Barangkali ini karena diawal kedatangan kami sudah melakukan “kesalahan”, yakni mengatakah bahwa kami hanya singgah di sini selama 12 jam, Dengan demikian mereka tinggal menunggu habisnya waktu.
Benar saja, ketika saya katakan kami bisa tinggal di sini lebih lama lagi sampai tujuan kami tercapai, nampaknya mereka mulai berpikir untuk melakukan sesuatu.
"Sesuatu" yang dimaksud, kami harus menemui juru bicara pemerintah Irak, yakni Menlu Tariq Aziz di kantornya. Bangunan kementerian luar negeri itu amat megah, dengan atapnya yang rendah dan perabotan mewah.
Barangkali karena masih dalam suasana perang lampu di semua ruangan redup. Tepat pukul 21.00 Tariq Aziz yang berperawakan pendek gemuk itu menyambut kami. Asing rasanya melihat seorang menlu, berseragam militer dengan pistol di pinggang.
Tak jauh berbeda dengan yang kami hadapi sebelumnya, pertemuan kami dengan Aziz tidak mendatangkan manfaat, kecuali hanya saling melontarkan gagasan. Menurut Aziz, permintaan kami tidak mungkin dapat dipenuhi.
Ia meyakinkan kami bahwa pernyataannya itu sudah sepengetahuan Saddam Hussein, meski kalau mau kami bisa bertemu Saddam Hussein. Tahu bahwa ini sekadar basa-basi kami akhirnya memutuskan pulang saja. Saat itu jam menunjukkan pk. 22.00.
Begitu kembali ke vila, Barak masih mendesak kami tentang dukungan intelijen dari AS. Ketika kami tanyakan lagi kapan bisa ketemu Saddam Hussein mengingat waktu kami sudah hampir habis, Barak lalu menelepon seseorang.
Setelah itu ia mengatakan bahwa Presiden Saddam Hussein ternyata tidak bisa menemui kami karena harus menghadiri acara di Al Faw.
Kami akan segera ke bandara, tapi bahkan setelah makan malam, Barak masih menahan keberangkatan kami. Penundaan demi penundaan ini justru memusingkan kami berdua. Sejumlah pertanyaan berkecamuk dalam benak.
Benarkah Saddam Hussein masih mempertimbangkan untuk menerima kami? Atau bisa jadi ini semua hanya provokasi Barak.
Kini sudah. pukul 24.00. Kami masih berada di vila. Apa lagi yang harus dirunggu? Ketika telepon berdering Barak terlibat percakapan cukup lama dengan suara di seberang. Rupanya itulah jawaban, kami sudah boleh meninggalkan negeri ini. Pupus sudah harapan kami untuk bisa ketemu Saddam.
Sebuah sedan Mercedes datang. Barak membuka pintu dan ternyata ia sendiri yang mengantar kami ke bandara. Saya duduk di kursi depan sementara Goodspeed di belakang. Tak pernah saya melihat orang mengemudikan mobil sekencang ini.
Ibaratriya roket darat, mobil ini berlari 200 km lebih/jam. Dalam hati saya marah-marah ternyata Irak tidak bisa dipercaya. Mengapa AS mau memberi dukungan kepada negeri ini sementara Baghdad tetap saja melindungi para penjahat. Saya amat kecewa dengan kegagalan misi ini.
"Katakan pada Abu Abbas, saya mencarinya. Begitu saya dapatkan akan saya bunuh!" Begitu teriak saya keras-keras kepada Barak di tengah deru mobil. Padahal dalam tugas kami dilarang melakukan tindak pembunuhan. Mendengar omelan saya, ternyata Barak cuma tersenyum.
Kami sudah terlambat satu setengah jam dari jadwal penerbangan Air France, ketika tiba di bandara. Anehnya, pesawat tersebut terlihat masih nongkrong di situ. Ternyata sebuah panser tentara Irak diparkir melintang di depan hidung pesawat.
Akhirnya, kami dilepas setelah sebelumnya diberi oleh-oleh bingkisan, masing-masing satu kotak kurma yang terbungkus rapi. Sekali lagi, dengan wajah tanpa ekspresi Barak mengantarkami ke pintu masuk pesawat dan mengucapkan selamat jalan.
Meski lega, pandangan mata sinis dan sambutan tak ramah dari para penumpang Air France yang sudah menunggu cukup lama membuat kami merasa kecut.
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1997)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR