Advertorial
Intisari-Online.com – Mengapa Snouck bisa sampai di Hindia Belanda sebagian besar juga karena dipacu semangat petualangannya.
Setelah kabur dari Mekkah, Snouck kembali mengajar di Universitas Leiden. Tapi ia merasa kurang puas dan ingin melepaskan diri dari tugas mengajar.
Apa yang dimauinya adalah melakukan penelitian tentang Islam di Hindia Belanda.
Ia lagi-lagi beruntung karena permohonannya pada gubernur jenderal mendapat sambutan positif. Menteri kolonial Belanda juga mendukung rencana Snouck yang memang berotak cemerlang.
(Baca juga: Kontroversi Snouck Hurgronje, Utusan Kolonial yang Menjadi Syaikul Islam Jawa dan Menguasai 15 Bahasa)
Salah satu tugas utamanya adalah meneliti suku bangsa Aceh, yang sudah lama menjengkelkan pemerintah di Batavia karena tak mau tunduk dan terus melakukan perlawanan pada pelnerintah kolonial.
Ia dijanjikan akan mendapat tunjangan sebesar 1.150 gulden sebulan. Namun, terbatasnya dana yang ada membuat tunjangan ini dikurangi menjadi hanya 700 gulden saja.
Baru dua minggu di Hindia Belanda Snouck sudah akrab dengan sejumlah tokoh keturunan Arab dan para ulama, yang sebagian memang sudah dikenalnya di Arab.
Secara khusus ia menjalin persahabatan dengan Othman Ibn Yahya, ulama keturunan Arab yang lalu jadi orang kepercayaannya di Kantoor voor Inlandsche Zaken, Kantor Urusan Pribumi, yang dipimpin Snouck.
Di kalangan pegawai Belanda di Batavia, Snouck dianggap lain dari yang lain. Tidak seperti amtenar Belanda umumnya, Snouck lebih suka tinggal di lingkungan kaum pribumi atau keturunan Arab.
Di Batavia ia misalnya pernah tinggal di Gang Sentiong dan di Oude Tamarindelaan, Jl. Asemlama (sekarang Jl. Wahid Hasyim), di mana banyak tinggal warga keturunan Arab. Maksudnya tentu saja agar ia lebih dekat dengan para nara sumbernya.
Ia juga pernah tinggal di Cilegon untuk meneliti sebab-sebab terjadinya pemberontakan yang diduga didalangi para ulama di sana. Dari Cilegon Snouck lalu pindah ke Menes dan tinggal menumpang di rumah keluarga bupati Serang yang sudah ia kenal sebelumnya.
Ketika Snouck di Mekkah ia banyak ditolong oleh Raden Abubakar Djajadiningrat, seorang kerabat bupati Serang.
(Baca juga: Kisah Bung Karno di Akhir Kekuasaan, Sekadar Minta Nasi Kecap Buat Sarapan pun Ditolak)
Betah di Jawa
Waktu bertugas sebagai penasihat dalam Perang Aceh, 1891-1892, Snouck pun turun langsung ke lapangan. Sebagai Mufti Abdul Gaffar, dengan gampang ia mendapat kepercayaan dari para tokoh masyarakat dan ulama Aceh.
Snouck sendiri merasa sreg dengan tugas-tugas yang dipikulnya dan jadi betah tinggal di Jawa. Ia lalu memohon agar statusnya sebagai petugas tidak tetap dalam pemerintah Hindia Belanda diubah menjadi petugas tetap.
Kariernya di Hindia Belanda menanjak terus. Maret 1891 ia diangkat menjadi Penasihat Bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam, dan meningkat menjadi Penasihat Urusan Pribumi dan Arab pada bulan Januari 1889.
Meski ia berkantor di Batavia, Snouck tetap sering turne ke berbagai daerah. di Jawa. Antara tahun 1898 – 1903 Snouck Hurgronje sempat beberapa kali ke Aceh untuk membantu Jenderal Van Heutz dalam menaklukkan Aceh.
Setelah 17 tahun di Hindia Belanda, tahun 1906 ia pulang untuk berlibur ke Negeri Belanda. Namun, Snouck malah diangkat menjadi guru besar di Universitas Leiden, merangkap penasihat menteri jajahan.
Kawin dengan anak penghulu
Dalam sebuah perjalan tugasnya ke berbagai pelosok Jawa Barat, Snouck yang masih bujangan jatuh hati pada anak gadis kepala penghulu Ciamis, Raden Haji Muhammad Ta'ib. Snouck pun menikah secara Islam dengan Sangkana, begitu nama si anak penghulu, di Masjid Ciamis.
Perkawinan ini, yang beritanya antara lain dimuat dalam Soerabaja Courant edisi 9 dan 13 Januari 1890, menimbulkan kehebohan besar di kalangan pemerintah.
Bukan hanya pemerintah di Batavia, tapi juga sampai pemerintah pusat di Den Haag. Pasalnya, perkawinan campuran Belanda-pribumi adalah haram menurut undang-undang kolonial, karena dianggap bisa menurunkan martabat bangsa Belanda.
Menteri penjajahan secara resmi meminta penjelasan pada gubernur jenderal tentang kebenaran berita tersebut.
Menurut penjelasan gubernur jenderal —yang entah mengapa bernada membela Snouck—, apa yang sebenarnya terjadi adalah Snouck telah menyaksikan sebuah upacara perkawinan Islam di Masjid Ciamis dalam rangka penelitian yang dilakukannya.
Snouck juga ikut membantah keras berita perkawinannya itu.
Dari perkawinan ini Snouck menghasilkan empat anak: Salamah Emah, Oemar, Aminah dan Ibrahim. Sangkana meninggal dunia pada tahun 1895, ketika keguguran anaknya yang kelima.
Keempat anak Snouck lalu dipelihara dan dibesarkan oleh istri bupati Ciamis yang masih berkerabat dengan istrinya.
Empat tahun setelah kematian istri pertamanya Snouck kawin lagi di Bandung. Lagi-lagi dengan anak perempuan keluarga penghulu. Kali ini dengan cucu penghulu kepala Bandung, Haji Muhammad Rusdi.
Penghulu kepala ini mempunyai anak bernama Haji Muhammad Su'eb, wakil penghulu Bandung, yang dikenal dengan sebutan Kalipah Apo dan kondang sebagai qori — pembaca Al Quran— jempolan.
Snouck kawin dengan anak gadis Kalipah Apo, Siti Sadijah, yang memberinya seorang anak laki-laki bernama Raden Joesoef.
Anak bungsunya juga masih hidup
Agar rahasia perkawinannya tak sampai terbongkar, Snouck antara lain melarang anak-anaknya dididik di sekolah Belanda.
la juga tidak setuju ketika setelah dewasa R. Joesoef, Ibrahim dan salah seorang anaknya yang perempuan menyatakan ingin melanjutkan pendidikan di Negeri Belanda.
Keempat anak Snouck dari perkawinannya yang pertama kini sudah tiada. Hanya R. Joesoef yang diberkahi usia lanjut.
Purnawirawan perwira tinggi kepolisian yang pernah menjadi kepala polisi Jawa Barat dan Wakil Kapolri ini kini masih sehat dan tinggal di Bandung dalam usia 83 tahun.
R. Joesoef ternyata bukan satu-satunya anak Snouck yang masih hidup. Setelah pulang ke Negeri Belanda, Snouck sempat kawin lagi. Dari perkawinannya yang ketiga ini ia punya seorang anak perempuan, Christine, yang kini masih hidup dalam usia 70-an tahun.
Seperti hampir semua orang, Christine tak pernah tahu ia masih punya seorang kakak laki-laki di Indonesia.
Semua baru kaget setelah sejarawan Belanda Von Koningsveld pada awal tahun 1980-an membeberkan di surat kabar hasil penelitiannya tentang kehidupan perkawinan Snouck selama ia tinggal di Hindia Belanda.
Begitu membaca berita tersebut, Christine lalu menyurati R. Joesoef, menyatakan ingin bertemu dan mengharapnya berkunjung ke Negeri Belanda.
Singkat cerita, akhirnya bertemulah kakak-beradik R. Joesoef — Christine, yang sebelumnya tak pernah saling kenal selama lebih dari 70 tahun. Konon, peristiwa pertemuan dua manusia lanjut usia ini sangat mengharukan, penuh linangan air mata.
Dokumen-dokumen sejarah yang baru ditemukan belakangan, makin kuat menunjukkan bahwa Snouck menjadi Islam hanya karena ingin secara total menyelami dan menguasai pengetahuan Islam —dan juga demi tugas sebagai penasihat pemerintah dalam urusan pribumi—
Dahulu, hal ini tak ada seorang pun yang tahu, termasuk dua penghulu yang sempat jadi mertuanya.
Juga tak ada sahabat-sahabat pribuminya yang tahu bahwa Snouck malah sering bertindak di luar jalur ajaran Islam.
Tahun 1915, misalnya, Snouck pernah mengajukan usulan pada pemerintah agar umat Islam Hindia Belanda dilarang melakukan ibadah haji ke Mekkah, semata-mata untuk menghindari pengaruh gerakan Pan Islamisme yang revolusioner.
Jalan sejarah pasti akan lain jadinya andaikata Snouck tidak pernah bersembunyi dibalik nama Abdul Gaffar, syaikul Islam Jawa.
(Ditulis oleh Muljawan Karim. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1989)