Advertorial

Dikenal sebagai Remaja Putus Sekolah dan Gembel Jalanan, Adolf Hitler Muda Disebut Punya Sorot Mata Sangat Mengerikan

Moh Habib Asyhad

Editor

Tatkala teman-temannyaa mulai bosan dengan perang-perangan, Hitler lalu mengumpulkan anak-anak lain untuk diajak perang-perangan lagi.
Tatkala teman-temannyaa mulai bosan dengan perang-perangan, Hitler lalu mengumpulkan anak-anak lain untuk diajak perang-perangan lagi.

Intisari-Online.com -Seperti anak lainnya, sewaktu masih bocah dan mulai masuk sekolah pada usia enam tahun, Adolf Hitler pun suka bermain bersama teman-temannya.

Di sini sudah kelihatan bagaimana dia menjadi sosok yang paling dominan.

Bila bermain perang-perangan, maka dialah yang menjadi pemimpinnya.

Tatkala teman-temannyaa mulai bosan dengan perang-perangan, Hitler lalu mengumpulkan anak-anak lain untuk diajak perang-perangan lagi.

Untuk permainan yang satu ini, Hitler kecil tampaknya tidak pernah jemu-jemunya.

Tetapi selain suka peperangan, anak tersebut ternyata juga senang membaca dan melihat buku koleksi ayahnya.

(Baca juga:Tak Hanya di Indonesia, Beginilah Kisah-kisah Mengerikan Tentang Ketindihan di Berbagai Negara)

Kegemarannya terutama adalah buku atau majalah kemiliteran yang penuh dengan gambar.

Tatkala lulus dari sekolah dasar, oleh ayahnya (Alois Hitler) dia dimasukan ke realschule dan bukannya ke gymnasium.

Alasan Alois adalah praktis saja, karena sekolah ini sifatnya kejuruan.

Jadi berbeda dengan gymnasium yang lebih umum dan banyak subyek klasik serta humanioranya, yang menurut Alois tidak banyak gunanya dalam mencari pekerjaan.

Dengan sekolah kejuruan, Alois berharap Hitler nantinya lebih mudah memperoleh pekerjaan.

Tetapi di sekolah menengah ini, Hitler mengalami kesulitan dalam mencerna pelajaran.

Nilai-nilainya banyak yang buruk, sehingga dia tambah malas dan sering membuat onar.

Hubungan dengan para guru pun sering diwarnai hukuman terhadapnya. Padahal, sebetulnya dia adalah anak yang cerdas.

Di sekolah itu, dia praktis hanya menyenangi mata pelajaran menggambar.

Selain itu dia suka masuk ke perpustakaan sekolah, membaca subyek yang paling disukainya: semua hal ihwal mengenai Jerman!

(Baca juga:Adolf Hitler Perintahkan Pasukannya Bertindak Seperti Gangster, Nyawa Rekan Sendiri dan Jutaan Warga Yahudi pun Melayang)

Dia tidak suka terhadap nasihat atau kritik dari guru maupun temannya.

“Kebanyakan dari guru itu terganggu mentalnya dan edan,” kata Hitler menilai para pengajarnya.

Akhirnya Hitler meninggalkan realschule tanpa ijazah, disertai perasaan benci terhadap sekolah dan guru.

Kebenciannya terhadap hal-hal yang besifat akademik dan intelektual itu, nantinya akan tercermin dalam ideologi Nazi-nya.

Sewaktu masa sekolah itulah orang yang berhubungan dengan Hitler, mulai tertarik terhadap daya matanya yang dianggap luar biasa.

Mata yang seolah-olah memiliki kekuatan yang dapat menundukkan orang lain yang memandangnya.

Sehingga tak jarang selain mengagumi, orang pun malah takut terhadap sorot matanya.

Daya matanya yang luar biasa ini akan terus melekat pada diri Hitler setelah berkuasa kelak, sehingga banyak jenderal pun yang akan grogi jika dipandangnya.

Ketika Hitler hampir berusia 14 tahun, ayahnya meninggal dunia (1903).

Namun hal itu tidak mengubah keadaan. Kelembutan Ibu Hitler (Klara) untuk membuat anaknya rajin belajar, tetap tidak mempan.

Bahkan Klara-lah yang semakin terpaksa menuruti kehendak anak lelakinya itu.

Pada usia remaja 16 tahun, Hitler pergi dari rumahnya dan berkelana di kota Linz.

Selama dua tahun ia tidak melakukan apa-apa walau selalu bermimpi ingin menjadi seniman.

(Baca juga:(FOTO) Kreatif Parah! Menggunakan Pasir Pantai Seniman Ini Ciptakan Karya yang Luar Biasa Detailnya)

Untung ayahnya meninggalkan warisan yang cukup lumayan, sehingga ibunya dapat mengongkosi pelualangan anak muda yang tak menentu itu.

Klara mengiayakan saja kemauan anaknya karena ia berharap Hitler nantinya akan bertumbuh menjadi seorang seniman berkat bakat menggambarnya.

Sekalipun sudah bertumbuh menjadi orang muda, namun berlainan dengan kebanyakan orang, Hitler tidak suka pacaran atau berdekat-dekat dengan perempuan.

Kerjanya hanya bermalas-malasan saja, hingga saat ibunya menutup mata pada 1908. Sisa warisan ayahnya masih dapat untuk sekadarnya menghidupi Hitler dan Paula.

Kemudian Hitler pergi ke Wina, dengan niat untuk belajar di Akademi Seni.

Namun gagal karena tidak lulus tes. Ia lalu mengisi kehidupannya dengan melukis kartupos dan iklan.

Ia hidup dalam kesendirian karena dia memang tidak mampu membina hubungan yang akrab dengan orang lain.

Dia tidak punya sikap toleran, dan dalam dirinya pun mulai tumbuh rasa benci terhadap kaum borjuis serta orang-orang non-Jerman, terutama Yahudi yang umumnya kehidupannya mapan.

Dirinya selalu cenderung meledak-ledak, hidup dalam dunia khayal sebagai pelarian dari kegagalan serta kehidupannya yang morat-marit.

(Baca juga:Ransel Melayang Selamatkan Nyawa Gerombolan Pelajar dari Sepasang Pisau Tajam Milik Pria Misterius)

Dia hanya punya seorang teman bernama Kubizek, yang tinggal bersama dia di tempat kos. Karena dia menganggur maka lama kelamaan uang warisan ayahnya pun habis.

Tanpa pamit, ia tinggalkan temannya itu. Mereka baru bertemu lagi hampir 30 tahun kemudian ketika Hitler merebut Austria 1938.

Hitler kemudian mencoba sekali lagi masuk ke Akademi Seni di Wina. Tetapi lagi-lagi gagal, sehingga hidupnya makin tidak menentu. Ia pindah ke penginapan murah.

Tetapi karena kondisi keuangannya memburuk, ia luntang-lantung, sering tidur di bangku taman kota seperti gembel.

Ia menyokong hidupnya dengan melukis yang hasilnya dia jual.

Untuk makan pun dia harus antre untuk memperoleh sup gratis dari biara para suster.

Dengan pakaian dan mantel panjangnya yang kumuh, rambut panjang dan wajah tak bercukur, orang-orang yang mengenalnya menjuluki dia “Ohm Paul Krueger”, pemimpin kaum Boer di Afrika Selatan kala itu.

(Baca juga:Kisah Pesawat B-29 Superfortress, Algojo Pamungkas Penutup Lembaran Kelam Perang Dunia II)

Artikel Terkait