Antara 1602 -1619, kapal-kapal VOC di Nusantara masih mondar-mandir dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain. Sementara itu, loji mereka di Banten dan Maluku mulai terancam oleh Inggris, Portugis, dan Spanyol.
De Heeren XVII (17 orang pengurus VOC di Belanda) mulai gerah dan sadar, VOC harus punya pangkalan tetap buat kapal-kapalnya.
Pieter Both, gubernur jenderal (gubjen) VOC pertama yang dilantik 27 November 1609, ditugasi merayu penguasa Jayakarta.
la pun menandatangani kontrak dengan penguasa Jayakarta, Wijaya Krama, pada Januari 1611. Klausul kontrak menyebutkan, VOC diberi hak memakai sebidang tanah seluas 50 x 50 vadem (1 vadem = enam kaki, 182 cm), dengan pembayaran 1.200 rijksdaalder (1 rijksdaalder = dua setengah gulden).
Dengan catatan, dilarang mendirikan benteng. Wilayah itu kini ada di sekitar kawasan Pasar Ikan, Jakarta Utara.
Tapi janji tinggal janji. Gubjen VOC keempat, Jan Pieterszoon Coen (dilantik 1618), mengkhianati perjanjian ini. Tak puas hanya mendirikan benteng, ia membawa pasukannya menyerbu istana Wijaya Krama.
Malah ia mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia setahun kemudian. Maka, VOC mulai menjalankan fungsi sebagai negara berkedok kongsi dagang.
(Baca juga: Duh, Istilah Hidung Belang Ternyata Lahir Karena Kasus Gubernur Batavia Pieterzoon Coen)
Sembari "membangun" Batavia, yang tempat tinggal penduduknya dikelompokkan menurut daerah asal, warna kulit, dan agama (agar tak gampang membaur), VOC berekspansi. Dalam 30 tahun, mereka berhasil melemahkan pengaruh Spanyol dan Portugis di Nusantara dan sekitarnya.
Termasuk aksi tahun 1621, yang membawa VOC menghancurkan pangkalan Spanyol di Banda Neira. Sedangkan Malaka direbut dari Portugis tahun 1641, disusul pengusiran Spanyol dari Ternate pada 1689.
Penguasaan penuh atas Maluku tahun 1655 membuat monopoli cengkeh VOC tak lagi mendapat halangan berarti. Penduduk dipaksa menjual cengkeh dengan harga miring, hanya pada VOC. Jika menolak, nyawa taruhannya.
Di Banda Neira, karena ditolak membangun benteng, J.P. Coen memerangi rakyat di sana selama empat hari (8 - 11 Maret 1621). Ratusan rakyat tewas, puluhan desa dibakar, 44 pemimpin rakyat dipenggal, sisa rakyat yang masih hidup dibawa ke Batavia untuk dijadikan budak.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR