Advertorial
Intisari-Online.com – Mat Solar, yang lebih terkenal perannya dalamsitkomBajaj Bajuridan Tukang Bubur Naik Haji, saat ini sedang tergolek lemah karena serangan stroke pada dirinya.
Ia pernah membagikan kisah hidupnya pada Tabloid NOVA. Berikut ini tulisan Ahmad Tarmizi, Mat Solar Modal Kawin Rp2 Juta, seperti pernah dimuat di tabloid NOVA edisi 30 Januari 2005.
--
Setelah tampil di TVRI, Mat Solar jadi terkenal. Tapi ternyata popularitasnya tak kekal. Namanya pun sempat menghilang dan dilupakan orang. Bukan hanya itu, ia pun tak melanjutkan kuliahnya di UI. Pantaslah jika ia kena damprat orang tuanya.
Baca Juga : Mat Solar Kecil Pernah Dipenjara dan Baca Kitab Suci Agama Lain Demi Membuat Cerita
Sejak duduk di kelas 6 SD, aku sudah masuk teater remaja di kampungku. Namanya Teater Iperta, Ikatan Remaja Pejompongan Tiga. Pementasan pertama hanya di lingkungan RT. Tanpa skrip dan hanya improvisasi saja. Tapi ternyata lucu. Bisa dibilang sukseslah.
Karena dianggap berbakat, maka aku dan teman-teman disalurkan untuk belajar teater pada sutradara asal Tanah Abang, Sofyan Said.
Dari situ terbentuk Teater Mama. Dan kami bisa tampil di TVRI, satu-satunya stasiun televisi saat itu. Tadinya drama yang kami mainkan sama saja seperti drama remaja lainnya. Dialognya bahasa Indonesia.
Karena diniliai kurang berkembang, akhirnya kami dikembalikan ke porsi awal. Waktu awal, aku banyak bermain dengan improvisasi, kayak lenong.
Akhirnya penampilan kami seperti pertunjukkan tradisional Betawi, blantek. Dialog yang kami mainkan pun berbahasa Betawi. Aku berperan sebagai Mat Solar. Sebuah nama yang diberikan oleh Sofyansyah, sang sutradara. Ternyata drama seperti itu digemari pemirsa.
Banyak yang bilang saat itu saya sudah menjadi mahasiswa. Padahal masih sekolah SMP. Kenapa saya mampu mamainkan peran itu, karena aku doyan baca. Setiap ada koran habis aku baca, karena kebetulan kakakku langganan. Mental aku juga cukup kuat, karena sudah lama berkecimpung di teater.
Sejak itu aku populer. Di mana-mana aku dipanggil sebagai Mat Solar. Bangga sudah pasti. Tapi secara materi aku belum punya apa-apa. Honor pertama dari TVRI hanya Rp 500. Uang segitu dapat apa, sih? Berikutnya Rp 7.500.
Paling banter Rp 60 ribu. Aku juga mendapat kesempatan main film Dongkrak Antik bersama komedian paling ngetop waktu itu, Warkop. Uang yang kuperoleh itu bisa membiayai kuliah dan beli buku.
Baca Juga : Indro Warkop 'Nyadran' ke Makam Dono dan Kasino Serta Kisah Persahabatan Paling Mengharukan di Seluruh Dunia
Drop out kuliah
Ada cerita lucu dalam perjuanganku untuk bisa menembus TVRI. Kala itu aku dan teman sedang berjuang agar sekolah kami, SMP 70, bisa masuk televisi. Lantas aku dan seorang teman berencana ke TVRI untuk masukin sebuah cerita drama yang bertutur tentang anak sekolah.
Dari rumahku ke TVRI di Senayan relatif dekat, sehingga kita berjalan kaki saja. Tapi dalam perjalanan aku mengajak "potong jalan" lewat kompleks MPR. Dahulu di sana memang ada perumahannya.
Namun begitu masuk kompleks MPR seorang polisi menghadang. Kami ditanya akan ke mana. Kami jadi gelagapan. Dengan terbata-bata aku berbohong dengan menyebut nama sebuah blok sekenanya. Jawabanku ternyata membuat sang polisi kesal, karena ketahuan kami berbohong.
Baca Juga : Stroke Bisa Serang Anak Muda, Ini Cara Kenali Gejala dan Pencegahannya
Akhirnya, lagi-lagi kami masuk sel yang berada di sana. Selama 24 jam aku "dipendam" di sana. Polisinya iseng saja kali, karena aku ngibul.
Temanku dilepas lebih dahulu, karena ketika ditanya identitas orangtuanya dijawab bapaknya adalah angkatan udara. Sementara aku, hanya bisa menjawab buruh. Alhasil kita enggak jadi ke TVRI. Lucu bila mengingatnya.
Aku bisa main di TVRI bersama Teater Mama hanya dari tahun 1978 hingga 1982. Habis kampanye aku dilarang tampil, dan menghilang begitu saja. Ada masalah, deh. Posisiku sempat digantikan Muchlis dan Nana Krip. Aku bisa muncul lagi di TVRI sebagai Mat Solar di tahun 1990, dan itu yang terakhir.
