Disitu saya lihat tumpukan bola-bola besi mulai dari ukuran kelereng sampai yang sebesar bola kaki, bahkan lebih besar lagi.
Bola yang sebesar kelereng saya ambil dan saya masukkan ke lobang laras bedil sundut yang sudah saya bahas lebih dulu dalam tulisan ini.
Ternyata masih kebesaran. Berarti kelereng besi ini punya garistengah lebih dari 2 ½ cm. Berarti pula bahwa peluru bedil sundut itu sudah tidak ada, atau mungkin juga belum diketemukan.
Kemudian bola besi yang sebesar bola kaki saya ambil. Lalu saya masukkan ke dalam lobang laras Si Jagur. Ternyata pas. Benarkah ini pelurunya? Kalau benar berarti saya mendapatkan sesuatu yang orang-orang museum sendiri belum menaruh perhatian bahwa sebagian bola-bola besi itu anak peluru meriam Si Jagur.
Lalu di mana obat mesiunya? Mungkin sekali sudah kadaluwaraa dan habis dimakan waktu.
Seorang kawan dari Timor menceritakan bahwa raja-raja di daerahnya pada jaman dulu sering menembakkan meriam yang dilakukan pada hari-hari besar. Meriam tersebut sebelumnya diikat kanan kirinya pada pohon, lalu mesiu dimasukkan ke dalam lobang laras dan yang terakhir anak pelurunya, bola besi.
Dengan obor yang panjang meriam itu disulut dan mengeluarkan letusan hebat. Cerita ini tidak jauh berbeda dengan yang ditulis dan digambar didalam buku 'Guns' oleh Dunley Pope (The Hamlyn Publishing Group Ltd, cetakan 4, 1972).
Prinsipnya hampir sama dengan bagaimana menembakkan bedil sundut. Bedanya hanyalah, bahwa meriam dilayani lebih dari seorang.
Ada yang khusus tukang pembersih lobang laras, ada pembawa anak peluru dan obat mesiunya. Dua orang pengikat meriam biar tidak banyak bergerak waktu ditembakkan, seorang penembak yang selalu siap dengan obor pembakar dan seorang lagi pemimpin penembakan meriam itu sendiri.
Boleh jadi meriam Si Jagur dulu dibawa oleh pasukan darat yang dipimpin panglima perang dalam pertemuran di Jakarta. Si Jagur yang berat itu dimuatkan di atas kereta dan digeret 18 sampai 25 ekor kerbau. Gajah-gajah juga dikerahkan.
Perlengkapan logistik dan amunisi diangkut pakai angkutan khusus. Lalu di depan benteng Belanda meriam ini ditembakkan. Tembok benteng hancur. Pertempuran terus berlangsung.
Ternyata pasukan yang menyerang benteng itu juga mendapat sambutan hangat dari meriam-meriam pertahanan benteng. Pertempuran memakan banyak korban, berlangsung lebih tiga bulan.
Pasukan yang menggempur benteng Belanda itu adalah yang dipimpin Adipati Tegal, Tumenggung Baureksa, salah seorang panglima Mataram.
Baureksa berbuat kesalahan di dalam penyerangan ini. Dia tidak menjalankan perintah seperti yang sudah direncanakan. Korban semakin banyak dan meriam Si Jagur tidak sempat dibawa kembali ke Mataram.
Itulah sebabnya didalam Babat Mataram disebutkan Baureksa harus menjalani hukuman mati di dalam perjalanan pulang, yang dilaksanakan oleh utusan khusus Sultan Agung.
(Ditulis oleh Rachmat Ali. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 1974)
(Baca juga: Kecanduan Seks dari Kecil Membuat Wanita Ini Hampir Bunuh Diri, Lalu Sebuah Jalan Mengubah Segalanya)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR