Pada waktu permukaan air tinggi kota ini tak dapat dicapai dari arah Timur. Akibat angkutan kopi keadaan jalan ini begitu rupa sehingga pedati-pedati harus diperlengkapi dengan roda yang lebih besar agar tak macet di lumpur.
Bahwa sapi penarik mati di tengah perjalanan, bukanlah suatu hal yang langka.
Sejak zaman Van Imhoff (1743-50) jalan ke arah Bogor dibagi menjadi dua jalur oleh sederetan pohon jarak mula-mula hanya sampai ke Jatinegara (harus diingat bahwa batas kota waktu itu adalah di sekitar Glodok) tetapi kemudian lebih jauh lagi: dengan ini dimaksudkan agar pedati-pedati melewati jalur khusus, yang dimusim hujan merupakan kubangan kerbau, di musim kemarau sangat keras.
Pos kilat tahun 1775
Sesudah jalan ke Bogor, jalan yang menuju ke Karawang merupakan yang terpenting. Tetapi juga jalan ini jarang bisa dilewati kereta, biasanya hanya setelah baru dilakukan perbaikan besar-besaran.
Biasanya di sini juga harus disediakan sapi penarik untuk menggantikan kuda. Bila sungai-sungai sedang banjir, lalu lintas antara Karawang dengan Jakarta acapkali terputus sama sekali, sehingga surat-surat untuk ke tempat-tempat di pantai Utara Jawa harus dikirim lewat Bogor melalui Periangan.
Jalan ke tiga yang penting ialah yang menuju ke Tangerang. Dalam pertengahan abad ke 18 jalan ini masih sukar dilalui, bahkan untuk penunggang kuda sekalipun.
Gubernur Jendral Jacob MDSsel (1750-61) sudah boleh merasa puas jika "jalan-jalan raya" bisa ditempuh penunggang kuda. Sekitar seperempat abad kemudian terjadi perbaikan: jalan antara Bogor dan Cianjur dapat dilalui dengan baik oleh pedati.
Menjelang berkuasanya Daendels sudah mungkin untuk menempuh sekitar 30 pal (1 pal = kurang lebih 1,5 km) sehari di daerah Bandung.
Ini semuanya tentunya hanya berlaku pada musim kemarau, di musim hujan bahkan jalan-jalan "raya" tak bisa digunakan. Di Kandang Wesi, salah sebuah dusun di Cikajang, Jawa Barat pernah tercatat bahwa seorang pengawas dalam waktu sehari saja menewaskan dua ekor kuda tunggangan, sesudah itu berjalan kaki sampai cedera kakinya.
Kalau sekarang ini sekali-kali lalu lintas darat antara Semarang dan Surabaya terganggu oleh banjir atau tanah longsor, dalam tahun 1805 di musim hujan perhubungan darat hampir terhenti sama sekali.
Sepucuk surat yang dikirimkan dalam tahun 1775 dimusim penghujan dari Semarang ke Betawi, memakan waktu rata-rata 12 hari, sedangkan dalam musim kering pos kilat dapat mencapainya dalam lima hari.
Pesanggrahan – pesanggrahan di sepanjang jalan ke Bogor dan Cipanas lebih jauh lagi ke pedalaman baru ada sejak menjelang pemerintahan Daendels.
Gubernur Jenderal yang berpangkat Marsekal ini menyadari bahwa jalan-jalan yang baik vital bagi pertahanan di samping pemantapan kekuasaan kolonial. Namanya dihubungkan dengan pembuatan Jalan Raya Pos yang membentang sepanjang pulau Jawa dari Anyer ke Panarukan.
Tetapi tidak benar bahwa dialah yang membangunnya, karena bagian-bagian jalan raya yang cukup panjang telah ada sebelumnya.
Ada bagian-bagian tertentu yang sudah ada sebelum Belanda pertama menginjakkan kakinya di bumi Indonesia. Jalan dari daerah Bogor ke jurusan Cirebon sejalan dengan jalan raya pos Daendels dan beberapa bagiannya sudah dalam keadaan baik sebelum si Marsekal Besi itu memulai proyeknya.
Juga jalan-jalan Kabupaten tidak terjadi karena usaha Daendels, namun ia memperbaiki dan meng"up-grade"nya sehingga memenuhi syarat dalam zamannya, terutama untuk maksud-maksud pertahanan.
Baru 1810 bisa ke Puncak naik kendaraan
Jalan ini sebagian besar dirampungkan dengan tenaga rodi di bawah pimpinan pamong praja. Pekerjaan itu selesai dalam satu musim kemarau dalam tahun 1808 setelah kesibukan panen dan pengangkutan kopi serta panen padi.
Kesulitan besar dijumpai dalam pembuatan jalan yang melewati Puncak, sehingga baru dalam tahun 1810 da pat dilewati kendaraan. Konon perbaikan jalan Puncak itu memakan korban jiwa 500 orang rakyat dari daerah Galuh.
Ternyata jalan yang dibuat oleh Daendels itu tidak banyak manfaatnya dalam pertahanan Jawa terhadap serangan Inggris.
Sebagai ironi sejarah dapat disebutkan bahwa Raffles dalam turne-turne keliling Jawa dapat memanfaatkan jalan Daendels itu dengan menempuh lebih kurang 15 pal sehari.
Raffles sendiri (1811-1816) menyuruh membangun jalan dari Barat ke Timur di dataran Karawang, sehingga memperpendek jarak antara Jakarta dan Cirebon. Jalan ini tak boleh dilewati oleh pedati, tetapi boleh oleh gerobak atau kereta yang mempunyai roda berjari-jari, karena dianggap tidak merusak jalan.
Karena banyaknya bagian-bagian yang harus dibuat dari besi, gerobak-gerobak itu masih jarang, sehingga jalan itu sepi saja.
Kadang-kadang dijumpai tiga jalan yang sejajar, yang paling buruk kondisinya ialah jalan khusus untuk pedati. Bahkan di Bandung yang dianggap cukup baik letaknya untuk pengangkutan kopi, di zaman kekuasaan Inggeris, masih ada daerah-daerah yang harus mencapai gudang penyimpanan 72 hari pulang pergi.
Demikianlah kisah-kisah dari abad lampau tentang buruknya perhubungan darat, barangkali bisa dijadikan pertimbangan bagi mereka yang menjadi kesal jika kereta apinya sangat terlambat atau jika bis atau mobil pribadinya tidak bisa meneruskan perjalanan oleh banjir (boleh juga disebut genangan) atau tanah longsor.
(Ditulis oleh Siswadhi. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1976)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR