Advertorial

Ini Nasihat Terakhir DN Aidit kepada Adiknya Sebelum Kejadian G30S yang Berdarah Itu

Moh. Habib Asyhad
Intisari Online
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

DN Aidit lalu menggoncang badan adiknya, Sobron Aidit, lalu menampar kedua pipinya dengan tamparan manja seorang kakak. Ini sebulan sebelum G30S.
DN Aidit lalu menggoncang badan adiknya, Sobron Aidit, lalu menampar kedua pipinya dengan tamparan manja seorang kakak. Ini sebulan sebelum G30S.

Intisari-Online.com -Malam itu Sobron Aidit mengaku tidak bisa tidur. Ia masih gelisah menunggu abangnya, DN Aidit, memanggilnya.

Waktu itu sekitar Agustus 1965, Aidit sedang melakukan kunjungan ke Beijing, China.

Siang sebelumnya Aidit menyuruh Sobron tidur di tempatnya menginap. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan kepada adiknya itu.

Setelah menunggu semalaman, Sobron baru bisa bertemu abangnya itu besok paginya, saat waktu sarapan tiba. Itu pun tidak berlangsung lama.

Baca Juga : Belum 15 Tahun, DN Aidit Kecil Sudah Melunasi Seluruh Utang Ayahnya di Toko Tionghoa

“Ketika matanya terpancang kepada saya… lalu dia datang ke kursi saya. Dan saya berdiri, kami berpelukan, sudah tiga tahun saya tak bertemu dengannya,” tulis Sobron dalam memoarnya berjudul Penalti Tanpa Wasit.

Aidit lalu menggoncang badan adiknya itu, lalu menampar kedua pipinya dengan tamparan manja seorang kakak.

Sejurus kemudian Bang Amat, panggilan akrab Sobron kepada Aidit, bilang, “Apa kabarmu? Bagaimana Wati (istri Sobron) dan dua anakmu…?”

Keduanya lalu menuju ke tempat yang agak terpisah dengan rombongan lain dari Indonesia.

Tak jauh dari situ ada beberapa kursi kosong. Aidit menggamit adiknya itu menuju sebuah kursi kosong.

Di situlah Aidit berbicara kepada Sobron beberapa kalimat.

“Dengarkan baik-baik. Tanah air sedang hangat. Situasi dan suasana sedang naik tegang… tidak seorang pun di antara kalian boleh pulang buat sementara ini,” kata Aidit.

Ia melanjutkan, “Bekerjalah baik-baik memenuhi tugas yang dipercayakan tuan rumah. Jangan mengecewakan siapa pun, apalagi tuan rumah yang sudah begitu baik kepada kita.”

Aidit juga berpesan kepada Sobron untuk selalu mendengarkan radio. Radio mana saja. Australia, Jepang, Amerika Serikat, dan tentu saja Jakarta yang paling utama.

“Ikuti situasi tanah air. Dan harus pandai menyaring berita, selalu harus saling konsulitasi antarteman…”

Baca Juga : Begini Suasana di Penjara Madiun yang Dipenuhi Tahanan Politik 'Korban' Orde Lama ketika Terjadi G30S

Sejatinya masih banyak lagi yang disampaikan kepada adiknya itu, laiknya sebuah briefing informasi yang pokok dan sangat penting.

Seketika itu Sobron juga sadar, semua kata-kata Aidit adalah pesan politik—alih-alih pesan seorang kakak kepada adiknya.

Tak lupa, Aidit juga mengajaknya makan malam. Tentu saja Sobron sangat gembira karena masih punya kesempatan bertemu dengan saudara kesayangannya itu.

Yang tidak disadari Sobron adalah bahwa pertemuan Agustus 1965 itu nantinya akan menjadi pertemua terakhirnya dengan Aidit.

Setelah itu, Aidit raib entah ke mana, bahkan sampai sekarang tak seorang pun tahu di mana ia dikuburkan.

“Sungguh menyedihkan dan sungguh tragis,” tulis Sobron.

Artikel Terkait