la bukan lagi ahli siasat, ahli-taktik, ahli perencana gerak dinamika gerilya. la bukan lagi pemimpin pembina prajurit yang terbuka jiwanya untuk diresapi dengan tuah tekad pengaruh jiwa kepahlawanannya.
la bukan lagi ahli teori perang yang meneliti pertempuran-pertempuran kuno untuk meyakinkan hati-pribadi tentang siasat-taktik nenek-moyangnya.
Maka menjadi apakah Sentot Alibasah Prawirodirdjo di Bengkulu itu?
Dalam masa keadaan antara 1830-1855, yaitu 25 (dua puluh lima) tahun Sentot berada di Bengkulu, sebagai apa? Sebagai seorang manusia yang merasa tidak berguna, manusia tanpa tujuan hidup, manusia tanpa tugas, tanpa dedication of life.
Hidup baginya menjadi kosong hampa tanpa isi, tanpa arti, tanpa alas-dasar lagi.
Dua puluh lima tahun tidak lama dalam arti sejarah umat manusia. Sejarah umat manusia menghitung waktu dengan norma abad.
Tetapi bagi manusia biasa, makhluk biasa dengan segala kelemahannya 25 tahun itu besar, maha besar artinya. Dua puluh lima tahun atau 25 x 365 hari = 9125 hari.
Sentot menghadapi ± 9125 kali 12 jam di waktu siang dan 12 jam di waktu malam: 9125 x 24 jam. Bagaimanakah ia dapat menghadapi jam-jam yang terus mendatang berlalu tanpa berkesudahan itu?
Matahari terbit di atas Bukit Barisan terbenam di lautan Indonesia, setiap pagi, setiap sore. Apakah yang hendak dikerjakan oleh seorang bangsawan tulen dari zaman keraton bertuah?
Apakah yang mungkin diperbuat oleh seorang panglima tanpa apa-apa? Apakah yang dapat diperjuangkan oleh seorang pemuda dengan usia 25 tahun di kota kecil dalam perikehidupan terbatas?
Kearah manakah dinamika gerak-hidup yang penuh gerak-gesit dan gelora-gelisah-risau ditujukan, dipusatkan?
Maka betapa hebat dahsyat penderitaan rohaniah yang dialami Sentot dapat kita rasa ikuti seirama dengan gerak waktu dari subuh ke subuh setiap hari 9125 kali!
Di rumah dengan seorang isteri yang setia dan mengerti penderitaan sang suami. Putera-puteri yang tak mungkin dapat menyadari gerak-jiwa yang merana dalam kekosonghampaan dunia pribadi.
Sentot adalah seorang panglima dengan pandangan dan sikap hidup kekesatriaan. Ia bukan pelamun penyelam alam gaib, ia bukan pengejar khayal yang konyol kandas perjuangannya.
Iapun bukan pemupuk timbun dendam, tukang peniup bara sakit hati menjadi api kebencian yang membakar hanguskan hati nurani sendiri.
Bukan pula ia seorang pengemban rasa kecewa yang senantiasa berada dalam pelukan sesal rindu yang melemahkan.
Tiada juga sifatnya untuk melenyapkan duka tapanya dalam peluk rangkul wanita hingga hanyut dalam gelora asmara.
Ia cukup sadar atas diri kesatria disamping seorang isteri yang mengikuti jejaknya dalam kekosongan hidupnya.
Sentot tetap mempertahankan keaselinya dalam sikap hidup menghadapi kehampaan dunianya. Meja judi menjadi medan pertempuran jiwa.
Beberapa orang kawan melaYani Sentot dengan mempergunakan kartu perjudian untuk melenyapkan waktu yang tak berkesudahan itu.
la berjudi, main kartu, mengadu nasib, mempertaruhkan untung-rugi, bergulat dengan segala kemungkinan yang mungkin.
(Ditulis oleh R. Moh. Ali. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 1964)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR