Advertorial
Intisari-Online.com --Selain latihan fisik dan keprajuritan terus menerus, para anggota SS pun secara khusus memperoleh indoktrinasi ideologi Nazi serta ajaran-ajaran dari Adolf Hitler.
Termasuk di dalamnya soal keunggulan ras Arya dan rasialisme terhadap bangsa-bangsa lain yang dianggap lebih rendah, seperti Yahudi, Slav, dan ras Mongol.
Meskipun dalam sumpah setianya kepada Adolf Hitler para anggota SS mengharapkan Tuhan akan membantu mereka, namun Himmler sendiri mengarahkan agar personel Waffen-SS tak perlu ber-Tuhan.
Ajaran Kristiani mengenai toleransi dan rekonsiliasi pun harus ditolak karena dianggap bersifat “bukan Jerman”.
Para calon perwira sebelum menyelesaikan pendidikan juga acap dituntut untuk menulis makalah menyerang kekristenan.
(Baca juga:137 Orang Tewas di Tangannya, Pelaku: "Saya Hanya Percaya Tuhan, Saya Tidak Takut Pada Kalian")
Menurut mereka, Kristen dianggap telah menghancurkan kepercayaan asli bangsa Jerman dulu, yang oleh kaum Nazi hendak dibangkitkan kembali.
Anehnya, meskipun memusuhi kekristenan, Himmler dalam membangun organisasi SS, justru berusaha menyontoh prinsip-prinsip spiritual kaum Jesuit yang digariskan oleh pendirinya, Ignasius Loyola (1491-1556).
Misalnya pada ketaatan mutlak, di mana setiap perintah harus diterima tanpa pertanyaan.
Dengan doktrin ketaatan penuh plus kemampuan kemiliteran yang tinggi, maka cita-cita Reichsfuhrer SS Heinrich Himmler untuk mengembangkan Waffen-SS sebagai tentara paling elite dengan mobilitas tinggi, semakin mendekati kenyataan.
Untuk pengembangan ini, ia dibantu oleh mantan perwira tentara reguler bernama Felix Steiner, yang kuat berpendirian bahwa tentara yang bersifat massal sudah ketinggalan zaman.
Kini Jerman memerlukan pasukan-pasukan elite dari kelas paling wahid dengan mobilitas tinggi.
Kekuatan semacam ini dengan kecepatan kilat akan mampu memecah-belah kekuatan musuh, sehingga pecahan-pecahan itu lebih mudah dihancurkan.
(Baca juga:Siapakah Heinrich Himmler, yang Bajunya Digunakan Ahmad Dhani?)
Kesatuan bersenjata SS telah diikutkan ketika Nazi memasuki wilayah Rhineland tahun 1936 tanpa perlawanan dari Perancis maupun kekuatan Sekutu lainnya.
Terhadap agresivitas Hitler itu, semula tentara reguler menunjukkan keengganannya.
Namun Hitler menegaskan, apabila AD merasa keberatan untuk memimpin di depan , maka ujung tombak akan disediakan oleh Leibstandarte SS.
Begitu pula ketika Hitler melakukan Anschluss (penyatuan) Austria dengan Jerman dua tahun kemudian, SS ikut berperan dan malah dianggap sebagai ‘malaikat hitam’.
Karena seragam hitam peraknya, dengan ikat pinggang putih serta aksara SS yang menyerupai kilat kembar pada kerah leher.
Simbol-simbol ini mencolok, sekaligus membuat banyak orang bergidik karena SS kemudian menjadi pasukan yang sangat kejam dan brutal.
Kekejaman SS terhadap masyarakat sipil, misalnya dialami penduduk desa Oradur-sur-Glane di dekat kota Limoges.
Pada 10 Juni 1944 tiba-tiba desa yang tenang damai ini didatangi satu kompi SS dari Batalion Der Fuhrer yang berada di bawah Divisi Das Reich.
Seluruh penduduk dikumpulkan, termasuk kaum wanita dan anak termasuk bayi.
Mereka dijejalkan dalam sebuah gereja yang kemudian diledakkan.
(Baca juga:Pasukan Elite Inggris Pernah Mati Suri Lalu Bangkit Lagi Gara-Gara Konflik dengan Pasukan Indonesia)
Mereka yang berusaha lari disapu dengan tembakan. Dari ratusan penduduk hanya beberapa orang yang selamat dari pembunuhan massal tadi.
Tahun 1953, pengadilan militer Perancis menyatakan 642 penduduk desa ini mati, terdiri dari 190 lelaki, 245 perempuan, dan 207 anak serta bayi.
Pihak Waffen-SS setiap kali hanya mengakui andanya unsur-unsur tak berdisiplin dalam tubuhnya, ‘preman’ yang berjuang bahu-membahu dengan prajurit yang sejati di medan pertempuran.