Empu yang menduda sejak tahun 1950, ini sempat mengisahkan pengalaman gaibnya dalam proses pembuatan keris sekitar tahun 1970- an. Pada saat berada di besalen (ruang kerja), perasaannya melihat beberapa ekor ular hitam bergerak melata mengitari tungku pembakaran, persis ketika ia akan mulai menempa.
Beberapa saat kemudian, binatang melata itu manjing (merasuk) persis ke dalam besi yang sedang ditempanya. "Itu satu pertanda kalau permintaan pembuatan keris ini terkabul," kilah empu yang sudah dua kali dipercaya Sultan Hamengku Buwono IX membuat Keris Jangkung Mengkunegoro (1984) dan Keris Sinom Jalak Tuding (1985).
Meski sosok keris bisa dikatakan sudah jadi, si empu masih harus memeriksa secara teliti, telah sempurna atau belum. "Tahap ini pun tetap penting karena si empu bisa jumbuhaken raos. Artinya, meski bentuk kerisnya sudah bagus tapi barangkali perasaan saya belum sreg," tambah Jeno.
Proses selanjutnya, giliran mranggi (tukang membuat sarung keris/warangka) dan kemasan (membuat dan menghias pendok) yang bekerja melengkapi penampilan sebuah keris.
Minta izin yang di atas
Tak hanya manusia saja yang membutuhkan pakaian atau busana, keris pun memerlukannya. Walaupun seni membuat warangka adalah karya yang menuntut keahlian khusus, toh harus selalu bersatu guna dengan kerisnya.
Di lain pihak, meski tetap diakui sebagai karya agung, sebuah keris tanpa warangka dianggap belum punya daya tarik yang mantap dan masih dirasa timpang dalam salah satu daya gunanya.
Sebuah keris utuh terdiri atas ukiran, yakni hulu keris yang biasanya terbuat dari gading atau kayu; seloot dan mendak sebagai penguat sekaligus asesori ukiran; duwung (bilah keris) yang terbungkus dalam warangka (sarung) dan pendok (pelapis sarung yang langsung membungkus bilah keris).
Wusanto Haryoto Wigardo (46) salah seorang mranggi terkenal di kawasan Gamping, Yogyakarta, sejak berkecimpung dalam dunia ini 30 tahun lalu, menggunakan bermacam jenis kayu sebagai pendok maupun warangka keris.
Misalnya kayu cendana, kemuning, timoho maupun kruing. Bahan itu berlaku baik untuk membuat warangka jenis gayaman maupun ladrangan.
Seperti halnya, mereka yang terlibat langsung dalam pembuatan keris, Wusanto pun percaya adanya keris pusaka yang bertuah. Tak berarti ia lalu membeda-bedakan perlakuannya terhadap keris-keris semacam itu. Semua keris yang dikerjakan, diperlakukan dengan hati-hati.
"Ibaratnya tukang cukur, setiap kali mau menggarap warangka sebuah keris, saya minta izin dulu yang di atas agar tidak terjadi apa-apa," katanya seraya menunjuk ke atas (Tuhan).
Namun karena jenis pekerjaan mranggi berbeda dengan seorang empu, Wusanto tidak perlu melakukan olahrohani baik sebelum maupun selama membuat warangka.
Keris yang utuh, lengkap dengan warangka pendok, dan asesorinya bisa dikatakan hasil dari kerja kreatif banyak tangan. Plus tentu saja wujud olahrohani sang empu kalau itu keris bertuah.
Berbeda dengan keris cendera mata (kodian), produk sebuah industri yang dibuat secara mass product untuk keperluan bisnis semata. Oleh karena itu kalkulasi harga sebuah keris pusaka juga tidak bisa ditentukan hanya berdasarkan bahan mentah dan ongkos tenaga pembuatannya.
"Ibaratnya keris itu seperti burung perkutut ataupun kuda. Tidak ada standar harganya. Semuanya tergantung dari yang ingin memiliki. Ada sebuah keris yang harganya bisa mencapai 50 juta rupiah," ujar Jeno. Itu juga sebabnya tidak ada keris yang bentuknya paling baik.
"Yang ada hanya keris yang paling cocok dengan yang punya. Tolok ukumya ya rasa suka dan 'suka'."
Begitu pentingnya kedudukan keris dalam kehidupan pria Jawa, sampai-sampai Arumbinang mengibaratkan keris dengan sebuah kaset. "Isi rekaman sebuah kaset bisa membuat pendengamya mengentak-entakkan kaki, tertawa terbahak atau bahkan menangis. Hanya bedanya, kaset diisi dan dikosongkan dengan peralatan mesin sedangkan keris diisi dengan olahrohani sang empu pembuatnya."
Tak heran, Hardjonagoro sampai kini masih percaya mitologi perkerisan. Sebagai seorang abdi dalem Keraton Surakarta ia sadar untuk tetap mencintai, mengerti sekaligus mempercayai berbagai peninggalan budaya khususnya keris yang berkaitan dengan mitologi serta kekuatan magisnya.
“Tak hanya keris, tapi barang apa pun yang pembuatannya dilandasi dengan laku (olahbatin) selama beberapa waktu terus menerus, pasti hasilnya lain. Paling tidak getaran jiwa atau rasa si pembuat akan diserap oleh barang tersebut," kilah Hardjonagoro.
(Baca juga: Polah 'Sadis' Raja-raja Mataram di Sela-sela Waktu Semadi Meminta Berkah dari Nyai Roro Kidul)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1991)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR