Berkembang menjadi xenophobia
Januari 2005, Joe Johnson sudah mengingatkan akan bahaya radikalisasi para pendatang, dan itu tidak hanya dalam kehidupan beragama. Radicalisation of Immigrants in Europe (2005) berisi tesis harapan yang besar para pendatang terhadap negara baru namun mereka tak memiliki kapasitas yang cukup untuk mencapai kemakmuran.
Baca Juga : Urung Taklukkan Eropa, Alasan Pasukan Mongol Pilih Mundur Akhirnya Terungkap
Di sisi lain, ekspresi keagamaan yang tak bisa dikekang oleh negara menyebabkan euforia berkelanjutan. Sementara dalam kondisi nyata, hidup memerlukan kompetisi dan di negara baru pun survivalitas juga bukan hal yang mudah. Faktor-faktor semacam itu bisa menyebabkan frustrasi dan memunculkan radikalisasi.
Sebaliknya, bagi mereka yang merasa sebagai warga asli, para pendatang bagaikan ancaman bagi dominasi mereka. Bahkan timbul ketakutan berlebihan bahwa mereka akan tergulung oleh arus kuat para pendatang.
Di Belanda ada Geert Wilders, pemimpin Freedom Party yang memusuhi imigran Islam. Di Norwegia ada Siv Jensen Iman tentara ke Afganistan. Ada pula individu sayap kanan seperti Paul Ray yang suka memanaskan suasana lewat tulisan-tulisan di blognya.
Itu semua, langsung ataupun tidak, kemudian memicu perilaku ekstrem. London Timur meledak oleh kerusuhan dan penjarahan karena dipanasi oleh pertentangan kelas antara pendatang dan penduduk asli.
Baca Juga : Walau Alami Krisis Ekonomi, Turki Masih Jadi Salah Satu Militer Terbesar di Eropa
Di Oslo, Anders Behring Breivik memberondong para pekemah dengan tembakan demi alasan pemurnian kembali nilai-nilai Norwegia. Atas fakta-fakta itu, Sigmar Gabriel, Ketua Partai Sosial Demokrat Jerman, mengatakan,
“Kekekerasan di Oslo meledak seiring dengan kuatnya materialisme sekaligus kecenderungan xenophobia karena orang merasa terancam oleh kuatnya arus pendatang. Dalam masyarakat yang terpepet oleh banyak masalah, selalu muncul ekstremis, yaitu seseorang yang merasa berhak menghukum siapa pun yang dianggap salah.”
Nilai-nilai Eropa
Kejadian-kejadian ekstrem seperti di London dan Oslo memang menyentakkan kesadaran dunia, memberi gambaran bahwa Eropa yang maju dalam peradaban bisa jatuh ke titik nadir.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Aulia Dian Permata |
KOMENTAR