"Ah, di sana pun kau pasti akan mengeluh lagi," kata Pak Prihatin dari balik bacaannya. "Di sana juga sama saja panasnya seperti di sini," tambah Pak Prihatin.
"Pasti tidak. Kau sih memang enak, pergi kerja sampai sore. Tidak merasakan 'enaknya' dipanggang dalam oven ini sepanjang hari!" sahut Bu Prihatin dengan ketus.
Pak Prihatin tidak menyahut apa-apa, ia beranjak masuk, minum ... lalu tidur. Begitu pula anak dan menantunya. Mungkin Anda pernah berjumpa dengan orang-orang seperti Bu Prihatin, yang terus mengeluh sampai Anda rasanya enggan dekat-dekat. Mengapa sampai ada orang yang mempunyai kebiasaan seperti itu? Baiklah, kita lihat latar belakang hidupnya.
Suami Bu Prihatin cuma karyawan administrasi biasa di sebuah perusahaan swasta dan lingkungan tempat tinggal mereka bukanlah yang menjadi favorit banyak orang. Mereka punya sebuah sepeda motor yang sudah tua, sedangkan perabot rumah sama atau lebih tua dari itu.
Pada perasaan Bu Prihatin, gara-gara faktor-faktor inilah ia tidak bisa diterima masyarakat sebagaimana mestinya. Dulu ia bercita-cita bisa menghidangkan kopi atau teh plus camilan dengan cangkir dan piring-piring anggun, dan duduk di perabotan kayu jati berukir.
Tapi sekarang rumahnya ternyata lebih pantas jadi museum tanggung, terselip di tengah-tengah kota yang sarat dengan segala macam polusi. Suaminya menghirup kopi dari gelas
Bu Prihatin ingin dan merasa perlu hidup kaya serba bergaya. Karena kenyataannya demikian, ia merasa tidak diterima oleh masyarakat. Memang ia benar.
Seperti banyak keluarga Iain, keluarga Prihatin tidak sampai dipandang orang dengan mendongak atau dengan sorot mata kekaguman. Diterima tidak, tidak diterima juga tidak.
Kebutuhan Bu Prihatin untuk diterima itu jelas tidak memperoleh pemuasan dari suaminya. Ketika masih pengantin baru dulu, suaminya masih suka membanggakan istrinya dengan, "Kau memang montok dan seksi."
Tapi lama-lama suaminya sebal melihat sanjungan bukan memuaskan, malah mengobarkan kehausan istrinya untuk disanjung-sanjung. Sekarang Pak Prihatin merasa sudah cukuplah kalau komentarnya sesuai dengan kenyataannya saja, seperti, "Tiap hari rasanya kau makin lebar saja."
Baca juga: Sering Mengeluh Jalan Tol Macet? Jangan-jangan Perilaku Mengemudi Anda Ini yang Jadi Penyebabnya!
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR