Advertorial

Perayaan Lebaran Zaman Jadul di Kediri

K. Tatik Wardayati
,
Yoyok Prima Maulana

Tim Redaksi

Intisari-Online.com – Hari Lebaran Puasa atau Idulfitri merupakan hari raya terpenting bagi umat Islam. Namun pada dewasa ini kecuali Sembahyang Id di mesjid-mesjid, tak ada perayaan umum yang besar-besaran.

Masing-masing keluarga merayakannya di lingkungannya sendiri-sendiri. Lain halnya di waktu “tempo doeloe". Di bawah ini kisah perayaan Hari Raya di kota Kediri pada akhir abad 19 yang ditulis oleh J. Sibinga Mulder (aim.) dalam majalah Cultureel Indie, seperti dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1974.

Pagi dimulai dengan upacara sembahyang ke mesjid oleh Bupati dengan seluruh pamongpraja. Menjelang pukul sebelas siang para undangan telah terhimpun di pendopo kabupaten.

Semuanya merigenakan pakaian upacara: pejabat-pejabat dari seluruh kabupaten sampai dengan tingkat asten wedana, mantri dan penghulu-penghulu kepala.

Mereka menempatkan diri di depan pintu masuk kabupaten; bagian tengah dibiarkan kosong untuk memberikan tempat bagi bupati dengan patih dan jaksa kepalanya.

Baca juga: Pemukiman Kuno Masa Transisi Kediri ke Singorasi Ditemukan di Situs Wurandungan Kabupaten Malang

Pada suatu sisi pendopo berkumpul orang-orang swasta (maksudnya orang Belanda yang tak memegang jabatan pemerintah), semuanya dalam pakaian kebesaran, rok dengan dasi putih.

Anggota-anggota korps kehakiman, para insinyur pengairan, kehutanan dan sebagainya ditempatkan bersama para pejabat setempat yang telah pensiun, para kepala golongan Cina dan Arab, berkumpul di sisi pendopo yang lain.

Dalam busana kebesaran lengkap Bupati siap menantikan kedatangan tamu agungnya, yakni residen dengan stafnya, amtenar-amtenar B.B.

Tiba-tiba saja gamelan berbunyi: saat terpenting telah tiba. Sang residen yang ditunggu kedatangannya tiba dengan naik kereta disertai oleh kontrolir dan calon kontrolir, semuanya dalam seragam upacara lengkap.

Bupati maju ke depan untuk menyambut mereka lalu mengantarkannya ke tempat duduk masing-masing di dekat Bupati sendiri. Tak lama kemudian nada-nada gamelan melenyap di udara lalu berdirilah residen untuk menyanfpaikan pidatonya.

Baca juga: Di Balik Keceriaan Anda Menikmati Libur Berlebaran, Ada para Pahlawan yang Sering Terlupakan

la mengucapkan selamat atas berakhirnya bulan puasa kepada bupati beserta bawahannya, ditambah dengan harapan bagi masa mendatang yang lebih baik.

Setelah bupati menyambut dengan pidato balasannya, botol-botol sampanye imulai berletupan dan tamu-tamu membawa gelasnya untuk menyampaikan selamat kepada bupati dan pejabat lainnya. Dengan ini selesailah bagian resmi upacara.

Tibalah waktunya untuk menyaksikan pawai yang indah, yang tujuannya hendak memberikan gambaran tentang hasil pertanian kabupaten itu.

Sebuah gerobak dihiasi dengan daun kelapa muda dan sarat bermuatkan hasil-hasil pertanian, seperti padi, jagung, buah-buahan dan sebabai. Gerobak itu dikawal oleh beberapa orang petani bersenjatakan pacul, arit dan alat-alat pertanian lainnya.

Menyusul sebuah pedati lainnya yang ditarik oleh sepasang lembu jenis unggul, mungkin yang terbaik di desanya. Juga kereta ini dihias elok penuh dengan hasil ladang dan kebun.

Baca juga: Mudik Lebaran, Dikira Masuk Angin Eh Fitri Malah Melahirkan di Mobil di Rest Area Cipularang

Dengan demikian desa demi desa memamerkan keunggulannya atau keistimewaan hasil daerahnya, yang hari ini diperlombakan.

Arak-arakan ini diseling dengan kelompok - kelompok pemain musik, dan tentu saja tak ketinggalan pula pemain reyog yang mengenakan topeng kepala harimau dihias dengan bulu burung, merak, disusul oleh pemain kuda lumping yang menari-nari.

Setelah arak-arakan yang beraneka ragam itu habis, tibalah saat yang dinantikan sejak tadi: pembukaan rampokan. Sejak tadi orang menonton arak-arakan dari sebuah panggung bambu di depan pendopo menghadap ke alun-alun, yang pada empat sisinya dilingkungi oleh barisan pembawa tombak, ada yang dua, ada yang bersaf tiga, merupakan suatu pagar betis yang rapat.

Di bagian depan panggung langsung di belakang pasukan tombak, muncullah bupati menunggang kuda, didahului dan diikuti oleh pasukan pengawal bertombak.

Kemudian pejabat daerah tertinggi itu dengan rombongannya berhenti di depan panggung, dikelilingi oleh para pengawalnya.

Baca juga: Identik dengan Lebaran, Mudik Ternyata Bukan Lahir dari Muslim Nusantara, Lalu Siapa yang Memulai?

Macan tutul ikut pamer

Di tengah alun-alun terlihat beberapa sangkar persegi panjang yang masing-masing berisi seekor macan tutul. Peti-peti itu terbuat dari papan-papan kayu yang tak dipaku, melainkan diikat dengan tali rotan; pada papan dasarnya terdapat seutas tali yang ujungnya berakhir di belakang barisan.

Papan bagian depan yang merupakan pintu sangkar, mempunyai tangkai pegangan yang menonjol. Hewan yang mendekam di dalam peti ada dalam keadaan gelap gulita dan hampir tak dapat bergerak sama sekali.

Begitu sang bupati memberikan isyaratnya, keluarlah seorang kyai dari belakang barisan, menuju ke tengah lapangan. la mengenakan kain panjang, tak berbaju, di pinggangnya terselip sebilah keris dan tangannya menggenggam parang.

Pawang macan itu mendekati sangkar pertama lalu menyembah. Lantas ia berdiri di atas peti, menarik pintunya dan mencampakkannya dengan acuh tak acuh ke samping sangkar. Tali pengikat dipotongnya dengan parangnya.

Ia turun dari atas peti dengan tenangnya, lalu berjalan meninggalkan lapangan pelahan-lahan, tanpa memalingkan lagi mukanya ke belakang, seakan tak peduli akan peti dengan penghuninya, sampai ia mencapai tempatnya sendiri didekat bupati.

Baca juga: Agar Kantong Tak Jebol saat Lebaran, Ini Tips Mengatur Uang saat Mudik

Harimau kumbang yang sudah lama berada dalam kegelapan, kini agaknya silau matanya oleh cahaya terang benderang di luar. Ia terdiam beberapa saat — tak lama kemudian nampak ada gerak-gerik pada papan-papan: peti itu lepas berantakan, macannya nampak.

Bagi rakyat jelata, tidak segera munculnya macan karena silau oleh cahaya tiba-tiba yang membuatnya seperti terpukau, bukanlah alasan yang membuat sang pawang meninggalkan lapangan dengan acuh tak acuh.

Di mata mereka kesaktian si Kyai membuat sang macan takut ke luar sebelum pawang itu meninggalkan alun-alun.

Kadang-kadang peti kayu itu terlalu kuat sehingga memakan waktu agak lama sebelum macannya ke luar. Dalam hal ini tali pada dasar sangkar ditarik, sehingga semuanya berantakan.

Macan tutul itu merunduk, merangkak beberapa langkah ke depan, lalu menegakkan tubuhnya. Tak lama lagi ia sadar akan keadaannya, mencoba untuk memperoleh kembali kebebasannya dengan meloloskan diri lewat pagar tombak terhunus.

Baca juga: Ingin Dekorasi Rumah untuk Lebaran? Cobalah Manfaatkan 5 Tanaman Murah Meriah nan Bermanfaat Ini

Ia lari dari sisi satu ke sisi lainnya dan sebab tak melihat suatu lobang untuk meloloskan diri ia melakukan serangan dengan nekat. Mungkin ia telah terkena beberapa tikaman waktu ia terlalu dekat pada mata-mata tombak.

Hal itu membuatnya makin marah. Ribuan mata tombak yang terhunus gemerlapan dalam sinar matahari sungguh merupakan pemandangan yang menakjubkan. Barisan saf kedua dan ketiga juga ikut mengerahkan tombaknya di sela-sela kawan-kawannya di baris terdepan.

Si korban kini mencoba menembus pertahanan salah satu sisi lapangan saja dengan melompat-lompat, seakan mencoba melompati pagar senjata tajam yang diarahkan kepadanya.

Sekali-sekali ia mundur lagi karena terkena, tetapi segera ia makin nekat, lompatannya membabi-buta karena marah dan kesakitan.

Aikhirnya makin banyak dan makin dalam tusukan-tusukan lembing yang mengenai tubuhnya. Ajalnya taik dapat dihindari lagi.

Baca juga: Ini Penjelasan Ilmiah Mengapa Pada Lebaran Kita Harus Maafkan Orang-orang yang Sudah Berbuat Salah pada Kita

Kadang-kadang terjadi juga bahwa sang macan berhasil menembus juga pagar lembing dan manusia itu. Ini baru pertunjukan yang mengasyikkan.

