Advertorial
Intisari-Online.com – Juli 1934. Karena pada waktu itu belum ada hubungan udara antara tanah air dan Europa maka perjalanan ke negeri dingin ini saya lakukan dengan sebuah kapal laut. Setelah menginap 3 malam di Batavia (sekarang Jakarta) pada keesokan harinya saya dengan keluarga menuju Priok.
Berangkat dengan menumpang kereta api dari Gambir sampai pangkalan kapal tepat di depan kapal yang akan saya tumpangi bernama “Johan de Witt". Kapal hanya berukuran 11.000 bruto register ton, tetapi pada waktu itu sudah termasuk ukuran besar.
Pemeriksaan bagasi oleh pabean berjalan dengan lancar. Koper-koper tidak diobrak-abrik, tidak ada pertanyaan membawa ini dan itu. Lain dulu, lain sekarang!
Perpisahan dengan pengantar lain daripada di lapangan udara. Pengantar-pengantar boleh duduk-duduk di atas dek selama satu jam lamanya dan dalam waktu itu dapat memesan minum-minuman.
Baca juga: Mau Tahu Kehidupan Adolf Hitler? Kita Bisa Melihatnya dalam Arsip Washington
Lima belas menit sebelum waktu ini lampau dengan selang waktu 5 menit terdengar bunyi lonceng yang nyaring sekali. Bunyi pertama memberikan isyarat agar pengantar siap meninggalkan kapal, bunyi kedua menandakan agar mereka meninggalkan kapal dan setelah bunyi ketiga kapal akan segera berangkat.
Tujuan saya ialah menuju negeri Belanda melanjutkan pelajaran di Institut Tekonologi Delft setelah lulus pada AMS (Algemene Middelbare School) di Malang (AMS sederajat SMA sekarang).
Karena pada waktu itu untuk orang pribumi tidak ada beasiswa untuk belajar ke negeri Belanda maka beaya pelajaran dan ongkos hidup seluruhnya di Europa ditanggung oleh keluarga di Solo.
Ticket kapal dari Priok sampai Amsterdam harganya 500 gulden Belanda dan ini untuk kelas terendah kelas III. Pada waktu itu belum ada kelas turis atau ekonomi. Di dalam kabin kelas II ada dua tempat tidur bersusun.
Baca juga: Dari Hitler Hingga Putri Diana, Inilah Foto Terakhir Para Tokoh Dunia Sebelum Mereka Meninggal
Saya menempati kabin sama-sama dengan seorang guru Belanda yang sedang perlop ke negerinya dan saya memilih tempat tidur di atas. Jendela kabin berada di bawah garis air kapal. Pelabuhan terakhir dari tanah air yang disinggahi kapal adalah Sabang.
Karena di Kolombo pada waktu itu ada wabah kholera maka “Johan de Witt" langsung berlayar ke Port-Said dalam waktu dua minggu. Sebelum memasuki pelabuhan ini, kapal melewati selat antara Afrika dan Asia di ujung Arab Saudi yang bernama “Bab el Mandeb". Ini berarti “gapura air mata".
Pada zaman dahulu, karena ombak-ombak begitu besar banyak kapal layar tenggelam di selat itu dan ini mengakibatkan bercucurnya air mata dari keluarga awak kapal-kapal itu.
Di Port-Said yakni pelabuhan Terusan Suez yang menghadap Lautan Tengah saya mengalami sebuah kejadian yang tak terduga. Kapal berlabuh sudah malam dan berangkat lagi keesokan harinya.
Hampir semua penumpang turun kapal dan saya pun mengikutinya dan berjaIan sendiri melalui sebuah jalan yang agak remang-remang. Di sini saya dikerumuni oleh orang-orang yang memperlihatkan “gambar-gambar itu-itu".
Tentunya pembaca-pembaca tahu apa yang saya maksudkan. Untuk menghindarkan orang-orang itu saya berjalan cepat dalam haluan liku atau berputar-putar menuju toko “Simon Arst" yang terang benderang. Toko ini terkenal dengan penjualan tembakau dan rokok yang amat murah.
Dengan penumpang-penumpan lain yang berbelanja di toko itu saya bergabung dan menuju kapal. Walaupun sudah dewasa pada waktu itu saya masih “hijau" dalam hal itu. Dari Port-Said kapal “Johan de Witt" langsung berlayar ke Genoa di Italia.
Genoa — Amsterdam melalui daratan
Dari Genoa ke Amsterdam ada dua jalan. Pertama melanjutkan perjalanan melalui laut keliling Spanyol selama satu minggu atau melalui daratan dengan naik kereta api yang disebut “boottrein" atau “kereta api kapal" melalui Italia, Swiss dan Jerman selama 24 jam.
Ataukah menempuh jalan pertama atau kedua untuk keduanya harga tiket dari Priok sama. Karena ingin melihat Swiss, salah sebuah negara yang indah di Europa, maka saya naik kereta api.
Dari Institut Teknologi Delft ke ETH, Zurich.
Tidak ada yang saya ceritakan selama dua tahun belajar di Institut tersebut. Walaupun hanya menempuh ujian ulangan Fisika, maka karena hawa di negeri Belanda tak cocok, di bulan Juni 1936 saya pindah ke Zurich.
Tanpa kesulitan-kesulitan saya langsung diterima di ETH (singkatan : Eidgenoessische Technische Hochschule) untuk tingkat ke-II dengan catatan bahwa saya harus menempuh ujian pertama dan selain itu dibebaskan pula dari praktikum-praktikum tingkat I dan menggambar.
Pada waktu itu di ETH jumlah ujian ada tiga selama lima tahun pelajaran. Ujian pertama pada akhir tingkat pertama dan kedua pada akhir tingkat kedua. Yang paling berat adalah ujian terakhir yang mencakup pelajaran 3 tahun lamanya meliputi jumlah 15 mata pelajaran. Semua ujian diambil secara lisan.
Ujian terakhir ditambah dengan sebuah proyek teori atau laboratorium yang harus diselesaikan dalam waktu enam minggu.
Ujian ulangan tidak ada. Setelah lulus ujian terakhir calon diberi titel Dipl. Ing, singkatan dari Diploma Ingenieur atau insinyur berijazah. Karena ETH masyhur dan dikenal di dunia, maka semua lulusan mencantumkan ETH di belakang titelnya.
Angka-angka ujian adalah satu untuk yang terrendah dan enam yang tertinggi.
Di ETH pada waktu itu berlaku “numerus clausus" yakni mahasiswa tidak boleh jatuh dua kali untuk setiap ujian dan kedua setiap ujian harus diselesaikan dalam waktu dua tahun.
Menjadi mahasiswa paling lama belajar sepuluh tahun sampai mendapat titel. Hasil ujian tidak diumumkan secara lisan atau tertulis, melainkan dengan jalan melalui pos di dalam sebuah sampul.
Mahaguru-mahaguru “kaliber dunia" di ETH.
Di ETH pernah memberikan kuliah-kuliah Prof. Einstein dari Jerman, Prof. Pauli dari Austria, Prof. Debey dari Belanda, Prof. Ruzcika dari Yugoslavia, kesemuanya pemenang-pemenang Hadiah Nobel untuk Fisika.
Pernah pula memberikan kuliah Prof. Piccard dari Belgia yang dikenal penerbangan balon-balonnya untuk Fisika, Prof. Treadwell dari Inggeris untuk Kimia.
Pada waktu itu saya mendapat kuliah Fisika dari Prof. Scherrer, assisten dari Prof. Debey. Saya merasa bangga bahwa pada waktu itu yang mengambil ujian Matematika saya adalah Prof. Hirsch, bekas guru Prof. Einstein.
Pada wantu itu yang memberikan kuliah Mekanika adalah Prof. Meissner, berkebangsaan Swis. la dikenal sebagai “algojo ETH" karena pertanyaan-pertanyaan sulit didalam ujian. Saya takut sekali dan ujian selalu saya tangguhkan tetapi menurut aturan waktu tunggu hanya dua tahun.
Baca juga: Meski Terobsesi dengan Kemurnian Ras Arya, Nyatanya Hitler Mengaku Respek dengan Dua Bangsa Asia Ini
Pada suatu hari saya melihat bahwa dihalaman ETH bendera dikibarkan stengah tiang. Prof. Meissner telah meninggal dunia. Dengan segera saya mendaftarkan diri untuk ujian. Yang mengambil ujian untuk Mekanika selanjutnya adalah asistennya, seorang Norwegia, yang lemah dalam pertanyaan-pertanyaannya.
Gedung ETH adalah megah bertingkat lima dan didirikan pada tahun 1855, jadi sudah hampir 125 tahun. ETH adalah satu-satunya Institut yang dimiliki oleh Pemerintah Federal Swis. Universitas-universitas lainnya adalah milik bagian-bagian Swis yang disebut kanton-kanton .
Lenin dikiriin dalam kereta-api di segel
Walaupun bukan ibu kota namun kota Zuerich penduduknya paling besar. Terletak ditepi danau Zurich yang indah sekali. Banyak orang-orang masyhur pernah tinggal di sini. Rumah bir “Odeon" yang terletak menghadap danau dikenal karena Lenin disini sering minum bir.
Lenin adalah pendiri Rusia modern dan nama selengkapnya adalah Wladimir Djitsj Lenin.
Saya masih berkenalan dengan seorang pelayan “Odeon" yang sudah tua dan ia banyak menceritakan mengenai Lenin. Seperti diketahui pada tahun 1917 Lenin meninggalkan Swis dengan kereta api yang disegel melalui Jerman menuju St. Petersburg yang sekarang bernama Leningrad.
Salah seorang langganan lainnya dari “Odeon" adalah J. Joyce, berkebangsaan Irlandia yang terkenal dengan karyanya “Ulysses".
Di belakang setasiun terdapat sebuah taman indah sekali, di sini terdapat banyak bangku duduk. Di taman ini pernah berjalan-jalan orang-orang masyhur seperti Prof. Einstein, Mussolini, Joyce, Lenin dan Iain-lain.
