Advertorial

Inilah Isi Surat Terakhir dari Pria Amerika yang Dibunuh Suku Kuno di Pulau Sentinel

Adrie Saputra
Adrie Saputra

Editor

Intisari-Online.com -Sebelum dia dibunuh oleh suku kuno yang terpencil di pulau "terlarang" di Samudra Hindia, John Allen Chau, seorang pemuda Amerika yang memiliki misiseorang diri untuk menyebarkan agama Kristen, mengungkapkan dua hal yang mengejutkan.

Pertama dia bersedia mati, kedua, dia juga takut.

"Kalian mungkin berpikir saya gila dalam semua ini," tulisnya dalam sebuah surat kepada orangtuanya.

"Tapi saya pikir ini layak untuk menyatakan Yesus kepada orang-orang ini."

Surat yang dia tulis sebagian adalah jurnal, ada 13 halaman dengan banyak coretan yang berantakan.

Baca Juga : Pulau Sentinel Dianggap Terlalu Berbahaya, India Memberikan Peraturan Khusus bagi yang Nekat Mau ke Sana!

Chau mengemban misi ke sebuah komunitas yang paling tak bisa ditembus di dunia, yang dikenal karena permusuhan intens mereka terhadap orang luar.

Mereka telah membunuh atau setidaknya mencoba membunuh banyak orang luar yang berusaha menginjakkan kaki ke pulau mereka, Pulau Sentinel Utara.

Pulau Sentinel Utara ini jaraknya 700 mil dari daratan India, didi sana tinggalsuku kuno yang sukaberburu danmasih sangat murni, tidak ada alat-alat modern di sana.

Pada hari Jumat, para pejabat kepolisian India berbagi tulisan terakhir Chau, yang sebagiannya telah diterbitkan oleh media berita lainnya selama dua hari terakhir.

Pulau Sentinel Utara adalah wilayah terjauh India, dan selama bertahun-tahun pihak berwenang India telah menyatakannya pulau itu terlarang untuk di kunjungi dalam upaya untuk melestarikan budayanya.

Angkatan Laut India berpatroli di perairan sekitarnya, memastikan tidak ada otrang yang mendekat.

Tapi itu tidak menghentikan tekad pemuda bernama Chau ini.

Baca Juga : Misteri Pulau Sentinel: Catatan Marco Polo dan Penjelajah Dunia Ungkap Betapa Mengerikannya Pulau Tersebut

Pekan lalu, ia menyewa beberapa nelayan untuk membawanya ke pulau itu.

Dia berangkat dari Port Blair, pelabuhan utama pulau Andaman.

"Bima Sakti berada di atas dan Tuhan sendirilah yang melindungi kita dari Pasukan Penjaga Pantai dan patroli Angkatan Laut," tulisnya.

Chau yang berusia 26 tahun dari Washington State, adalah seorang petualang yang ambisius.

Dia suka mendaki gunung, berkemah di tempat-tempat terpencil, hiking, berkano, dan tentu saja melihat keindahan dunia.

Dia pria lulusan Oral Roberts University yangtergugah hatinya untuk menyebarkan agama Kristen ke Pulau Sentinel Utara.

Dia mengatakan kepada teman-teman bahwa dia telah bekerja selama bertahun-tahun untuk membuat kontak yang tepat.

Yang mengejutkan adalah sepertinya dia memang bekerja sendiri dan tidak ada organisasi besar yang mengirimnya.

Untuk misi ini, dia memastikan untuk membawa Alkitab tahan airnya.

Namun para nelayan menolak untuk mengantarkan dia di Pulau Sentinel Utara.

Para nelayan terakhir rupanya secara tidak sengaja hanyut ke pantai, pada tahun 2006, ya dia terbunuh.

Baca Juga : Inilah 3 Jenis Panah Suku Jarawa di Pulau Sentinel yang Sangat Mematikan, Nekat Mendekat Nyawa Taruhannya!

Jadi Chau mengatur agar perahu dapat membawanya mendekat dan kemudian melompat dengan kayak dan mendayung masuk sendiri ke pulau terlarang itu.

Saat-saat pertamanya, itu tidak berjalan dengan baik.

"Dua orang suku Sentinel yang bersenjata berteriak," tulisnya dalam surat itu.

"Mereka memiliki dua anak panah masing-masing, mereka mendekat."

"Saya berteriak, 'Namaku John, saya mencintaimu dan Yesus mencintaimu'."

Dia memberi mereka beberapa ikan, tetapi penduduk pulau terus datang ke arahnya.

Dia akhirnya berbalik arah dan mendayung.

"Saya merasa takut tetapi jugakecewa," akunya.

"Mereka tidak menerimaku segera."

Chau berusaha mencapai hal yang mustahil.

Orang-orang di Sentinel Utara belum menerima siapa pun di luar masyarakat mereka.

Antropolog, pembuat film dan pejabat pemerintah telah mencoba mendekati mereka.

Hampir semua telah diusiroleh busur dan anak panah.

Baca Juga : Tak Ragu Bunuh Pria AS dengan Panah, Siapakah Sebenarnya Suku Sentinel Ini?

Beberapa tahun yang lalu, beberapa antropolog berhasil memberi penduduk pulau beberapa buah kelapa.