Selama menghilang, aku kuliah. Sebetulnya aku tidak sengaja kuliah di Fisip Universitas Indonesia jurusan Sosiologi. Aku terpacu masuk UI karena cewek yang aku sukai masuk perguruan tinggi itu.
Baca Juga : Dari Suzana Sampai Dono 'Warkop', Inilah 6 Selebritas Indonesia yang Tetap Melegenda Meski Raga Sudah Tiada
Sementara aku di tahun itu (1982) gagal masuk (perguruan tinggi) negeri. Sebetulnya aku tidak bodoh. Hanya ketika sekolah di SMA 24 di Lapangan Tembak, sudah males belajar. Prestasi jadi menurun.
Alhasil, di tahun berikutnya aku belajar mati-matian agar lolos ujian masuk perguruan tinggi negeri. Akhirnya aku masuk UI juga. Terkabul keinginanku untuk bisa terus bersamanya. Boleh dibilang, dia cinta pertamaku.
Siapa dia, biarlah menjadi rahasia. Aku sudah suka dengannya sejak SMP. Ketika main di rumah teman, aku melihatnya dan langsung suka. Senang saja melihatnya. Orangnya kalem. Ketika SMA, kebetulan aku bisa satu sekolah dengannya.
Cuma rasa sukaku kepadanya hanya begitu-begitu saja. Pun ketika sudah kuliah, aku enggak berani mengungkapkan isi hati. Setiap mau mengutarakan, aku selalu berpikir belum waktunya. Merasa masih kecil.
Baca Juga : Pendidikan di Indonesia Makin Mahal, 5 Negara Ini Tawarkan Kuliah Gratis Bagi Siswa Internasional, Tertarik?
Rasa minder ada juga, sih. Sejumlah strategi untuk dekat dengannya sudah aku jalani. Seperti mengirim bunga dan meminjam buku. Lucu juga, minjam buku melulu, tapi enggak pernah dibaca. Jadi enggak ada tanggapan. Enggak pernah pacaran.
Sepanjang itu, hanya dia, wanita yang aku suka, enggak ada yang lain. Pada akhirnya kita sama-sama drop out. Tidak menyelesaikan kuliah. Aku juga sebetulnya sudah males dan jenuh kuliah.
Walaupun sudah diberi peringatan dari pihak kampus, aku sudah merasa siap untuk ninggalin kuliah. Pada pertemuan terakhir dengannya, dia ngajak ke Yogyakarta, karena dia mau pindah ke UGM. Tapi kali ini aku enggak bisa ngikutin dia. Setelah itu, kami tidak ada komunikasi.
Sudahlah dia bukan jodoh saya. Saya percaya takdir, kalau berjodoh kami akan dipertemukan.
Baca Juga : Lulus dari 4 Jurusan Kuliah Ini Dijamin Mudah Dapatkan Kerjaan
Kerja di radio
Tahu aku drop out (DO), orang tuaku kecewa. Mereka meledek "Kenapa lu DO begitu aja? Lu mau jadi kambing kramat? Mau jadi apaan, lu." Padahal menurut keluarga kami pendidikan itu penting. Agar orang Betawi tidak dilecehkan tidak berpendidikan atau segala macam.
Ibu juga mengajarkan aku menjadi Betawi modern. Makanya dia melarang aku kawin lagi, biar jangan jadi Betawi tradisional.
Selain malas, selama kuliah aku juga terbilang enggak aktif di kampus. Tapi aku pernah jadi tim sukses yang menggolkan seorang teman jadi ketua senat. Andi Nov namanya. Kita atur strateginya agar dia bisa jadi ketua senat Fisip. Setelah dia berhasil menduduki posisi itu, kita malah ninggalin.
Baca Juga : Inilah Perbandingan Biaya Kuliah 2018 di Fakultas Teknik UI, UGM, UNPAD, dan UNDIP
Istilahnya, lu sendiri, deh, yang mencari orang untuk giliran bekerja. Sampai akhirnya dia hanya bertahan satu semester saja menjadi ketua senat dan digantikan wakilnya, Ronggur Sihombing.
Aku drop out dari UI di tahun 1992. Ketika itu, aku merasa karier sebagai artis sudah redup. Karena kesempatan dan panggilan dari dunia hiburan sudah enggak ada lagi. Sedih memang ketika merasakan, kok, orang enggak kenal aku lagi.
Kok, begini ya hidup rasanya. Dulu disebut-sebut, tapi kini dilupakan. Orang paling bilang, kayaknya pernah lihat aku, tapi di mana ya. Cuma kayak gitu doang. Saat pertama kali booming, secara materi aku memang enggak dapat uang banyak dan beli apa-apa.
Sedih rasanya orang sudah tidak mengenal aku lagi. Artis yang Iain mungkin ada merasakan apa yang aku rasakan. Dari kejadian itu aku pun mengevaluasi berada di posisi mana.
Baca Juga : Awalnya Pembantu Artis, Kini Mereka Bintang Terkenal dan Bergelimang Harta