Advertorial

Kisah Eman Sulaeman, ‘Kiper Terbaik’ Kejuaraan Piala Dunia Tunawisma 2016 yang Hanya Punya 1 Kaki Sejak Lahir

Moh. Habib Asyhad
Mentari DP
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Semua capaian itu tidak didapatnya dengan mudah. Pasalnya, Eman hanya dikaruniai satu kaki yang sempurna sejak lahir.
Semua capaian itu tidak didapatnya dengan mudah. Pasalnya, Eman hanya dikaruniai satu kaki yang sempurna sejak lahir.

Intisari-Online.com – Eman Sulaeman (30) tak pernah menyangka seumur hidupnya bisa meraih penghargaan.

Dia didapuk sebagai“Kiper Terbaik" dalam Kejuaraan Piala Dunia Tunawisma 2016.

Setelah tiba di Indonesia, dia juga menerima penghargaan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Olahraga Imam Nahrowi pada Haornas di Stadion Delta Sidoarjo, Surabaya.

Semua capaian itu tidak didapatnya dengan mudah. Pasalnya, Eman hanya dikaruniai satu kaki yang sempurnasejak lahir.

Baca Juga : Titi Qadarsih Meninggal Dunia, Makanan Sepele Ini Bisa Picu Kanker Usus

Kaki kirinya hanya mencapai lulut. Dia sangat bersyukur, ketika semua berawal pada 22 tahun silam atau sekitar tahun 1996.

Saat itu, Eman baru duduk di bangku kelas II SDN 1 Tegal Sari, Kecamatan Maja, Kabupaten Majalengka.

Saat sore tiba, Eman kerap kali diajak bermain sepak bola oleh kakaknya, Jaja (35). Eman terus memperhatikan Jaja dan teman-temannya saat bermain.

Lambat laun, Eman tertarik dan mulai berlatih. Kondisi fisik yang kurang sempat membuatnya kesulitan karena sepak bola adalah olahraga yang bertumpu pada kaki.

“Awalnya kesulitan karena kondisi fisik yang seperti ini. Tapi Kang Jaja selalu memotivasi dan mendidik saya agar tetap bagus bermain bola. Guru saya ya kakak saya,” ungkap Eman saat ditemui usai latihan di GOR.

Untuk dapat berlari kencang, pria kelahiran 7 Februari 1988 ini menggunakan bantuan tangan kirinya.

Sekali dua kali, dia merasa kesulitan dan kesakitan, tetapi Eman tak berhenti berlatih.

Baca Juga : Rekaman Terbaru Ungkap Terakhir Kali Jamal Khashoggi Terlihat Memasuki Konsulat Arab Saudi

Menempa diri

Sebuah lapangan yang berada di belakang sekolah SD-nya adalah tempatnya menempa diri.

Tempat itu juga menjadi saksi bisu dirinya berkali-kali jatuh bangun dan kerap dipandang berbeda oleh orang-orang sekitar.

Eman masih ingat saat tidak sedikit orang melihatnya sebelah mata. Sebagian dari mereka mengasihani Eman karena fisiknya. Satu dua orang juga melontarkan kata yang menurunkan semangatnya.

“Sebagian dari teman sendiri. Ya wajar, namanya juga anak kecil, mungkin maksudnya bercanda,” jawabnya dengan tenang.

Menurut Eman, sedih hingga meneteskan air mata sudah biasa. Semua yang dialaminya selalu sirna saat curhat bersama ibu dan bapak di rumah.

Keduanya memompa kembali semangat Eman dan menganggap Eman memiliki kemampuan yang sama seperti manusia berkaki normal.

Begitu pun kakaknya Jaja yang selalu pasang badan ketika Eman mendapat perkataan atau perlakuan tidak enak dari orang lain.

Berkat dukungan orang-orang terdekat, keinginan belajar Eman semakin tinggi. Dia terus belajar bersama Jaja secara otodidak hingga keduanya sering lupa waktu.

Dia tidak ikut Sekolah Sepak Bola (SSB) karena tidak mampu. Kedua orangtuanya sejak dulu hingga hari ini hanyalah petani, penghasilannya hanya untuk mencukupi keluarga sehari-hari.

Sederhana dan bersahaja. Hobinya semakin tinggi, dan kepercayaan dirinya semakin tebal.

“Yang tadinya SD malu malu, meningkat ke SMP, terus ke SMK dan hingga kuliah semakin matang. Saya selalu bermain bola dengan posisi sebagai penyerang,” ungkapnya.

Setelah lulus SD, Eman sekolah di SMPN 1 Argapura di Kecamatan Argapura lalu melanjutkan pendidikan di SMKN 1 Maja Jurusan Elektro.

Baca Juga : Sejarah Sumpah Pemuda 1928: Dari 'Ikrar Pemuda' menjadi 'Sumpah Pemuda'

Pantang menyerah

Kebiasaan Eman bermain sepak bola mulai bergeser. Saat makin dewasa, Eman bermain bola di lapangan besar.

Namun, saat masuk kuliah Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) 1945 dengan Jurusan Teknik Elektro pada tahun 2007, Eman mulai mengenal futsal.

Dia yang semula menjadi penyerang, kini menjadi kiper. Lagi-lagi, dia terus berlatih dengan otodidak.

“Kalau dulu Kang Jaja yang menjadi guru saya, sekarang dalam bermain futsal adalah teman-teman kuliah.”

“Saya juga sering belajar teknik cara orang bermain di TV juga video dan lainnya. Jadi kalau ada yang tanya, siapa pelatihnya, saya jawab video saja,” katanya sambil tergelak.

Tak puas dengan kategori bisa, Eman terus mengasah kemampuannya dengan mengikuti acara pertandingan pada tingkat kecamatan, kabupaten, hingga antar-kabupaten, mulai dari Kuningan, Sumedang, dan Cirebon.

Dia terus bertahan agar gawangnya tidak kebobolan dan menjadi juara. Kadang kalah, tetapi tak sedikit juga menang, terutama tingkat di kabupaten sendiri, Majalengka.

Tiap kali di tempat baru, tidak sedikit orang yang menilainya rendah dan kasihan, Eman selalu santai menanggapinya.

“Satu ketika saat turnamen sepak bola, pemain lawan mengasihani saya karena fisiknya. Saya diam saja, dan memberikan bukti nyata pada mereka. Saya bisa melakukan seperti mereka, seperti orang-orang normal. Saya sama dengan yang lain. Yang beda hanya fisik saja, tapi selebihnya sama,” ujarnya dengan tegas.

Dia menilai bentuk motivasi tertinggi adalah rasa percaya diri dan tidak pernah minder.

Dia menantang, meski disabilitas atau memiliki kekurangan, kemampuan bisa jauh melesat di atas kekurangan dan keterbatasan. (Muhamad Syahri Romdhon)

(Artikel ini telah tayang dikompas.comdengan judul "Kisah Eman, Kiper Satu Kaki Terbaik Dunia: Diremehkan hingga Menangis Bukan Penghalang (2)")

Baca Juga : Penyanyi Era 70-an Titi Qadarsih Meninggal Dunia dalam Perjalanan Pulang ke Rumahnya

Artikel Terkait