Suku kuno di Sentinel Utara telah menyegel diri dari dunia modern.

Mereka memburu kura-kura dan babi, memakai cawat dan hidup di gubuk.

Di luar itu, sangat sedikit yang diketahui.

Para antropolog telah berjuang untuk memecahkan kode bahasa dan sejarah mereka.

Tebakan terbaik adalah bahwa selama berabad-abad mereka hidup sendirian di pulau mereka yang dipenuhi hutan dan dikelilingi oleh pantai pasir putih yang indah.

Antropolog mengatakan nenek moyang orang pulau itu mungkin bermigrasi dari Afrika lebih dari seribu tahun yang lalu.

Perkiraan populasi di pulau itu berkisar dari 50 hingga 100, tetapi tidak ada yang benar-benar tahu angka pastinya.

Kebijakan India adalah untuk menjaga Sentinel Utara dan beberapa pulau lain di kepulauan itu benar-benar terisolasi, tanpa sekolah, bantuan, pengembangan atau layanan pemerintah.

Chau berharap bisa menerobos.

Baca Juga : Penduduk Suku Pulau Sentinel Utara Menolak Era Modern dan Tidak Segan-segan Membunuh Pendatang

Dia mengambil pilihan hadiah yang cermat: gunting, peniti, pancing, dan bola sepak.

Tetapi orang-orang tampak sangat geli dan bingung dengan kehadirannya, tulisnya.

Dia menggambarkan seorang pria mengenakan mahkota putih mungkin terbuat dari bunga yang mengambil "sikap kepemimpinan" dengan berdiri di atas batu karang tertinggi di pantai.

Pria itu berteriak, dan Chau mencoba menjawab, menyanyikan beberapa lagu pujian dan meneriakkan sesuatu bahasa Xhosa, bahasa yang sepertinya dia tahu walau hanya beberapa patah kata ketika dia melatih sepak bola di Afrika Selatan beberapa tahun yang lalu.

"Mereka sering terdiam setelah ini," tulisnya.

Upaya lain untuk berkomunikasi dengan anggota suku berakhir dengan mereka tertawa terbahak-bahak.

Pertemuan menjadi lebih rumit.

Ketika Chau mencoba menyerahkan ikan dan sekumpulan hadiah, seorang anak laki-laki menembakkan anak panah ke Alkitabdia pegang.

"Saya mengambil panah ketika patah di Alkitab saya dan merasakan ada kepala panah," katanya.

"Itu adalah logam, tipis tapi sangat tajam."

Chau terhuyung ke belakang dan berteriak pada bocah itu.

Selama dua hari berikutnya, Tuan Chau mendayung bolak-balik dalam kayaknya di antara perahu nelayan dan pulau itu, tidak yakin apa yang harus dilakukan.

Surat panjangnya dipenuhi dengan pengamatan budaya, arah, jarak, dan rincian dari latihan fisiknya.

Baca Juga : Proses Menyakitkan Tradisi Potong Jari Suku Dani sebagai Ungkapan Kesedihan atas Keluarga yang Meninggal

Para nelayan mengatakan bahwa dia telah memberi tahu mereka untuk memberikan surat itu kepada seorang teman, siapa tahu dia tidak kembali.

Dalam satu bagian dalam surat, dia bertanya kepada Tuhan apakah Sentinel Utara adalah "benteng terakhir Satan."

Di baris lain, "Apa yang membuat mereka menjadi defensif dan bermusuhan?"

"Ini aneh - sebenarnya tidak, itu wajar: saya takut," tulis Mr Chau.

"Di sana, saya mengatakannya. Juga frustasi dan tidak pasti - apakah saya layak berjalan kaki untuk menemui mereka?"

Dia menambahkan, "Saya tidak ingin mati!"

Dia kembali.

Baca Juga : Terisolasi dari Dunia Luar, Suku Zoe Justru Jadi Suku Paling Bahagia di Dunia

Pada sore hari tanggal 16 November, para nelayan memberi tahu polisi, Chau meyakinkan mereka bahwa dia akan baik-baik saja tinggal di pulau itu semalaman dan para nelayan bisa pergi.

Mereka keluar, meninggalkan Chau sendiri untuk pertama kalinya.

Ketika mereka melewati pulau keesokan paginya, mereka melihat penduduk pulau menyeret tubuhnya di pantai dengan tali.

Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Pejabat polisi mengatakan bahwa penduduk pulau kemungkinan besar membunuhnya dengan busur dan anak panah.

Tubuh Chau masih di pulau, tetapi beberapa petugas polisi mengatakan mereka khawatirbila mengambilnya, jangan sampai hal yang sama terjadi pada mereka.

Polisi telah menerbangkan helikopter di atas tetapi tidak menginjakkan kaki di pantai.

Sebelum memulai hari terakhir itu, Chau menyelesaikan catatannya dengan pesan kepada keluarganya.

Tulisan tangan menjadi lebih kasar, garis-garisnya lebih miring.

"Tolong jangan marah pada mereka atau pada Tuhan jika saya terbunuh," tulisnya.

"Saya cinta kalian semua."

John Chau

(Adrie P. Saputra/Intisari)

Artikel Terkait