Sang macan lari menyerbu barisan dengan lompatan: tombak-tombak diarahkan ke atas sedikit untuk menyambutnya di tengah lompatan, tetapi secara tiba-tiba ia mengubah siasat sebelum lawan-lawannya menduga sesuatu ia bertiarap di bawah mata-mata lembing lalu menyelusup di antara kaki pengepungnya.

Tetapi kebebasannya hanya dinikmati dalam waktu singkat. Pak bupati yang sudah siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan seperti itu selalu menempatkan beberapa orang penembak tepat di sudu-sudut tertentu.

Setelah berhasil lolos dari tikaman senjata tajam, sebutir peluru menamatkan riwayat sang macan.

Saya sendiri pernah dua kali mengalami peristiwa semacam itu. Di sekitar alun-alun tumbuh beberapa batang pohon beringin tua, yang dahan-dahannya merupakan panggung tingkat balkon bagi rakyat, terutama anak-anak mudanya. Banyak di antara dahan-dahan pohon besar menyemut dengan penonton.

Baca juga: Sebentar Lagi Idulfitri, Beginilah Cara Menghitung Bulan untuk Menetapkan Lebaran

Sang macan yang berhasil meloloskan diri dari kepungan langsung memanjat pokok beringin terdekat yang penuh sarat dengan penonton itu. Ini menghasilkan suatu pemandangan yang jarang didapati.

Seketika itu juga turunlah hujan manusia yang deras dari atas pohon beringin. Mujurnya tak terjadi suatu bencana pada hujan itu, dan suatu tembakan tepat telah mengakhiri perjalanan sang pemanjat berkaki empat.

Pada kesempatan ke dua yang pernah saya saksikan, sang macan mengambil jalan lain. la berhasil menyelusup di antara kaki-kaki pagar betis, sampai di dekat pak bupati, sehingga jaraknya kurang dari satu meter.

Tetapi ia tak berhenti di situ untuk menyembah, melainkan lari terus lewat bawah panggung, memasuki pendopo lalu menyembunyikan diri di bawah sofa di ruang tamu. Akhirnya dia juga dihabiskan riwayatnya dengan sebuah tembakan.

Sangkar-sangkar di alun-alun dibuka satu demi satu dan isinya dibunuh dengan cara di atas. Setelah selesai para pembawa lembing bertebaran ke segala jurusan, ke desa masing-masing.

Baca juga: Amankan Mudik Lebaran Sekaligus Cegah Aksi Terorisme, Polri Kembali Turunkan Sniper dari Satuan Brimob

Sebab setiap orang penombak mewakili desanya, maka tiada jarak yang terlampau besar atau jaIan yang terlalu sulit bagi mereka. Semua desa di seluruh kabupaten Kediri mengirimkan satu atau lebih sebagai wakil dalam perayaan itu.

Terkecoh

Pernah sekali tersiar kabar angin bahwa di dalam salah sebuah peti itu ada seekor harimau besar. Dan memang di tengah alun-alun ada sebelas buah sangkar, sepuluh diantaranya ukuran biasa, tetapi sebuah jauh lebih besar.

Semua penonton menanti dengan hati berdebar penuh ketegangan sampai giliran tiba pada peti besar. Acara pada kesepuluh peti ukuran biasa berlangsung seperti biasa. Akhirnya sang kyai menyembah beberapa kali di depan peti yang besar yang diduga memuat hari mau.

la menaiki peti, membuka tutupnya, memutuskan tali-tali pengikatnya, lalu meninggalkan lapangan dengan tenang tetapi khidmat, diikuti dengan penuh ketegangan oleh ribuan pasang mata.

Baru setelah tali pada papan dasar ditarik orang terlihat adanya gerak dalam sangkar. Ini makin mendebarkan jantung para penonton, lalu yang ke luar bukannya raja hutan yang ditakuti tetapi si pemain reyog, lengkap dengan topeng dan kulit harimau.

Baca juga:Anti Ribet, Ini 6 Tips Praktis 'Packing' Pakaian Untuk Mudik Lebaran

la bangkit meninggalkan lapangan sambil menari-nari diiringi oleh gemuruh tawa penonton yang terbahak-bahak geli.

Tombak-tombak kini disimpan kembali; beberapa di antaranya dihiasi dengan suatu panji kecil. Ini ialah lembing-lembing yang pernah mengenai salah seekor atau lebih macan yang dijadikan korban dengan meninggalkan tanda-tanda jelas.

Tentu saja hanya sedikit sekali yang bisa memperoleh tanda jasa itu. Dan memang kans untuk bisa menikam hewan rampoikan itu terang sedikit sekali diantara sekian ribu penombak itu.

Baca juga: Sebelum Mudik Lebaran, Simak Dulu 10 Poin Berkendara Aman dari Suzuki Ini

Artikel Terkait