Penulis
Intisari-Online.com – Balai Kota atau Stadhuis Batavia yang kini berfungsi sebagai Museum Jakarta adalah salah satu gedung peninggalan zaman VOC yang langka.
Bangunan ini termasuk di antara sedikit yang masih tegak, terselamatkan dari keganasan sang Kala dan gempuran palu pembongkaran.
Berlainan dengan anggapan umum, Balai Kota ini adalah yang ketiga selama pemerintahan Kompeni; yang pertama dan ke dua telah hilang tak berbekas.
Gedung yang sekarang baru dimulai pembangunannya pada tahun 1707. Biayanya disediakan 29.800 ringgit, tak termasuk bagian-bagian yang terbuat dari besi dan kedua sayapnya.
Baca juga: Cerita-cerita Ngeri dari Taman Fatahillah (1): Penjara Bawah Tanah yang Menghabisi 500 Jiwa
Dalam tahun 1710 pembangunannya telah cukup jauh sehingga sudah bisa ditempati oleh beberapa jawatan, dan dalam tahun 1712 telah selesai seluruhnya.
Ternyata biaya pembangunannya telah melampaui perhitungan semula. Setelah rampung ternyata bahwa gedung ini menelan biaya sebanyak 56.361 ringgit.
Untuk menjamin keawetannya, ditentukan bahwa pemborongnya tidak boleh menggunakan kayu-kayu bekas dari gedung yang lama suatu tindakan yang cukup tegas, mengingat sifat pelit orang Belanda.
Sebagaimana seharusnya, Balai Kota baru ini dibangunkan di sisi Selatan Lapangan Balai Kota (Stadhuisplein) yang kini bernama Taman Fatahillah. Kedua balai kota yang mendahuluinya juga dibangunkan di lapangan yang sama.
Baca juga: Cerita-cerita Ngeri dari Taman Fatahillah (2): Tidak Bisa Bayar Utang? Masuk Penjara!
Dibandingkan dengan gambar-gambar lama ternyata bahwa gedung ini dalam keadaannya sekarang pernah mengalami perombakan-perombakan.
Di bagian pintu masuk terdapat semacam bangunan penampil yang ditopang empat buah tiang, yang membentuk suatu serambi lebar dengan pintu masuk berbentuk lengkung.
Di atas serambi itu terlihat keempat jendela bangunan penampil ini dan di atas ini suatu fronton yang puncaknya dihiasi dengan sebuah patung Dewi Keadilan.
Dulu payung ini terdapat dalam suatu ceruk di tengah suatu kubu bulat, yang ditempatkan di atas serambi. Di samping patung masih ada lambang kerajaan Belanda, lambang kota Batavia dan perisai dengan monogram VOC.
Baca juga: Ada yang Baru dari Museum Fatahillah Kota Tua Jakarta
Pada puncak menara pernah ditempatkan sebuah patung wanita yang membawa sebuah layar di tangan satu dan seikat anak panah di tangan yang lainnya sebagai penunjuk arah angin.
Kemudian patung itu digantikan dengan panah penunjuk mata angin yang biasa dan tiang bendera. Patung Justitia membawa laksana-laksananya yang lazim: pedang terhunus, neraca dan matanya terbalut dengan kain.
Balai Kota yang baru ini ditempati oleh dewan pengadilan, dewan kota, balai harta peninggalan, komisaris-komisaris urusan kecil dan perkawinan, komandan-komandan schutterij (semacam Hansip).
Dalam buku Valentijn ruangan-ruangan dikatakan sangat bagus, terutama hiasan-hiasan yang mewah di ruang sidang dewan dan serambi untuk berjalan-jalan yang terdapat di tingkat dua.
Baca juga: Mengenal Jakarta dari Museum Fatahillah
Penulis kisah perjalanan Gevers Deijnoot yang pernah mengunjungi gedung ini dalam tahun 1862 sia-sia mencari peninggalan yang berarti dari zaman Kompeni. la menulis bahwa pada masa itu Balai Kota hanya merupakan gedung yang kokoh, tetapi tanpa selera baik.
Di belakang Balai kota terdapat rumah-rumah yang diperuntukkan para sipir atau penjaga tahanan, yang menurut Valentijn merupakan rumah yang cukup baik dan bahwa jabatan sipir menghasilkan uang cukup lumayan.
Mungkin itu alasannya mengapa menantu pelukis termasyhur Rembrandt, Cornelia Suythof, yang juga pelukis, tidak ragu-ragu untuk menjalankan profesi itu.
Sayap-sayap gedung, yang ditempati rumah-rumah sipir itu, selebihnya dimanfaatkan sebagai penjara untuk menyekap tahanan. Konon di salah sebuah ruangan penjara ini Belanda pernah menahan Pangeran Diponegoro, sampai ada kapal yang membawanya ke tempat pengasingannya di Makasar.
Baca juga: Wow! Ternyata Pangeran Diponegoro Sudah Gunakan Senjata Biologis saat Melawan Belanda
"College van Schepenen" dewan yang juga bertugas mengadili, bersidang ditingkat satu di belakang balkon. Di sana mereka menjatuhkan vonis-vonis mereka menurut sistem peradilan abad ke 17 dan 18 yang tidak beradab.
Tulis Dr. de Haan, penulis sejarah Jakarta yang terkenal: "Jika orang mengamati kamar yang sempit tetapi panjang itu, dapat dibayangkan betapa para anggota dewan duduk di situ seperti dilindungi oleh barikade jerajak besi yang serba kuat dan di belakang pintu-pintu yang sangat tebal, mungkin untuk melindungi mereka dari kemungkinan nekadnya salah seorang hukuman yang mendengar namanya dibacakan di bangsal di belakangnya, untuk menerima hukuman mati.
Tuan-tuan itu keluar dari kamarnya ke balkon, setiap kali terjadi pelaksanaan hukuman pada tiang penggantungan yang didirikan di depan Balai Kota. Dari balkon mereka mengamati betapa terhukum dibawa ke tiang penggantungan diiringi oleh bunyi lonceng dan diantarkan oleh seorang pendeta. Setelah hukuman terlaksana, mereka makan, sebagaimana kebiasaan di tanah air."
Hukuman-hukuman yang kejam, demikian De Haan selanjutnya, disamping kerahasiaan yang meliputi nasib orang-orang yang biasanya ditawan oleh patroli-patroli tentara dari daerah pedalaman atau dikirimkan oleh Bupati-bupati memperdalam rasa ketakutan orang akan Balai Kota.
Baca juga: Sentot Ali Basya, Panglima saat Perang Diponegoro yang Hidupnya ‘Ditelan oleh Sang Waktu
Biasanya handai taulan atau keluarga orang-orang itu tidak mendengar berita apa-apa lagi tentang mereka. Atau mereka mati pada waktu penahanan atau waktu menunggu pelaksanaan hukuman atau dibawa ke penjara atau ke tempat pengasingan.
Kenangan yang berdarah itu masih melekat pada Balai Kota, yang sekalipun tadinya mencantumkan lambang-lambang kekuasaan dan keadilan. Bagi tertuduh yang malang yang diseret ke sana lambang-lambang itu hanya berarti: habislah kini semua harapan!
Sebab lima ruang di bawah tanah, di bawah gedung, tempat para tawanan disekap, begitu rendahnya, sehingga orang tak bisa berdiri tegak. Udara dan cahaya terang hanya masuk sedikit-sedikit lewat celah-celah jerajak besi.
Tempatnya sempit, penghuninya penuh sesak, udaranya buruk, sehingga banyak yang mati oleh penyakit demam atau beri-beri, jauh sebelum mereka sempat dihadapkan kepada pengadilan.
Baca juga: Untuk Peroleh Keuntungan Besar, Kompeni Pernah Melegalkan Madat di Indonesia
Terutama tahanan yang berasal dari daerah pedalaman yang berudara segar, yang paling tidak tahan menghadapi keadaan ini.
Lapangan yang melingkungi bangunan ini pada waktu tertentu juga berfungsi sebagai tempat parade. Dalam tahun 1798 pagar-pagar yang berasal dari lapangan-lapangan parade sebelumnya dipindahkan ke sekitar lapangan itu.
Serdadu-serdadu Kompeni itu berbaris-baris sampai dekat kepada gapura Kota Intan (yang dirobohkan di zaman pendudukan Jepang). Gapura ini tetap tegak ketika Daendels memerintahkan untuk membongkar Kasteel (benteng) Batavia.
Gapura ini pernah menjadi pintu masuk sebelah Selatan menuju kelapangan sebelah dalam Kasteel. Gerbang Kota Intan itu sangat kokoh, terdiri dari delapan tiang putih, yang pada masing-masing puncaknya dihiasi dengan suatu bejana hitam dengan untaian bunga putih.
Baca juga: Kanjeng Kiai Tjokro, Tongkat Pusaka Pangeran Diponegoro Akhirnya Kembali ke Indonesia
Pada kedua ceruk di kiri kanan pintu gerbang terdapat patung Mars (dewa Perang) dan Minerva (Dewi Kebijaksanaan dan Seni).
Di sekitar tempat ini dulu tempat bersemayam meriam Si Jagur yang terkenal, yang kemudian disimpan di dalam Museum Jakarta dan akhirnya kembali ditaruh depan museum.
Di tengah lapangan Balai Kota, menurut gambar-gambar lama terdapat sebuah air mancur kecil, sebenarnya tempat penampungan air yang mendapat airnya dari pancuran di luar tembok kota.
Pancuran itu sampai sekarang masih mempertahankan namanya yang asli, yakni Pancoran-Glodok. Tempat itu dulu sudah dianggap luar kota, karena terletak di luar tembok kota Batavia, yang inti kotanya adalah sekitar Pasar Dean atau Pelabuhan Sunda Kelapa.
Pada pemugaran Taman Fatahillah beberapa tahun yang lalu pancuran air ditemukan kembali, tertanam di dalam tanah. Sekarang air mancur itu telah dipugar dan ditaruhkan di tengah-tengah taman. (Swd)
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1978.
Baca juga: Diboikot Mataram, Kompeni di Batavia Terancam Kelaparan, Tapi Malah Selamat Berkat Sulap