Advertorial
Intisari-Online.com – Pada Hari Raya NyepiSabtu, 17 Maret, selama 24 jam penuh, umat Hindu hidup dalam diam, hening, dan gelap. Ada kegaitan apa di balik itu?
Kalau sempat berkunjung ke salah satu kota di Bali pada hari Raya Nyepi itu, Anda akan merasakan suasana yang lain dari biasa. Jalanan kosong dan sepi. Gonggong anjing menjadi nyaring meski di siang bolong.
Udara segar nyaris tanpa asap yang biasa menyembur dari knalpot kendaraan bermotor. Warung-warung, kedai-kedai, toko-toko, pasar swalayan, menutup pintunya rapat-rapat.
Bila malam tiba, Bali menjadi hitam. Gelap gulita. Nyaris tidak ada sinar lampu setitik pun. Seluruh pintu gerbang masuk ke pulau ditutup sejak tengah malam sebelumnya.
BACA JUGA:Desa Toleransi yang Menggetarkan Hati di Timur Jawa: Kaum Muslim, Kristen, dan Hindu Bersatu Padu
Pulau yang biasa dipadati manusia dari berbagai bangsa itu seperti pulau mati tak berpenghuni. Suasana magis terasa semakin pekat.
Mobil ambulans, kendaraan antar-jemput tamu hotel, dan kendaraan ABRI, termasuk kepolisian, dengan dispensasi khusus, hari itu boleh merdeka tanpa diganggu kemacetan.
Hanya kendaraan-kendaraan seperti itu yang diizinkan berjalan. Termasuk wartawan yang mengantungi izin khusus.
Aturan memang berkata demikian. Selain pecalang, tidak ada umat lain yang dapat menyaksikan secara langsung lengang dan gelapnya Bali.
BACA JUGA:Pura Tempat Menghilangnya Prabu Siliwangi
Dengan berpakaian adat, pecalang yang ditunjuk oleh warga desa adat memang diberi tugas menjaga keamanan setiap sudut desa.
Mengawasi dan “menghalau masuk” warga atau orang asing yang kedapatan melanggar ketentuan adat, tidak boleh keluar dari tempat tinggal.
Nyaris tanpa gerak dan suara
Hari yang dirayakan sebagai hari raya Nyepi itu merupakan hari pertama alias awal tahun baru Saka 1 Waisakha. Hari raya ini menjadi unik, karena tahun baru ini tidak dirayakan di India, tempat lahirnya agama ini, atau di Nepal, satu-satunya negara Hindu di dunia.
Namun tidak berarti perayaan Nyepi melanggar akidah, karena pelaksanaan ajaran agama Hindu yang disesuaikan dengan kekayaan tradisi setempat malah dianjurkan. Nyepi membawa misi menjadikan alam semesta bersih, serasi, selaras, dan seimbang bagi kesejahteraan umat manusia.
Di tengah keheningan alam itu, seluruh umat Hindu mengurung diri di rumah atau di tempat-tempat suci tanpa melakukan apa-apa yang berbau duniawi. Yang mereka lakukan semata- mata hanyalah menyepi, menyendiri, merenung tentang alam semesta tempat hidupnya, tentang hubungan antarmanusia, tentang hubungannya dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan).
Mereka seakan-akan mementaskan "teater" mahadahsyat. Selama 24 jam penuh manusia diajak menikmati alam dalam suasana hening tanpa suara, tanpa gerak, dan tanpa cahaya. Manusia diajak untuk berada dalam kehampaan, mendengar keheningan, serta menatap kegelapan dalam suasana nir, suasana "tanpa".
BACA JUGA:Tahukah Anda, Jodoh Itu Tak Harus Berakhir Dengan Pernikahan
Seluruh umat Hindu juga memanfaatkan hari itu untuk menyucikan diri dari segala kotoran duniawi. Itu ditempuh dengan melakukan tapa (mengekang indera), brata (taat pada janji melaksanakan yoga), yoga (menyatukan diri dengan Tuhan), dan semadhi (memusatkan pikiran untuk mencapai kebahagiaan sejati).
Bersamaan dengan itu umat mengevaluasi perilaku diri sendiri sepanjang tahun lalu. Apakah segala tindak-tanduk telah sesuai dengan dharma (ajaran agama)? Apakah artha (kekayaan) telah diperoleh dengan cara dharma dan untuk memperkokoh dharma?
