Dalam tahun 1749 tercatat 300 ekor sapi atau kerbau dari daerah Sumedang dan Parakamuncang dirampas penjahat di tengah jalan.
Pengangkutan lewat air dilakukan bilamana keadaan sungai memungkinkan. Pada waktu itu sungai Pamanukan dan Citarum dapat dilayari dengan perahu bermuatan.
(Baca juga: Lukisan Awal Keraton Ngayogyakarta dari Zaman VOC: Siapakah Sosok dalam Lukisan Itu?)
Di mana sungai tak dapat dilayari lagi muatan dialihkan kembali ke hewan beban sampai ke tempat tujuan.
Setiap hewan bisa mengangkut 100 pon (sekitar 50 kg) ditambah bekal beras bagi si pengiring.
Pada masa itu mulai dipergunakan pedati. Konon yang pertama kali memprakarsai angkutan ini adalah Bupati Bandung.
Pedati zaman itu tidaklah sama dengan gerobak sapi sekarang; bentuknya berat dan masif, rodanya rendah dan tanpa jari-jari.
Roda itu cepat terkikis sehingga tepinya menjadi tajam, yang merusak jalan. Pedati semacam itu seringkali macet di lumpur jalan. Lajunya pun seperti keong; dalam jangka waktu satu bulan pedati hanya sanggup bolak-balik tiga kali rate Jakarta-Bogor.
Betapa berat beban yang ditanggung rakyat mudah dibayangkan: mereka yang tinggal di Cianjur harus menghabiskan waktu 8-14 hari untuk mencapai Bogor. Karena berat dan lamban lagi sering mogok di jalan, pedati kurang populer.
Dalam tahun 1800 di daerah Pamanukan dan Ciasem masih dipergunakan hewan beban dan pikulan dengan tenaga kuli untuk mengangkut hasil bumi bagi Kompeni. Di banyak tempat orang lebih suka menggunakan hewan atau manusia daripada pedati.
Konvoi angkutan kopi biasanya terdiri dari sejumlah seribu ekor kerbau yang sarat dimuati. Karena kerbau-kerbau itu dihiasi dengan kliningan dan para pembawanya mengenakan kain batik indah dengan tudung kepala berwarna-warni; iringan seperti itu merupakan pemandangan yang mengasyikkan.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR