Sepintas kedengarannya mudah, ya, berkarier lewat bakat dan hobi yang kita miliki. Padahal tidak sepenuhnya benar juga.
Sebab, selama perjalanan karierku, banyak juga kendala kutemui. Bahkan setelah aku terkenal sekalipun.
Contohnya saat hendak menerbitkan novel Pada Sebuah Kapal, yang kelak jadi salah satu novel terlarisku.
Ketika itu, pihak penerbit minta supaya kata "pada" pada judul diubah jadi "di". Kalau tidak, mereka enggan menerbitkannya. Aku tentu saja keberatan.
Baca Juga : Jangan Terlalu Sering Membaca Novel Romantis!
Pertama, karena kata "pada" dan "di" dalam kalimat itu sama saja maknanya. Yang kedua, pengarang punya kebebasan yang disebut licensia poetica.
Kebebasan itu tentu bukan asal-asalan tapi memang ada tujuannya. Pada staf penerbit itu lantas kuberi penjelasan, kata "pada" memberi keindahan bunyi pada judul novelku.
Kalau diganti "di", keindahan itu hilang. Coba bandingkan, Pada Sebuah Kapal dengan Di Sebuah Kapal, mana yang lebih indah?
Toh pihak penerbit tetap bersikeras. Karena tak ada yang mau mengalah, penerbitan novelku tersendat cukup lama. Baru setelah ada campur tangan dari orang yang benar-benar tahu sastra, penerbitnya mau mengalah.
Baca Juga : Telenovela Dituding Sebagai Penyebab Tingginya Angka Kejahatan di Venezuela
Jadi, nama pengarang yang sudah beken pun bukan jaminan buat penerbit.
Pilih jadi pramugari
Kembali ke masa remajaku, sebelum jadi novelis, aku sempat lergoda dengan lowongan jadi pramugari.
Bagiku, ini dunia yang bertolak belakang dengan kehidupanku sebelumnya. Aku bisa keliling dunia gratis, mendapat berbagai pengalaman menarik, dan digaji besar pula. Gadis mana tak tergiur?
Baca Juga : Tak Hanya Susastra, Peradaban Hindu-Buddha Masa Kerajaan Kadiri-Singhasari Juga Meninggalkan Seni Bangunan
Begitulah, aku melamar dan diterima menjadi pramugari Garuda. Ibu sempat bertanya, kenapa aku tidak tertarik kuliah?
Jawabku, aku sudah bosan jadi tanggungan orang lain. Asal tahu saja, biaya sekolahku semenjak Bapak tiada ditanggung oleh pamanku yang menjadi Dirjen di Kementerian Sosial kala itu.
Berhubung pendidikan pramugari diadakan di Kemayoran, Jakarta, aku pun harus pindah ke Ibu Kota. Aku numpang hidup di rumah pamanku yang jadi Dirjen itu.
Setelah menjalani pendidikan beberapa bulan, aku pun sudah bisa "terbang".
Baca Juga : Bukan Sastrawan, Hadiah Nobel Sastra 2016 Dimenangkan oleh Bob Dylan
Di sela-sela kerja, aku masih menyempatkan diri mengambil kursus Bl, yaitu pendidikan yang diberikan pemerintah untuk jadi guru SMP dan SMA. Waktu itu, aku mengambil jurusan sejarah.
Namun, dari hari ke hari, kurasakan pelajarannya makin sulit. Sementara itu, sebagai pramugari, aku juga dituntut memiliki bahasa asing kedua sesudah Inggris.
Akhirnya, aku keluar dari kursus Bl dan memilih kursus bahasa Prancis di Kedutaan Prancis. Kebetulan biayanya murah dan aku bisa mendapat buku-buku gratis.
Nah, setelah berjalan beberapa minggu, aku berkenalan dengan pria Prancis. Namanya Yves Coffin. Yves bilang, ingin sekali bisa berbahasa Indonesia. Maklum, ia bekerja sebagai Sekretaris I di Kedutaan Besar Prancis untuk Indonesia di Jakarta.
Sebaliknya, aku ingin sekali bisa bahasa Prancis. Ungkapan Jawa mengatakan, tumbu oleh tutup. Klop, maksudnya. Aku dan Yves pun sepakat untuk barter ilmu, saling belajar dan mengajar bahasa masing-masing.
Baca Juga : Helen Garner Tak Sadar Memenangkan Hadiah Sastra Senilai Rp1,9 Milyar Setelah Memeriksa E-mail Sampahnya
Source | : | Tabloid Nova |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR