Advertorial
Intisari-Online.com -Gara-gara ulah pesawat jet F-16, sekelompok nelayan di Prefektur Aomori, Jepang, meminta ganti rugi hingga 93 yen (Rp12,4 miliar).
Menurut laporan Japan Times pada Selasa (4/9), para nelayan itu meminta ganti rugi pasca-kejadian jet tempur Amerika Serikat (AS) yang membuang tangki bahan bakarnya.
Biro Pertahanan Tohoku menyatakan, adanya kebakaran pada mesin jet F-16 memaksa pilot membuang dua tangki bahan bakar di Danau Ogawara 20 Februari lalu.
Karena tangki yang dibuang itu, kegiatan nelayan dalam mencari kerang maupun hasil laut lainnya harus ditunda hingga 22 Maret.
Baca juga:Suzanna si Sundel Bolong dalam Film 'Malam Satu Suro' Ternyata Gemar Makan Bunga Melati
Selama penundaan itu, tim gabungan dari maritim Jepang dan pasukan AS berhasil mengumpulkan sekitar 95 persen pecahan tangki bahan bakar.
Menteri Pertahanan Itsunori Onodera telah berjanji bakal mengompensasi kerugian dari sekitar 180 anggota asosiasi nelayan setempat.
Nilai kompensasi itu bakal diumumkan setelah Kementerian Pertahanan menggelar pertemuan dengan Negeri "Paman Sam".
MENGENAL F-16
Lahirnya jet tempur F-16 tidak terlepas dari tantangan yang harus dihadapi militer AS pada masa yang akan datang.
Khususnya pertempuran modern yang juga membutuhkan pesawat lebih canggih.
Berdasar pengalaman Perang Korea dan Perang Vietnam, peluru kendali menjadi ancaman utama.
Berdasar ancaman rudal itu maka perlu diciptakan pesawat mutakhir yang mampu menghindari kejaran rudal dan radar yang sanggup mendeteksi baik sasaran maupun ancaman serangan rudal dari musuh.
Tak hanya itu, pesawat tempur yang dibutuhkan juga harus lincah dalam bermanuver dan memiliki persenjataan lengkap yang bisa digunakan untuk menyerang sasaran di darat serta di udara.
Untuk menciptakan pesawat tempur seperti itu, secara kebetulan di kalangan AU AS (USAF) ada seorang pilot kawakan, Kolonel John Boyd yang paham betul tentang teknologi pesawat tempur modern.
Sebagai mantan pilot tempur andalan AU AS selama Perang Korea, Boyd paham betul berbagai taktik manuver dan pesawat seperti apa yang perlu diciptakan untuk menghadapi pertempuran udara di era modern.
Pesawat tempur yang dimaksud Boyd adalah tipe tempur ringan (Light Weight Fighter/LWF) yang bisa bermanuver secara maksimal dalam pertempuran di udara.
Boyd yang kemudian menunjukkan kemampuan di Fighter Weapons School dengan mengalahkan para instrukturnya, akhirnya dilibatkan untuk merancang pesawat tempur yang akan diproduksi, yakni F-16.
Setelah F-16 berhasil diproduksi oleh General Dynamic pada Oktober 1976, taktik manuver yang diciptakan Boyd pun diterapkan sebagai standar utama bagi para pilot tempur AS.
Sejumlah keunggulan yang dimiliki F-16 antara lain, mengutamakan kestabilan dan kenyamanan bagi penerbang dengan kontrol sistem memakai Fly By Wire (FWB).
Selain itu F-16 juga dilengkapi peralatan tempur mutakhir sehingga pilot dapat bertempur hingga 9g, menempatkan stick kemudi di sebelah kanan sehingga pilot bisa mengamati kokpit secara lebih leluasa.
Keunggukan lainnya lagi adalah penempatan posisi kursi lontar pilot yang rebah 30 derajat ke belakang, kanopi berbentuk bubble tanpa bingkai sehingga memungkinkan pilot bisa meihat ke segala arah.
Sementara perangkat F-16 yang berperan untuk mendukung kemampuan tempurnya adalah radar pencari sasaran Westinghouse AN/APG-66 Doppler yang berada di hidung pesawat.
Radar ini mampu mendeteksi sasaran secara akurat dengan berbagai mode.
Terdapat empat mode radar untuk keperluan air to air combat dan tujuh mode untuk kepentingan serangan ke darat (air to surface attack).
Dalam operasionalnya, pilot bisa secara mudah memahami data yang dikirim melalui radar karena data dari radar dan sistem navigasinya ditampilkan ke pilot secara head up dan head down display.
Perangkat lain yang turut menentukan performa tempur F-16 adalah radar peringatan dini, Radar Warning System (RWR), ALR-69.
Radar ini sanggup mengidentifikasi sasaran mulai dari jenis pesawat musuh, posisi, dan sistem rudal darat udara SAM dan sekaligus bisa mendeteksi posisi meriam antipesawat AAA.
Berkat keberadaan radar ALR-69, pilot akan mendapat peringatan jika muncul bahaya sekaligus mampu menghancurkan ancaman.
Persenjataan yang dimiliki F-16 sebagai light fighter beragam dan terdiri dari senjata yang sangat mematikan.
Persenjataan itu antara lain, satu senapan mesin M61 Vulcan Gatling kaliber kaliber 20 mm, roket CRV7 kaliber 70 mm, enam rudal AIM-9 Sidewinder atau enam AIM-120 AMRAAM atau enam rudal python-4.
Untuk sasaran darat F-16 dilengkapi enam rudal udara ke darat AGM-65 Maverick atau empat rudal antikapal perang AGM-119 Penguin.
Sedangkan sejumlah bom yang bisa dibawa adalah GBU-87, GBU-89, GBU-97, GBU-10 Paveway, GBU-12 Paveway II, Paveway Laser Guided Bomb, JDAM, Mk 80, dan bom nuklir dengan nama sandi B61.
Ketika dioperasikan oleh USAF untuk pertama kalinya, F-16 yang mendapat julukan Fighting Falcon itu pertama kali dioperasikan oleh 388th Tactical Fighter Wing yang berpangkalan di Hill Air Force Base.
Sebagai pesawat tempur yang kemudian terbukti kemampuannya, khususnya saat ditampilkan pada Paris Air Show 1975, negara-negara lain pun berlomba-lomba untuk membelinya.
Sejumlah negara sekutu AS yang kemudian membeli F-16 dalam jumlah besar adalah Belgia (116), Denmark (58), Belanda (102), dan Norwegia (72).
Dalam perkembangan berikutnya F-16 bahkan tidak hanya diproduksi di AS, sejumlah negara telah diberi lisensi oleh AS untuk memproduksinya.
Negara yang kemudian memproduksi F-16 adalah Turki dan Korea Selatan.
Setidaknya hingga saat ini industri penerbangan Turki, Turkish Aerospace Industries (TAI) sudah memproduksi 232 unit F-16 Block 30/40/50.
Sedangkan industri penerbangan Korsel, Korean Aerospace Industries sudah memproduksi 140 unit F-16 Block 52.