Intisari-online.com - Jody Brotosuseno, pendiri Waroeng Group. Gerai steak dengan harga bersahabat, Waroeng Steak & Shake, juga tidak lahir begitu saja. Sebelum tiba di posisi kesuksesan bisnis, Jody berjuang mati-matian.
Dari sebuah gerai kecil dengan lima meja, kini perjuangannya itu menghadirkan 82 gerai Waroeng Steak & Shake di seluruh Indonesia. Bahkan, gerai sederhana yang dulunya hanya dikelola berdua dengan istri, kini memperkerjakan 1.700 karyawan.
“Saya menikah muda,” seru Jody. Itulah alasan mengapa ia harus mulai berpikir dan bertindak demi menafkahi keluarga. Usia 23 tahun ia memutuskan berkeluarga dan meninggalkan bangku kuliah sebelum mengenakan toga. Cita-citanya menjadi arsitek juga kandas.
Karena the power of kepepet ini, Jody mau tak mau banting setir ke bisnis. Berbagai jenis bisnis dilakoni. Mulai jualan parsel, roti bakar, susu segar. “Bahkan saya pernah usaha jualan kaus partai,” cerita Jody. Namun semua bisnis coba-coba itu belum membuahkan hasil. Berkali-kali mencoba ternyata belum berhasil.
Jody kemudian terpikir untuk mengikuti jejak ayahnya yang sukses dengan Obonk Steak. Dalam masa mempersiapkan bisnis kuliner ini, ia terpikir tentang peristiwa yang pernah dialaminya saat mahasiswa. Saat ia mengajak teman-temannya untuk makan di Obonk. Kebanyakan mereka menolak. Alasannya, tidak pas dengan kantong mahasiswa.
Berangkat dari pengalaman ‘belum berhasil’ dengan berbagai ujicoba bisnis tadi, Jody pun membuka Waroeng Steak & Shake. Kata Jody, di saat itulah dia mengerti bahwa bisnis bukan tentang menjual apa yang hendak dijual saja namun menjual apa yang akan dibeli oleh orang lain. Dalam hal ini, Jody menemukan jawaban dari “produk apa yang pasti dibeli orang?” Ya, steik murah!
Tapi bagaimana caranya membuat steik murah? Jody mulai melakukan berbagai eksperimen. Ia yang tidak memiliki basic dalam dunia masak-memasak ini perlu melalui berkali-kali percobaan untuk menghasilkan steik yang lezat namun tetap bisa dijual dengan harga murah.
Hingga akhirnya percobaan itu berhasil membuat rasa yang cocok di lidah dan cocok di kantong.
Bisnis ini tidak hanya menjawab kebutuhan Jody, namun juga kebutuhan mahasiswa yang kantongnya pas-pasan itu. Belum cukup uang untuk membuat gerai sendiri, warung steik murah yang sudah direncanakan tadi dibuka di teras rumah. Berbekal lima meja sederhana, berdirilah gerai sederhana bernama Waroeng Steak & Shake.
Pada tahun pertama warung teras steik murah milik Jody dijalankan. Berbagai tantangan muncul lagi. Saat itu, di pikiran banyak orang yang namanya steik pasti mahal. Saat itulah, Jody dituntut untuk berpikir kreatif. Bagaimana caranya agar warung kecilnya itu bisa ramai.
Saat itu di tahun 2000, promosi tidak bisa dilakukan segencar sekarang ini. Sebab perkembangan teknologi digital belum begitu berkembang. Pilihan untuk promosi hanya bisa dilakukan melalui iklan di media massa.
“Untuk membayar iklan di koran dan radio rasanya tidak sanggup. Akhirnya saya memutar otak, bagaimana caranya orang tahu kalau steik yang saya jual, harganya tidak mahal,” jelas Jody.
Penulis | : | Tika Anggreni Purba |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR