"Ketika keluarga saya memulai perjalanan ini, kami semua berenam. Kami kehilangan tiga anggota keluarga kami," kata adik ipar Lalu Begum, Nassima Khatun, kepada CNN.
"Suami dan anak saya dibunuh, anak saya yang lain hilang."
CNN tak bisa memverifikasi pengakuan para pengungi atau video di media sosial yang memperlihatkan kekerasan dan korban di Rakhine, mengingat daerah Rohingya saat ini ditutup rapat-rapat oleh rezim Myanmar, bahkan media dan badan-badan bantuan pun dihalang-halangi masuk.
"Kami telah meminta pemerintah Myanmar untuk memberikan akses kepada kami sehingga kami bisa menghitung jumlah korban yang sebenarnya," kata McKissick.
"Kami sendiri menyaksikan (pengungsi) membanjiri perbatasan, masuk Bangladesh, di hutan-hutan, di jalan-jalan besar, di desa-desa, di kamp-kamp darurat."
Myanmar membantah
Akan tetapi, tiba di perbatasan bukan berarti penderitaan berakhir. Bangladesh menerapkan pengamanan yang ketat guna mencegah dan mengusir balik pengungsi karena tak ingin dibanjiri pengungsi.
Tetapi ribuan orang Myanmar sudah terlanjur menyeberang ke Bangladesh dan pemerintah Bangladesh mengatakan "ribuan lainnya telah berkumpul di perbatasan."
Pemerintah Bangladesh bahkan telah memanggil Duta Besar Myanmar di Bangladesh Rabu pekan ini. Tujuannya untuk mengutarakan keperihatinan Bangladesh atas situasi yang terus memburuk di Rakhine menyusul operasi penumpasan oleh militer Myanmar.
Namun pemerintah Myanmar membantah laporan pelanggaran hak asasi manusia di Rakhine, dengan alasan militer tengah menggelar operasi pembersihan yang membidik para tersangka pelaku kekerasan yang menewaskan sembilan tentara penjaga perbatasan 9 Oktober silam.
Sejak itu media resmi Myanmar melaporkan bahwa sekitar 100 orang tewas dan 600-an lainnya ditahan.
"Skala masalah di dalam Provinsi Rakhine tempat etnis Rohingya benar-benar terperangkap adalah menyedihkan," kata McKissick. "Pemerintah Myanmar telah menerapkan hukuman kolektif kepada minoritas etnis Rohingya."
Source | : | antara |
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR