Advertorial
Intisari-Online.com – Kalau tidak dipakai, si penerbang bisa pingsan di udara. Marsekal Pertama TNI dr. H. Raman Ramayana Saman menceritakan pengalamannya sebagai dokter penerbangan militer.
Pengalamannya itu dituliskan oleh Gede/Yanto, dalam Baju Khusus untuk Penerbang F-16, yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 1990.
Dalam suatu latihan terbang, dua pesawat terbang latih HS Hawk bertabrakan di udara. Ini terjadi pada tahun 1981. Nampaknya Dewi Fortuna masih melindungi kedua penerbangnya.
Mereka yang masih berstatus siswa penerbang itu selamat, namun dengan mata memerah. Setelah diamati, ternyata ada partikel-partikel yang menancap pada kornea mata mereka.
Baca Juga : (Video) Adu Kencang, Kawasaki Ninja H2R Kalahkan Jet Tempur F-16 dan Mobil Balap F1
Ini menjadi tugas seorang dokter penerbangan. Dia harus mempelajari peristiwa langka tapi nyata ini dan menyelamatkan sang pilot dari cedera mata.
Partikel itu harus dicabut begitu muncul di permukaan bola mata. Benda-benda renik itu nongol karena ada tekanan dari dalam yang mendorongnya. Satu demi satu pecahan tak diundang itu disingkirkan hingga satu setengah tahun lamanya.
Sang pilot yang nyaris di-walk out, akhirnya bisa terbang kembali. Itulah yang dilakukan Marsekal Pertama TNI dr. H. Raman Ramayana Saman (52), Direktur Kesehatan TNI AU di Markas Besar TNI AU, yang saat itu masih sebagai dokter penerbangan.
Minum pil, wah bahaya!
Baca Juga : Dijadikan 'Tameng' oleh F-16 Israel, Pesawat Rusia Jatuh Tertembak Rudal Suriah
Dokter yang mempelajari dan menangani kesehatan penerbangan militer dan bergerak di bidang penerbangan militer ini tidak hanya dokter ahli mata, seperti Raman saja. Dokter penerbangan bisa pula seorang dokter umum, dokter gigi, ahli anestesi, ahli bedah, psikiater atau psikolog.
Mereka harus menjalani pendidikan selama enam bulan di Sekolah Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Sekespra) yang kampusnya di Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra) Saryanto.
Di sini, mereka menerima pelajaran tentang berbagai aspek kesehatan penerbangan dan ruang angkasa. Setelah lulus, mereka diterjunkan langsung di berbagai skuadron dalam jajaran TNI AU.
Di tempat ini mereka langsung praktek dan menerapkan ilmu. Yang menarik, mereka bisa ikut terbang. "Saya bisa menerbangkan pesawat, gara-garanya ketika di skuadron diajak dan diajari terbang," cerita Raman. Inilah kelebihan dokter penerbangan militer.
Baca Juga : Gara-gara Ulah Pesawat Jet F-16, Nelayan Jepang Minta Ganti Rugi Rp12 Miliar kepada Amerika
Di pangkalannya, seorang dokter penerbangan harus selalu mendampingi pilot. Karenanya, ia dituntut untuk selalu sehat. Saat pilot menerima briefing, ia juga harus hadir.
"Para penerbang berlatih melulu, berlatih bertempur di udara, membom, nembak. Jadi saya seperti memelihara petinju-petinju," kenang Raman.
Menjelang penerbang mengangkasa, ia wajib memeriksa kondisi fisik dan mental si pilot. "Kalau sedang pilek, pilot tidak boleh menerbangkan pesawat. Apalagi kalau telah minum pil, wah bahaya, reaksinya jadi lambat!" jelas Raman menggebu-gebu.
Menurut bapak dari seorang puteri dan dua putera ini, kecelakaan penerbangan juga banyak dipengaruhi oleh kejiwaan. Penerbang yang sedang marah atau terbelit masalah bisa-bisa melakukan take off atau landing sembarangan.
Baca Juga : Konflik AS-Turki : Saat F-16 Jadi Simbol Kedekatan, F-35 Justru Jadi Simbol ‘Perceraian’.
Belum lagi menghadapi pengaruh ketinggian terhadap tubuhnya, karena semakin tinggi ia terbang, suhu udara makin dingin, tekanan dan oksigen udara pun menurun.
Bila perbedaan itu besar sekali penerbang bisa menderita bazotrauma (kerusakan telinga bagian tengah atau eustachian tube akibat perubahan tekanan udara dalam penerbangan) ataupun hipoksia (kekurangan oksigen di dalam jaringan).
Supaya tidak cenut-cenut
Apalagi kalau 'pasien' dokter penerbangan itu harus 'nunggang' pesawat tempur F-16 yang bisa mencapai ketinggian 50.000 kaki (± 15.240 m). Pada ketinggian itu, dia tidak hanya memperhitungkan adanya barotrauma dan hipoksia, tetapi kondisi gigi si pilot pun harus diperhatikan supaya tidak cenat-cenut di udara.
“Gigi yang kropos membahayakan si pilot, karena perbedaan tekanan pada ketinggian 5.000 kaki (± 1. 524 m) saja sudah menyebabkan rasa sakit. Apalagi di atas 10.000 kaki (± 3.048 m), tutur Raman yang ahli mata ini.
Dengan kecepatannya yang sangat tinggi, saat bermanuver penerbang F-16 akan mendapat G-force (gaya gravitasi bumi) sampai sebesar 9G. Artinya, berat badannya diperbesar 9 kali oleh gaya G tadi.
Padahal dalam keadaan sehat, manusia rata-rata hanya tahan sampai 8 G. Itu pun dalam waktu sangat singkat dan perlu latihan. Dengan terlewatinya batas ini, sang penerbang bisa mengalami G-LOC (Graviti Induced Loss of Consiousness) atau kehilangan kesadaran secara tiba-tiba dalam beberapa saat akibat ‘hilangnya’ darah dari otak.
Untuk mengatasinya, si pilot perlu mengenakan antiG-suit. Dengan baju ini, darah di dalam otak dapat ‘ditahan’ sehingga pilot terhindar dari pingsan maut.
Baca Juga : Pilot TNI AU Pernah Diserang Preman, Jet Tempur F-16 pun Dikerahkan untuk Memberi Pelajaran
Dalam keadaan perang, dokter penerbangan militer pun memegang peran di balik ‘layar’. Bila ada pasukan yang tertembak hingga terjadi pendarahan hebat dan perlu diterbangkan ke rumah sakit yang tempatnya berjauhan, ia harus segera bertindak.
Kalau perlu, melakukan pembedahan di udara untuk menyelamatkan jiwanya, walaupun gerakan pesawat terbang dan tekanan yang rendah sebenarnya membahayakan si pasien.
Dokter penerbangan militer memang tidak luput dari bedah-membedah, pas dengan sebutan dari sono-nya, flight surgeon. Menurut Raman, istilah ini diambil dari military surgeon, dokter militer yang mendampingi pasukan dan harus bisa membedah.
Diluar dinas kemiliteran, seorang dokter penerbangan bisa membuka 'usaha sampingan’ alias praktek untuk umum. Tentu saja, saat praktek umum ini ia menanggalkan seragam militer dan wing-nya.
Gawat darurat Di Udara
Pesawat terbang umumnya dikenal sebagai alat transportasi. Tetapi di zaman konglomerat, pesawat dapat digunakan untuk mengangkut pasien yang sakit berat dan membutuhkan perawatan intensif.
Cara ini ditempuh untuk mereka yang perlu perawatan segera ke luar negen. Alat sekaliber Intensive Care Unit (ICU) pun akan mendampingi si pasien. Biayanya lumayan besar. Yang jelas perlu memblokir 16 kursi first class cabin.
Karena ruangan ini akan diisi dengan peralatan ICU yang ditangani beberapa dokter ahli dan perawat. Untuk pemasangan instalasi ICU mulai dari pencopotan kursi dibutuhkan waktu 2 minggu, sedang disain tempat cukup 2 hari.
Menurut dr. Raman Ramayana Saman, yang pernah menangani pasien post stroke ke Amerika, diperlukan kerelaan dari keluarga karena pasien harus masuk ke pesawat lewat hanggar agar tidak dilihat penumpang lain. Pengangkatan pun menggunakan lift yang biasa dipakai membawa catering.
Di dalam pesawat pasien kemudian digotong tanpa tandu ke ruang ICU. Karena bila ditandu maka kepala pasien akan membentur kabin pesawat. Sedangkan bila didorong dengan kereta, akan mengenai kursi-kursi penumpang lainnya. Hal ini diketahui setelah dilakukan uji coba dengan pasien bohongan.
"Ini adalah pengalaman pertama saya, belum ada teorinya." Ujar Raman. la menambahkan, "Sebelum penerbangan juga harus dijelaskan pada keluarga pasien agar tidak cemas dan mempercayakan sepenuhnya pada tim medis."
Dalam merencanakan ruangan ICU diusahakan agar pasien, berada dalam kondisi yang nyaman. Dua kursi untuk dokter dan perawat ditempatkan di sebelah kanan tempat tidur. Pada sisi kiri bagian paling belakang, ditempatkan 2 kursi untuk teknisi pesawat.
Pasien diselimuti piastik khusus agar panas tubuh dan cairan tubuh tidak hilang terlalu banyak.
Para petugas medis diupayakan memperoleh ruang gerak yang cukup untuk penanganan pasien. Tempat tidur pasien ditempatkan di bagian tengah dengan posisi melintang. Meja peralatan medis berukuran 50 x 80 cm, ditempatkan pada sisi kiri pesawat.
Sumber listrik pesawat diubah melalui suatu modul, agar dihasOkan listrik AC 220 V (50-60 Hz) - 800 watt dan DC 24 Volt.
Instalasi ini beberapa waktu yang lalu telah dimanfaatkan untuk membawa pasien, salah satu pengusaha konglomerat Indonesia, ke Amerika. Bukan hanya 16 kursi, malahan satu pesawat.
Baca Juga : Mengintip Jet Tempur F-16 Hibah dari Amerika, Si Elang Petarung di Skadron Ksatria Langit