Advertorial
Intisari-Online.com – Kita sering mendengar keangkeran Sungai Mekong. Tanggal 22 Juni yang lalu (tulisan ini dimuat di Majalah iIntisari edisi September 1974) kapal yang ditumpangi sdr Poedjo Poernomo diroket oleh Khmer Merah di sini sehingga lantainya berlubang tidak kurang dari 98 buah.
Kapten kapal yang berasal dari Manado sampai mendaftarkan diri jadi pilot bayaran untuk membalas dendam. Sdr. P. Poernomo menceriterakan pengalamannya, dalam tulisan Dihujani Rocket Khmer Merah di Sungai Mekong.
Di kapal yang berbendera Panama ini saya mendapat jabatan sebagai perwira III, orang ketiga sesudah kapten kapal. Anak buahnya terdiri dari orang-orang Indonesia, Kamboja dan Singapura.
Pemandangan yang menarik perhatian saya dari kapal ini adalah karung-karung pasir yang memenuhi anjungan tempat perwira dan jurumudi mengemudikan kapal. Saya tebak pastilah kapal ini masuk daerah berbahaya, daerah perang Kamboja.
Baca Juga : Ketika Perang Vietnam, Benarkah Gerilyawan Viet Cong Takut Kegelapan?
Padahal saya sendiri belum tahu bahwa kapal ini akan masuk daerah gawat.
Rumah dan sampan mesti pakai bendera
Kapal berlabuh di Vung Tau, di pantai Vietnam "Selatan setelah 3 hari mengarungi laut Cina. Satu hari satu malam kami di Vung Tau tapi sayarig tidak diijinkan turun ke darat karena daerahnya tertutup.
Selesai pemeriksaan pabean, imigrasi dan pandu naik, berangkatlah kami meneruskan pelayaran ke Saigon menyusuri sungai Saigon. Di kiri kanan sungai yang berkelok-kelok sepanjang mata memandang hanya terlihat tanah gundul bekas pemboman pesawat terbang Amerika.
Pilot yang menjadi penunjuk kami Mr. Van Tot seorang Vietnam Selatan menceriterakan mengenai Viet-Cong dalam bahasa Inggeris logat Vietnam. Sedangkan jurumudi berbangsa Khmer menceriterakan mengenai perang saudara di negerinya.
Agak ngeri juga saya mendengarnya karena saat itu saya bertugas sebagai perwira jaga di anjungan.'
Di sela-sela luasnya padang gundul nampak sekelompok rumah berkibarkan bendera. Rumah yang tidak mempunyai bendera cukup melukiskan pada pintu atau atap rumah yang biasanya terbuat dari seng lambang bendera Vietnam Selatan, segiempat kuning dengan 3 strip merah melajur datar.
Setiap bangunan bahkan sampan-sampan yang lalu lalang di sungai memakai gambar atau lambang Vietnam Selatan.
Baca Juga : Makan Tikus Hidup untuk Bertahan, Berikut Lima Kengerian Rezim Khmer Merah Kamboja
Sampai pelabuhan Saigon banyak sampan kecil pakai mesin menyongsong kapal yang masih laju. Mereka melemparkan tali dan memanjat lambung kapal pakai tali seperti kera. Rupanya mereka adalah tukang beli barang yang sering dibawa awak kapal sebagai tambahan penghasilan.
3 ]uni 1974 sampailah kami di Saigon, ibukota Vietnam Selatan dan merapat di dermaga yang terletak di sepanjang sungai. Begitu kapal selesai membongkar muatan dan diikat, banyak gadis-gadis yangbermake-up dan berhiasan emas naik sampan mendekati kapal.
Gadis-gadis yang rata-rata berumur 15-18 tahun ini mengayuh sampan untuk membawa awak kapal berputar di sungai Saigon sambil berpacaran.
Saigon dan sekitarnya tidak seperti yang saya duga semula. Umumnya aman hanya berlaku jam malam. Tempat-tempat tertentu di dalam kota masih dijaga keras. Benteng-benteng dari karung pasir di perkemahan tentara dengan barikade kawat berduri.
Baca Juga : Khmer Merah yang Ingin Dirikan Negara Komunis Radikal Justru Digulingkan Vietnam yang Pernah Membantunya
Serdadu-serdadu hilir mudik dengan kendaraan militer selalu siap sedia, merupakan suasana sehari-hari di Saigon.
Setelah 15 hari di Saigon, akhirnya tanggal 18 Juni kami meneruskan perjalanan ke Kamboja menyusuri sungai Saigon dan berlabuh di Vung Tau. Di sini saya lihat sudah ada beberapa kapal yang berlabuh.
Sedangkan rencana ke Phnom Penh masih dirahasiakan tidak boleh dibocorkan. Sebelum meneruskan pelayaran kami mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi keadaan berat menembus blokade pemberontak Khmer merah di sungai Mekong.
Semuanya bekerja menyusun karung berisi pasir. Membuat benteng yang melindungi ruang anjungan sebagai pertahanan terakhir kami. Lantai atas ditimbuni lapisan pasir muka belakang, kanan kiri dan lantai bawah.
Baca Juga : Orang-orang Sebuah Kampung di Vietnam Ini Tega Memotong Ekor Gajah, Hanya untuk Alasan 'Konyol'
Pemberat kapal diisi dan stabilitas kapal dijaga benarbenar. Kapal kami membawa beras dan muatan lainnya yang jumlahnya kira-kira 3000 ton.
