Advertorial
Intisari-Online.com -Di hadapan anggota parlemen Amerika Serikat pada Rabu (25/7) kemarin, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menegaskan bahwa Korea Utara masih memproduksi bahan pembuat bom nuklir.
Sementara kita tahu, belum lama ini Presiden Donald Trump mengatakan bahwa ancaman nuklir dari Pyongyang telah berakhir.
“Ya, mereka terus memproduksi bahan fisil,” kata Pompei kepada para senator, seperti dilansir dari Straitstimes.com.
Mundur ke belakang, Trump bertemu dengan Kim Jong-un pada 12 Juni kemarin.
Baca juga:(Foto) Inilah Potret Nyata Kehidupan Korea Utara yang Diambil Secara Ekslusif, Memilukan!
Tak lama kemudian, presiden yang juga pengusaha itu menegaskan bahwa pemimpin tertinggi Korut bersedia menyingkirkan nuklir-nuklirnya.
Trump juga pernah mentuit bahwa “tidak ada lagi ancaman nuklir dari Korea Utara.”
Nah, dari situlah kemudian muncul kritik yang menyebut bahwa Trump kurang mengikuti perkembangan yang terjadi di Korea Utara.
Pompeo sendiri bersikeras bahwa “Kemajuan (nuklir di Korea Utara) sedang terjadi.”—sementara Trump sangat optimis tentang denuklirisasi Korea Utara.
Sebagai tindak lanjut, Pompeo memberi peringatan bahwa Washington tidak akan membiarkan negosiasi nuklir dengan Pyongyang berlanjut tanpa batas.
“Kami terlibat dalam diplomasi, tapi kami tidak akan membiarkan itu berakhir tanpa akhir (yang jelas),” kata Pompeo.
Ketegasan serupa juga ia sampaikan selama melakukan pembicaraan serius dengan Kim Yong Chol, tangan kanan Kim Jong-un yang sangat disegani.
“Kemajuan sedang terjadi. Kami ingin Ketua Kim Jong-un menindaklanjuti komitmennya yang dibuat di Singapura,” desak Pompeo.
Belum lama ini sebuah citra satelit terbaru menunjukkan bahwa Kim telah mulai membongkar fasilitas yang dianggap sebagai tempat uji coba rudal balistik antarbenua.
Baca juga:Rusia Ciptakan Torpedo Nuklir yang Bisa Sebabkan Tsunami Setinggi Ratusan Meter Dalam Sekejap
Tak hanya pada Amerika, Pompeo juga meminta negara-negara lain untuk ikut mengawasi persoalan nuklir Korea Utara ini.
Sementara itu, China dan Rusia mengatakan bahwa Korea Utara seharusnya mendapat “imbalan” setimpal atas komitmennya ini.
Paling tidak, menurut dua negara kuat itu, Korea Utara bisa mendapatkan keringanan sanksi yang lebih ringan.