Kamar “bebas bom".
Mahasiswa sebelum menghuni kamar sewaan selalu bersepakat dahulu dengan “kostvrouw" perihal segala-galanya apakah boleh menggunakan dapur untuk masak kopi dan Iain-lain.
Yang penting terutama ialah apakah teman perempuan boleh menginap. Bila hal ini tidak dibicarakan dengan “kostvrouw" yang berkeberatan maka bila kelak teman perempuan yang menginap kepergok pasti akan terjadi pertengkaran mulut antara “kostvrouw" dan si mahasiswa di kamar penghuni.
Karena nada-nada amat keras seakan-akan kamar akan meledak. Maka itu lahirlah istilah “ein bomfreies Zimmer" atau kamar “bebas bom"
1938: di Wina: saya melihat Hitler.
Setelah perundingan antara kanselir Schnuschnigg dari Austria yang diadakan di Berchtesgaden, yang merupakan sarang rajawali gembong-gembong Nazi dan terletak di daerah pegunungan indah, menjadi gagal, maka Hitler kemudian menjalankan politiknya "der Anschluss" terhadap Austria yang telah diidam-idamkan dalam bukunya “Mein Kampf".
Pada 14 Maret 1938 dengan pawai Hitler memasukki kota Wina.
Tiga hari sebelumnya berkat info seorang wartawan harian Swis saya pergi bersama-sama ke Wina. Hitler hanya tinggal satu malam di Wina dan menginap di hotel yang megah “Imperial".
Karena teman sudah tahu bahwa Hitler akan menginap di hotel itu maka walaupun “Imperial" dijaga dengan ketat oleh pasukan SS saya sempat melihat Hitler tatkala memasuki hotel itu.
Perawakannya tidak begitu tinggi, memakai kumis ala pelawak bintang pilem zaman dahulu: Charlie Chaplin.
Menurut “Kompas" tgl. 16 Nopember 1972 dalam kunjungannya ke Wina, Presiden Suharto juga menginap di Hotel “Imperial" yang megah itu.
6 Juni 1944 : Invasi Sekutu di pantai Normandi, Perancis.
Invasi ini merupakan tusukan rencong ke dalam jantung Jerman Nazi yang mengakhiri perang dunia ke-II. Sepanjang malam menjelang hari "D" tersebut saya kebetulan mendengarkan radio "BBC". Disiarkan Iagu-lagu gembira dan setiap sepuluh menit siaran dihentikan.
Kemudian terdengarlah kata-kata Perancis: “Anak-anak besok tidak masuk sekolah" Keesokan harinya saya membaca di dalam surat kabar bahwa kata-kata tersebut merupakan kode untuk anggota-anggota pejuang bawah tanah bahwa besok hari Sekutu akan mendarat di sebuah pantai di Perancis.
Baca juga: Meski Terkesan Kejam, Nama Adolf Hitler Ternyata Pasaran dan Sering Digunakan Keluarga Petani Kecil
Dari radio “Vrij Nederland" saya menangkap siaran bahwa kapal “Johan de Witt" yang sepuluh tahun sebelumnya membawa saya ke Genoa, ikut dalam armada invasi. Dekat pantai Normandia kapal tersebut tenggelam kena sebuah torpedo.
Kerajaan “seribu tahun"
Perang yang dilancarkan oleh Hitler dimulai pada hari Minggu tanggal 1 September 1939. Tepat pada malam 8 Maret '45 meriam-meriam di Eropa bungkam dan berakhirlah perang dunia ke-II di Europa.
Dalam waktu lima tahun, delapan bulan dan tujuh hari berjuta-juta orang laki-laki, perempuan dan anak-anak tewas dan berjuta-juta orang lain mati dalam kamar-kamar gas dan kamp-kamp konsentrasi.
Marsekal Tschuikow dari Rusia menulis pada akhir bukunya: “Das Ende des dritten Reiches": “Akhirlah sudah perang yang dahsyat. Oleh tentara Rusia ditempuhlah jalan panjang dan sulit. Bila jalan-jalan yang ditempuh tentara Rusia mulai dari gapura depan Moskwa sampai Berlin dalam gerak-gerak berIiku-liku, maju dan mundur, ditarik lurus maka panjangnya hampir sepanjang khatulistiwa."
Dengan berakhirnya perang dunia ke-II di Europa dan bunuh dirinya Hitler berakhirlah pula kerajaan “seribu tahun" yang selalu diidam-idamkan oleh diktator berkumis ala Charlie Chaplin.
Dengan demikian kerajaan “seribu tahun" hanya berusia tepat duabelas tahun, empat buIan dan delapan hari.
(Ditulis oleh Sujito Danusaputro Dipl. Ing., Eth. Zurich. Seperti pernah dimuat di Majalah Intsiari edisi Juli1973)
Baca juga: Meski Terobsesi dengan Kemurnian Ras Arya, Nyatanya Hitler Mengaku Respek dengan Dua Bangsa Asia Ini