Sistem penanggalan ini memiliki 12 bulan dengan jumlah hari tiap bulannya 30 atau 31. Awal tiap bulannya jatuh pada tanggal 20 - 23 bulan Masehi.
(Baca juga: Kecanduan Seks dari Kecil Membuat Wanita Ini Hampir Bunuh Diri, Lalu Sebuah Jalan Mengubah Segalanya)
Ketika agama dan kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia, penanggalan Saka pun dipakai, seperti yang tertulis pada berbagai prasasti dari zaman Sriwijaya hingga Majapahit.
Pada zaman Majapahit, penanggalan Saka tetap digunakan secara konsisten sebagai kalender kerajaan. Bahkan, pergantian tahun Saka pada masa itu dirayakan secara nasional.
Pada 1958 (Masehi), tahun Saka ditetapkan menjadi tahun nasional India. Namun, tata urutan bulannya berbeda dengan tahun Saka yang ditetapkan Raja Kaniska I.
Bulan ke-12 (Chaitra, dalam penanggalan Masehi jatuh pada 22 Maret - 20 April) pada tahun Saka Raja Kaniska I, menjadi bulan pertama pada tahun Saka baru.
Yang semula bulan pertama (Waisakha) bergeser menjadi bulan ke-2, dst. Dengan demikian, tahun baru Saka di India jatuh pada tanggal 1 Chaitra.
Sedang tata urutan bulan dalam tahun Saka yang berlaku di Bali sama seperti tahun Saka yang ditetapkan Raja Kaniska I, meski dengan nama bulan yang berbeda.
Menurut penanggalan Bali, bulan Waisakha sama dengan bulan kesepuluh (Kedasa). Jadi tahun baru Saka di Bali jatuh pada tanggal 1 Kedasa (kesepuluh) atau 1 Waisakha, sebulan setelah tahun baru Saka di India.
Saat itu sang matahari menuju garis Lintang Utara, saat yang dipercaya baik untuk mendekatkan diri pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Saat itu pula musim hujan mulai reda.
Perhitungan jatuhnya tahun baru Saka ini berdasarkan luni-solar system, perpaduan antara cara perhitungan suryapramana (matahari) dan candrapramana (bulan), dengan perubahan bulan terjadi setelah bulan tak tampak (Tilem).
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR