Sejatinya hubungan saya dengan mereka bukan sekadar hubungan antara periset dengan narasumbernya tapi kerap lebih kepada hubungan antara anak dan ayah.
Begitulah, wajar jika ketika hari ini saya mendengar Bah Atma sakit keras, benak saya dipenuhi keinginan untuk segera menemuinya kembali.
Orang ini memang miskin harta di masa tuanya (ia hanya pembuat gula aren), tapi kaya pengalaman dan pelajaran hidup.
Sejak usia 9 tahun sudah menjadi petempur bocah di salah satu lasykar lokal di Ciranjang (saya tulis riwayat hidupnya di buku terbaru saya: Orang-Orang di Garis Depan) tak menjadikan nuraninya mati.
Ia pernah menolak perintah sang komandan untuk memukul salah satu tawanan yakni seorang serdadu Belanda totok yang usianya masih muda.
"Jangan pernah memperlakukan kasar orang yang sudah tak berdaya, itu pesan ibu saya ketika melepas saya pergi untuk bergabung dengan pasukan Pak Kentjong," ujarnya suatu senja ketika kami bercengkaram di saungnya yang sudah butut di pinggiran hutan Gunung Mananggel.
Bah Atma bukan satu-satunya eks pejuang yang terlupakan, saat ini ada sekitar 40 an lagi veteran miskin yang seharusnya "tidak lagi bekerja dan menikmati masa tuanya dengan beribadah" nyatanya mereka masih bertebaran sebagai kuli atau pengemis di pinggir-pinggir kota.
Dalam waktu dekat saya akan menemui mereka lagi. Bersama kawan-kawan Historika Indonesia yang selama ini setia sebagai mitra para pejuang yang terlupakan ini, kami akan mengadakan kegiatan "Veteran Berlebaran" : sebentuk kecil penghormatan dan apresiasi kami untuk mereka.
Jika ada kawan-kawan yang tertarik ikut serta dan berpartisipasi, tentunya kami tak akan bisa menolaknya. Terimakasih. (hendijo)”
Veteran Berlebaran
Saat ini, Hendi Jo bersama rekan-rekannya di Historika Indonesia sedang melakukan kegiatan “Veteran Berlebaran”. Kegiatan ini mengajak kita untuk memberikan bantuan kepada para veteran yang kini hidup dalam keterbatasan ekonomi.
Berikut informasi lengkapnya:
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR