Apakah istri juga tidak takut? “Enggak, kalau ada saya dia enggak takut,” kata Tanzil.
Semua kisah perjalanan ditulisnya secara detail sejak 1943. Setiap detail; itu literaris, bahkan misalnya dia menulis bahwa pada pukul 11.13, dia buang angin!
“Ya kalau masih bisa buang angin itu tandanya sehat,” kata Tanzil.
Di usia senjanya kini, buku hariannya juga mempunyai fungsi lain untuk Kunadi yang mengasuhnya.
Karena dari sanalah Kunadi memonitor kondisi ayahnya dari catatan yang dia buat.
Catatan detail Tanzil juga mencakup kurs mata uang saat itu. Selama perjalanan keliling dunia, dia selalu membawa cek pelawat (travelers cheque).
Sampai di negara tujuan, dia langsung ke bank untuk memecahnya dengan mata uang negara setempat.
“Kalau bayar sesuatu, saya keluarkan semua uang saya, penjualnya suruh ambil sendiri. Sebab saya tidak tahu harganya, pilih sendiri uangnya yang mana,” kisah Tanzil.
Jurus berlagak bodoh
Kalau ditotal, sudah 70 tahun dia menulis buku harian. Awalnya Tanzil menulis dalam bahasa Belanda.
Kini, campur-campur, kadang Belanda, kadang Bahasa Indonesia.
Dia sendiri setidaknya mahir tiga bahasa asing: Belanda, Inggris, dan Jerman.
Lucunya, meski keturunan Tionghoa, dia justru tidak bisa bahasa Cina.
Maka ketika sampai di Tiongkok, dia menempelkan kertas di dadanya, bertuliskan: “Bangsa Tionghoa, lahir di Indonesia, tidak bisa bahasa Tionghoa.”
Berbagai trik juga diungkapkan Tanzil, salah satunya, jurus “berlagak bodoh”.
“Di tiap negara itu seolah-olah saya tidak mengerti bahasanya. Berlagak bodoh saja lah, supaya ditolong orang. Orang bodoh itu selalu ditolong. Kalau sok pinter malah ditipu sekalian,” kata Tanzil.
Dengan mengunjungi 240 negara, sebenarnya Tanzil berhak memegang rekor dunia, karena rekor mengunjungi negeri terbanyak yang tercatat dalam buku Guinness Book of World Records adalah 235 negara.
Tapi lagi-lagi, Tanzil tidak mau mencatatkan dirinya, karena tak mau repot urusan formal.
Omong-omong, dari negara-negara itu, mana yang paling enak? “Indonesia!” kata Tanzil mantap. (JB Satrio Nugroho)
(Pernah dimuat di Majalah Intisari Januari 2014, ditulis ulang oleh Melina Ikwan)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR