Advertorial

48 Tahun Wafatnya Bung Karno: Kelaparan di Akhir Kekuasaan Hingga Berujar, 'Nasi dengan Kecap Saja Saya Mau'

Ade Sulaeman

Editor

Intisari-Online.com -Hari ini, 48 tahun lalu, salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia sekaligus presiden pertama Indonesia, Soekarno, tutup usia.

Ya, 21 Juni 1970, 15 hari setelah merayakan ulang tahunnya ke-69 tahun, Bung Karno meninggal dunia.

Namun, meski memiliki banyak predikat 'agung' sebagai salah satu tokoh terbesar bangsa Indonesia, Bung Karno menjalani masa tuanya dalam penderitaan sebagai tahanan politik Orde Baru.

Beriktu inisebuah kisah tragis mantan Presiden Soekarno di masa akhir kepemimpinannya.

BACA JUGA:Instagram Jadi Media Sosial Paling Buruk bagi Kesehatan Mental

Kisah ini dicuplik dari buku berjudul "Maulwi Saelan, Penjaga Terakhir Soekarno"terbitan Penerbit Buku Kompas 2014dan ditulis olehAsvi Warman Adam, Bonnie Triyana, Hendri F. Isnaeni, M.F. Mukti

Pada suatu pagi di Istana Merdeka, Soekarno minta sarapan roti bakar seperti biasanya.

Langsung dijawab oleh pelayan, “Tidak ada roti.” Soekarno menyahut, “Kalau tidak ada roti, saya minta pisang.”

Dijawab, “Itu pun tidak ada.” Karena lapar, Soekarno meminta, “Nasi dengan kecap saja saya mau.”

BACA JUGA:Foto-foto Indonesia Sebelum 1920, Dijamin Bakal Bikin Kita Tersenyum Geli

Lagi-lagi pelayan menjawab, “Nasinya tidak ada.” Akhirnya, Soekarno berangkat ke Bogor untuk mendapatkan sarapan di sana.

Maulwi Saelan, mantan ajudan dan kepala protokol pengamanan presiden juga menceritakan penjelasan Soekarno bahwa dia tidak ingin melawan kesewenang-wenangan terhadap dirinya.

“Biarlah aku yang hancur asal bangsaku tetap bersatu,” kata Bung Karno.

Di saat lain, setelah menjemput dan mengantar Mayjen Soeharto berbicara empat mata dengan Presiden Soekarno di Istana, Maulwi mendengar kalimat atasannya itu, ”Saelan, biarlah nanti sejarah yang mencatat, Soekarno apa Soeharto yang benar.”

BACA JUGA:Jalan Sunyi Jenderal Hoegeng, Jalannya Para Pemberani

Maulwi Saelan tidak pernah paham maksud sebenarnya kalimat itu.

Ketika kekuasaan beralih, Maulwi Saelan ditangkap dan berkeliling dari penjara ke penjara.

Dari Rumah Tahanan Militer Budi Utomo ke Penjara Salemba, pindah ke Lembaga Pemasyarakatan Nirbaya di Jakarta Timur.

Sampai suatu siang di tahun 1972, alias lima tahun setelah ditangkap, dia diperintah untuk keluar dari sel.

Ternyata itu hari pembebasannya. Tanpa pengadilan, tanpa sidang, namun dia harus mencari surat keterangan dari Polisi Militer agar tidak dicap PKI. “Sudah, begitu saja,” kenangnya. (Yoyok Prima Maulana)

BACA JUGA:Cinta Semanis Tebu Pak Harto, Romansa Yang Menyentuh Kalbu

Artikel Terkait