Satu dua kapal mulai berdatangan. Saya lihat beberapa kapal perang dari kesatuan AL Vietnam Selatan sibuk mengadakan persiapan. Hari D. Day jatuh pada 20 Juni. Setelah pilot Vietnam Selatan naik kapal, perlahan-lahan konvoi meninggalkan Vung Tau menuju Phnom Penh.
Dua belas kapal niaga dari berbagai bendera kebangsaan tepat jam 10.30 bergerak satu persatu keluar dikawal kapal perang Vietnam Selatan. Di depan SS Hayan disusul MV Port Sun II, Nguon Khim, kapal kami MV Adriana, di buritan MV Ming Peng,
MV Tanh Than Ohu II dan 6 kapal tug boat yang sangat berat menggandeng muatan amunisi dan balok kayu yang ditutupi benteng pasir.
Baca Juga : Tragisnya Kisah Pangeran Sihanouk yang Kelima Anaknya Dibantai Khmer Merah Pimpinan Pol Pot
Sesudah berlayar 8 jam lebih, jam 18.45 tibalah konvoi di kota Vinh Long. Konvoi berhenti dan bermalam di situ. Sebab sangat berbahaya untuk berlayar pada malam hari karena banyak sabotase musuh.
Sore itu kapal kami dan kapal-kapal lain menambah perbekalan karung berisi pasir hingga anjungan tertutup sama sekali dari segala penjuru. Di dalamnya gelap seperti di dalam gua, pengap dan panas tapi apa boleh buat demi keselamatan kami.
Keesokan harinya jam 6.00 konvoi diteruskan dalam remang-remang pagi yang berkabut dengan kekuatan penuh membelah sungai Mekong yang sedang pasang. Di kiri kanan tampak subur menghijau dengan pemandangan indah yang diselingi dengan bangunan yang hancur lebur bekas peperangan yang ganas.
Menurut cerita sungai itu dulu ramai dan penuh dengan penduduk tapi akhirnya rata oleh bom pesawat Amerika.
Enam jam berlayar sampailah di Anh Long dan bermalam di situ yang merupakan kota terakhir sebelum memasuki daerah gawat. Sore itu saya dikejutkan oleh tembakan yang ternyata dari anggota pengawal yang menembaki sekitar kapal untuk menghindari sabotir musuh.
Di situ saya lihat lebih banyak lagi kapal perang Vietnam Selatan jenis patroli, dan agak di tengah, markas terapung berupa kapal perang type supply. Di dalamnya bermarkas komandan konvoi Vietnam Selatan dan Kamboja yang mengatur siasat dan strategi.
Paspor dan surat penting dibagikan
Sore itu semua kapten kapal dijemput untuk rapat dan menerima instruksi mengenai pelayaran esoknya. Terdengar santer bahwa situasi lebih buruk dan keadaan semakin gawat. Tug boat yang meragukan kesanggupan mesinnya dianjurkan tidak usah ikut dulu.
Baca Juga : Kalah dalam Perang Vietnam, AS Terpaksa Buang Puluhan Helikopter ke Laut, Kenapa?
22 Juni jam 530 pagi kapal siap melaju membelah sungai Mekong. Jam 7 pagi mendekati garis perbatasan Vietnam Selatan dan Kamboja, sedikit melewati kota Tan Chau pilot Vietnam turun dari kapal dan konvoi maju menunggu naiknya pilot Kamboja. Jam 7.40 mesin stop tetapi stand by.
Dua orang berpakaian tempur lengkap naik ke kapal, ternyata mereka pilot Kamboja. Sejurus kemudian 2 serdadu AL Khmer naik lengkap dengan satu unit pesawat pemancar dan penerima. Mereka dari dinas perhubungan.
Di luar hiruk pikuk. Lebih dari 15 gun boat AL Khmer membelah air dengan gesitnya mengadakan pelayaran simpang siur ke sana dan kemari.
Di dalamnya masing-masing seregu tentara laut Kamboja berpakaian topi baja menutupi kepala dan berselempangkan sabuk peluru dan duduk dengan tegang dan kaku melayani sepucuk meriam yang berjuntai-juntai dengan untaian peluru.
Baca Juga : Viral Tentara Vietnam Gunakan Pembalut Sebagai Alas Sepatunya
Di kanan kiri beberapa gun boat yang lebih besar dengan angkernya siap menembakkan peluru roket berkaliber berat.
Tan Chau perlahan-lahan hilang di buritan kapal dan melaju melewati perbatasan. Seorang kelasi berdiri di haluan untuk menurunkan bendera Vietnam Selatan dan menggantinya dengan bendera Kamboja.
Di garis perbatasan 2 bendera kebangsaan berkibar berdampingan disaksikan oleh sungai Mekong yang tenang tapi angker.
Kelasi bergegas lari ke belakang dan menyusul kawan-kawannya di anjungan. Alarm bahaya mulai dibunyikan. Semua crew berkumpul di anjungan membawa kopernya masing-masing. Crew bagian mesin turun ke kamar mesin dan di sana membuat benteng pertahanan dari karung berisi pasir seperti di anjungan.
Paspor dan surat-surat penting sudah dibagikan karena bila terjadi sesuatu tinggal menyelamatkan diri masing-masing. Begitu koki selesai masak dan mengantarnya ke tempat persembunyian di anjungan yang sudah berbau karena didekam 24 orang.
Baru bergerak beberapa menit kapal distop selama 15 menit dan begitu seterusnya sampai membosankan.
Baca Juga : Inilah Alasan Mengapa Ada Banyak Warga Vietnam Bernama 'Nguyen'