“Lorenz telah memberikan informasi di masa lalu, beberapa di antaranya dapat diandalkan, bagaimanapun, ia memang punya kecenderungan untuk membesar-besarkan,” tulis majalah itu mengutip laporan FBI tahun 1980-an.
Dalam upaya menemukan Perez Jimenez supaya mau mengasuh putri mereka, Monica, Lorenz terbang ke Venezuela. Di sana petugas intelijen militer sudah menunggunya.
(Baca juga: Foto Penembakan Dubes Rusia untuk Turki Jadi Juara "World Press Photo Award 2017")
Petugas itu kemudian menerbangkannya ke bagian terjauh dari hutan hujan Venezuela, menurunkannya, dan terbang lagi. Lorenz bilang bahwa ia “dibuang” untuk tinggal bersama suku Yanomami selama delapan bulan.
“Saya masih menangis saat memikirkan pesawat yang terbang itu,” katanya—meskipun hidupnya di sana sangat indah dibanding di Amerika.
Tak butuh lama, Lorenz sudah bisa mengadopsi kebiasaan suku itu. Ia mandi di sungai Orinoco dan berburu piranha. Ia membuat keranjang dengan para perempuan suku itu, memilih buah beri, mengingu monyet dan kura-kura, dan bahkan punya gebetan, seorang pria manis bernama Catchu.
Tapi kebahagiaan itu sirna setelah ibunya berhasil menemukannya dan membawanya pulang ke Amerika.
Ketika sampai Amerika, ia “terjerumus” lagi. Melalui seorang teman yang beketulan berpacaran dengan anggota keluarga kriminal Colombo, Lorenz masuk ke dunia mafia.
“Meski tampaknya kontradiksi, saya merasa aman dengan mafia,” tulisnya. “Saya merasa bahagia dan santai untuk pertama kalinya dalam hidup.”
Kelompok mafia itu memanggilnya dengan “Mata Hari dari Karibia” dan begitu menghormatinya.
“Mereka menganggap saya bisa dipercaya dan mereka tahu saya bisa menyimpan rahasia,” tulisnya.
Dengan kelompok barunya ini, Lorenz mengunjungi banyak tempat, menari sepanjang malam, minum koktail dan vodka Kuba sebanyak-banyaknya.
Dari sinilah ia bertemu dengan seorang mafia Yahudi—anggota “Kosher Nostra”—bernama Eddie Levy. Tak lama kemudian, mereka pacaran.
(Baca juga: Bom Bikinan Rakyat Venezuela Ini Tidak Bikin Celaka, Cuma Malu. Ini Sebabnya.)
Tapi ketika mereka pelesir menggunakan kapal pesiar ke berbagai tempat, Lorenz marah dan bertemu dengan pria lain. Namanya Louis Yurasits. Saat Lorenz hamil lagi ia bilang itu anak Yurasits, meski Levy mencintai anak itu seperti putranya sendiri.
Lorenz dan Yurasits akhirnya menikah, dan keduanya bekerja untuk FBI. Mereka berpura-pura menjadi pemilik dari sebuah bangunan bertingkat di East 87th Street sembari memata-matai diplomat dari negara-negara Blok Timur. Mereka kemudian bercerai pada 1975 dan Yurasits meninggal pada 2009 lalu.
Anak mereka, Mark (47), sekarang tinggal di Brooklyn dan mengelola bisnis pemeliharaan akuarium dan mengelola artis untuk pesta anak-anak dan acara lainnya.
Monica, sekarang 52 tahun, mantan model Playboy, adalah aktris yang tinggal di Los Angeles. Lorenz sendiri bilang bahwa dirinya tidak punya keraguan tentang ayah-ayah dari anak-anaknya terlepas dari kehidupan cintanya yang beragam. Seorang pengacara Perez Jimenez mengatakan bahwa diktator itu selalu menolak disebut ayah Monica, meski terus mengirim uang jajan untuk beberapa saat.
Sedangkan anaknya dengan Castro, setelah 22 tahun mencoba dengan sia-sia, Lorenz kembali ke Kuba pada 1981 dan diizinkan bertemu dengan Sang Comandante. Setelah bertanya baik-baik, Castro menjawa bahwa anaknya baik-baik saja. Saat itu ia juga bertemu dengan seorang pemuda tampan berwajah seperti Castro.
“Apakah aku ibumu?” Lorenz bertanya padanya, dan memeluknya.
“Ia anak kami, saya percaya itu dengan pasti,” tulisnya.
Dalam waktu dekat, ia berencana terbang lagi ke Kuba dan meminta pemimpin Kuba saat ini, Raul Castro, memberinya izin bertemu dengan putranya. Konon, nama laki-laki itu adalah Andre dan kini sudah berusia 57 tahun.
Lorenz yakin bahwa Andre diambil darinya karena ia adalah orang Jerman-Amerika, dan pendukugn Castro yakin bayi itu lahir ia akan bersekutu dengan Jerman dan AS untuk menghancurkan Kuba.
Anaknya, sejauh yang ia tahu, adalah seorang dokter anak yang tinggal di Kuba.
Ketika Castro meninggal pada 2016 lalu ia meras hidupnya hancur. “Ia adalah cinta (sejati) dalam hidupku. Ia masih ada secara spiritual bagiku. Ia merasuk ke tubuh, bukan di jiwa.”
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR