini tebal tebal nongkrong di atas bakal buah dalam bunga. Makin lama makin menyusut, seiring dengan membesarnya bakal buah menjadi buah.
Akhirnya kepala putik tinggal seperti kepingan-kepingan yang menempel di ujung buah saja.
Anak-anak sering main tebak-tebakan dengan buah manggis. "Berapa hayo isi buah manggis yang sedang saya pegang ini?" tanya si penanya.
Sebelumnya ia sudah menghitung jumlah juring berdasarkan jumlah kepingan mantan kepala putik yang duduk di luar itu. Tetapi anak-anak yang diminta menebak tidak diberi tahu fenomena ini, sehingga menebak sekenanya.
Si pemegang buah lalu menyebut dengan bangga jumlah yang diketahuinya. Setelah buah benar-benar dibelah ternyata memang benar, jumlah bagian isinya cocok dengan jumlah yang disebutnya. "Benar, 'kan? Hebat, saya ini!" (Slamet Soeseno)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1999)