Advertorial
Intisari-Online.com – Bagi masyarakat Desa Banain, Kecamatan Miomaffo Timur, Kab. Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, sunat merupakan salah satu kewajiban kaum laki-laki.
Selain menjadi ukuran kejantanan, pria yang tidak disunat akan dicemooh, bahkan konon, anak-anak yang dilahirkan istrinya dipercaya akan berbibir tebal menggantung.
Sungguh mengerikan dilihat mata awam. Luka pada kemaluan laki-laki dirawat ala kadarnya. Mengkilat dan bengkak, sesekali memperlihatkan tanda infeksi.
Si "pemilik", diselingi rintihan menjawab sebisanya dalam dialog kami.
(Baca juga:Sejarah Pintu: Dari Batu, Perunggu, Marmer, Hingga Teknologi Engsel)
Untuk menemuinya, kami harus menempuh perjalanan 1 jam 15 menit melalui semak belukar, menyusuri alur berbatu serta rintangan lain yang sangat melelahkan.
Tuasena, lokasi tempat si pasien berada, jauhnya sekitar 5 km dari pusat Desa Banain, Miomaffo Timur, Kab. Timor Tengah Utara, NTT.
Bagi masyarakat Banain, bulan Maret adalah saat santai karena para petani tinggal menanti musim panen.
Namun, bagi para pemuda yang punya rencana untuk menikah tahun mendatang, masa itu adalah saat baik buat disunat.
Karena itu, musim menanti panen sering juga disebut musim sunat. Budaya setempat memang mensyaratkan setiap pemuda agar disunat sebelum menikah.
Tradisi sunat bagi masyarakat Banain agak sulit ditelusuri alur sejarahnya.
Menurut penuturan turun-temurun, sunat wajib hukumnya bagi kaum laki-laki. Ini menjadi penting karena alasan keperkasaan dan keindahan.
Para penutur juga menjelaskan, lawan jenis akan lebih tertarik sekaligus memberikan respons setimpal terhadap pria yang sudah disunat.
Alasan lain, sunat penting untuk harmoni rumah tangga, sekaligus terhindar dari kelainan bentuk bibir anak yang akan dilahirkan.
Ini terkait dengan mitos setempat bahwa jika suami tidak disunat, istrinya akan melahirkan anak-anak berbibir tebal dan menggantung.
(Baca juga:Evolusi dari Pengering Rambut, Dari Mesin Seperti Cerobong Asap Sampai Bisa Digenggam Seperti Sekarang)
Jujur atau mati
Bila tiba musim sunat, si calon tersunat bersama seorang pendamping akan menghubungi ahelit (juru sunat), lalu menyepakati waktu dan tempat.
Biasanya dipilih kebun yang belum dipanen hasilnya dan jauh dari perkampungan. Lalu mereka menghilang untuk beberapa waktu.
Perangkat seorang juru sunat terdiri atas pisau khusus, seutas tali dari anyaman benang, dan setengah butir tempurung kelapa yang dasarnya berlubang.
Di tepi sebuah kolam, juru sunat memulai keterampilannya. Klien atau calon tersunat disuruh membuat lubang dan mengumpulkan setumpuk batu kerikil.
Selanjutnya, juru sunat menarik salah satu bagian dari kulit luar penis pasien, dan mengikatnya kuat-kuat dengan tali, bagai membentuk kain jumputan, yang kemudian disembulkan dari lubang tempurung. Itulah batas pengaman.
Si pendamping sengaja mengalihkan perhatian pasien, lalu pada saat bersamaan pisau ditebaskan.
Darah ditampung di dalam lubang yang tadi dibuat oleh klien, sambil ia disuruh mengingat dengan wanita mana saja ia pernah memadu kasih.
Satu teringat, maka dimasukkanlah satu kerikil ke dalam lubang sebagai lambang wanita pertama.
Lalu batu kedua untuk wanita kedua, dan seterusnya, hingga batu terakhir untuk wanita terakhir.
(Baca juga:(Video) Menyentuh Hati, Orang Suku Anak Dalam yang Jadi Anggota TNI Pulang ke Rimba Demi Ibunya)
Ada kepercayaan, untuk hal ini klien dilarang berbohong atau memanipulasi data. Jika itu dilakukan, darah dari lukanya akan mengalir terus tanpa henti hingga ia mati kehabisan darah.
Dalam kondisi normal, apalagi jika tidak ada manipulasi, darah akan segera berhenti menetes. Si tersunat lantas direndam di dalam kolam agar lukanya menjadi layu.
Selanjutnya, luka diolesi getah dari pohon khusus dan dibalut.
Sanksi sosial-psikologis
Sebuah masyarakat adat selalu punya sanksi terhadap setiap pelanggaran.
Bila biasanya pelanggaran hukum adat diikuti dengan denda materi atau hukuman fisik, yang dijatuhkan kepada laki-laki tidak sunat adalah sanksi sosial dan psikologis.
Mereka yang sudah menikah namun tidak disunat akan menjadi pusat cemoohan dalam pesta-pesta adat.
Lagu-lagu tradisional yang biasanya dinyanyikan dalam bentuk koor akan diisi syair ironi dan humor sindiran.
Bagi "korban" sasaran, itu sangat menyakitkan. Apalagi kalau berlangsung terus-menerus.
Sanksi sosial-psikologis itu terbukti efektif. Buktinya, semua pria berkeluarga di Desa Banain telah disunat.
(Baca juga:Selain Suku Jawa, 3 Negara Ini Juga Gunakan Bahasa Jawa Sebagai Bahasa Sehari-hari)
Maka setiap tahun pemuda desa antre mendaftarkan diri untuk disunat pada usia layak sunat, yaitu 20 - 25 tahun.
Bagi seorang juru sunat, fakta itu tentu menyenangkan. Namun, karena kesan yang berkembang adalah sunat itu sakit, banyak anak takut kepada juru sunat.
Orang pada usia layak sunat pun kadang perlu keberanian ekstra untuk mendaftarkan diri sebagai calon tersunat.
Lalus Sani, salah seorang juru sunat, menceritakan pengalaman pahitnya saat jatuh ke dalam jurang di hutan ketika sedang mencari sapinya.
Dalam keadaan susah payah karena tak dapat berdiri, ia berteriak minta tolong. Tidak lama kemudian datang seorang anak.
Namun, begitu tahu yang minta tolong adalah Lalus Sani, si anak pun lari tunggang langgang.
Usut punya usut, ternyata banyak orang tua di desanya yang, jika anaknya nakal, menakut-nakuti dengan menyebut nama Lalus Sani.
"Awas, kalau nakal, kamu akan dibawa ke Lalus Sani, dan burungmu akan dipotong."
(Baca juga:Benarkah Suku Asli Pakistan Ini Keturunan Pasukan Aleksander Agung yang Kesohor Itu?)
(Ditulis oleh Yoseph Keffi. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 2000)