Apakah kama (kesenangan) yang telah dinikmati juga berlandaskan dharma? Kalau ada yang tidak sesuai dengan dharma, tentunya mesti ditinggalkan. Sebaliknya, yang sesuai dengan dharma sebisa mungkin dilanjutkan.
Supaya perenungan berjalan dengan baik, umat melaksanakan brata penyepian, yang meliputi amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak melakukan kegiatan duniawi), amati lelangunan (tidak mencari kesenangan duniawi), dan amati lelunganan (tidak bepergian).
BACA JUGA:Tusuk Konde Bu Tien, Rahasia Kewibawaan Pak Harto yang Perlu 'Ritual' Khusus untuk Mengambilnya
Pelaksanaan brata penyepian bagi umat Hindu di luar Bali agak berbeda. Bagaimana mungkin mematikan penerangan di rumah tetangga, melarang kendaraan berlalu-lalang, meminta tetangga tidak membunyikan radio, tape recorder, atau TV?Karena itu pelaksanaan brata penyepian hanya sebatas di tempat tinggalnya sendiri.
Usai melaksanakan brata penyepian selama 24 jam penuh, seperti layaknya umat Islam di hari raya Idul Fitri, mereka bersilaturahmi saling memaafkan. Kegiatan itu dikenal ngembak agni, labuh brata, atau labuh puasa. Sejak itu warga Hindu memasuki hidup baru.
Menyucikan alam dan isinya
Tak beda dengan hari raya Hindu lainnya, hari raya Nyepi tak lepas dari serangkaian upacara sebagai perwujudan harmonisasi manusia secara vertikal dengan Tuhan, dan horizontal dengan sesama dan seisi alam.
Menyongsong datangnya hari raya Nyepi, dilangsungkan upacara bhuta yadnya, persembahan korban suci untuk membersihkan alam beserta isinya dari pengaruh jahat.
Upacara ini merupakan salah satu dari panca yadnya (lima korban suci), di samping untuk Tuhan dengan segala manifestasinya yang disebut Dewa (dewa yadnya), untuk leluhur atau orangtua (pitra yadnya), untuk Rsi atau guru spiritual (rsi yadnya), dan untuk sesama (manusa yadnya).
BACA JUGA:Centang Biru WhatsApp Dimatikan, Begini Cara Mudah Tahu Pesan Kita Telah Dibaca
Rangkaian upacara bhuta yadnya dimulai 3 hari sebelum Nyepi. Yang pertama, upacara melasti. Kontras dengan suasana Nyepi, pada upacara melasti - juga jamak disebut meliis atau mekiyis - umat Hindu melakukan prosesi meriah ke laut atau mata air yang dianggap suci.
Tempat-tempat itu dipercaya sebagai tempat ditemukan amerta (anugerah kehidupan). Umat berbondong-bondong membawa arca dewa-dewi, serta pratima dan pralingga, perkakas pura berupa tombak, permata, kepingan emas, dll.
Setelah diupacarai secara khusus, benda-benda itu dianggap sebagai media untuk lebih memantapkan pemusatan pikiran kepada Tuhan serta roh-roh leluhur yang berjasa bagi generasi sekarang. Di tengah laut atau mata air, umat menyucikan diri dan media atau simbol yang dibawa, serta memantapkan diri untuk menyambut hari raya Nyepi.
Setelah upacara itu, seluruh media atau simbol yang telah disucikan disemayamkan di pura atau bale agung, sebagai simbol permohonan agar Tuhan, dewa-dewi, roh leluhur hadir di sana. Upacaranya disebut nyejer dan berlangsung hingga sehari menjelang Nyepi.
Selama upacara, dipersembahkan puja bhakti dan sesajen yang berupa canang wangi-wangian, nasi dan lauk pauk, jajanan, buah-buahan, dsb. Lalu, umat memohon air suci untuk kesejahteraan dan penyucian diri, semua makhluk hidup, dan alam semesta. (Ditulis oleh I Gede Agung Yudana)
BACA JUGA:Inilah yang Akan Terjadi Jika Rutin Makan 6 Siung Bawang Putih Panggang Setiap Hari