Advertorial
Intisari-Online.com – Di zaman modern kita setiap waktu selalu mendengar “time is money”, waktu adalah uang.
Adapun maksud dari penegas makna itu ialah agar manusia jangan membuang waktu karena waktu itu berharga sekali.
Kita harus dapat mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya.
Maka dengan semestinya di dalam kehidupan modern manusia benar-benar mengejar waktu; segala sesuatu ditentukan waktunya terlebih dahulu, ditentukan batas waktunya.
(Baca juga: Dalam Perjuangan Kemerdekaan, Bahasa Indonesia Sesungguhnya Lebih ‘Tajam’ dari Peluru)
Istilah “timing” , “planning”, jangka waktu, rooster, daftar waktu menunjukkan dengan jelas bahwa manusia berusaha untuk menguasai waktu.
Setiap jam, setiap menit harus dipergunakan dengan tepat; janganlah suatu hari lalu tanpa guna
Demikian itulah cita-cita manusia di dunia modern, dalam alam kehidupan modern. Akan tetapi dapat jua dipersoalkan demikian; manusia berkejar-kejaran dengan waktu, siapakah yang mengejar?
Manusiakah, waktukah? Dalam Sejarah Nasional kita banyaklah terdapat peristiwa-peristiwa yang tidak cukup penting untuk dilukiskan oleh ahli-ahli sejarah kita, karena memang kurang penting.
Tetapi apabila ditinjau dari sudut kenyataan dari pergaulan antara manusia dengan waktu, peristiwa-peristiwa itu menjadi berarti sekali!
Berarti dan bermakna dalam lukisan penderitaan azasi daripada suatu bangsa yang dijajah oleh bangsa lain.
Peristiwa-peristiwa sejarah yang dapat menyingkap tabir kekejaman manusia terhadap sesama manusia itu ialah; pengasingan, pembuangan pemimpin-pemimpin rakyat oleh pemerintah penjajahan di suatu tempat tertentu.
Pengasingan itu mempunyai tujuan khas, yaitu memisah-jauhkan seorang pemimpin dari kaumnya; memutuskan hubungan dan tali temali jasmaniyah-rohaniah antara pemimpin dengan kaum-pengikutnya.
Pemimpin itu tidak dipenjarakan, tidak dikurung. la diberi keleluasaan untuk bergerak di suatu tempat, di suatu dusun tertentu asal ia tidak mengadakan hubungan-hubungan insaniyah yang membahayakan pemerintah Belanda.
Demikianlah terjadi dengan diri Sentot Ali Basya Prawirodirdjo panglima angkatan perang Diponegoro. Dengan keluarganya ia ditempatkan di kota Bengkulu.
Pemerintah Belanda membatasi gerak-hidupnya di semua bidang kehidupan.
Teman seperjuangan seorangpun tidak diperbolehkah menyertainya. Uang tunjangan sebagai modal untuk menyelenggarakan peri kehidupan kemanusiaan untuk satu keluarga sangat tidak mencukupi.
Penjagaan atas diri pribadi Sentot dalam gerak-geriknya setiap hari di tengah-tengah masyarakat kecil menyakithatikan, menjengkelkan.
Sentot Alibasah dari zaman kanak-kanak senantiasa bergerak dalam suasana keperajuritan yang agresif dinamis.
Dalam perjuangan Diponegoro ia dapat menggelorakan suatu gerak gesit dinamis dahsyat gerilya yang hanya mungkin karena jiwa pribadi yang senantiasa bergolak serba meluap.
Dengan pasukan-pasukannya ia selalu berada dalam keadaan mobil; keadaan-bergerak.
(Baca juga: Hari Radio Nasional: Perebutan Pemancar Radio, Salah Satu Perjuangan Terberat para Pejuang Setelah Proklamasi)
Waktu dipergunakan untuk mengerahkan tentara dalam gerak serang mundur gerilya tidak terbatas tempat wilayah. Maka ketika ia menyerah kepada Jenderal de Kock syarat utama ialah perlakuan secara militer dan kebebasan bergerak dengan pasukannya.
Sumatera Barat ditunjuk oleh Belanda sebagai tempat pengasingan untuk Sentot dan pasukannya.
Justru disebabkan oleh kebebasan bergerak Sentot sebagai panglima mengadakan hubungan dengan pemimpin-pemimpin Paderi di Bonjol.
Gerak-dinamis pribadi Sentot tidak dapat membatasi diri menjadi panglima pasukan parade pajangan pemerintah Belanda.
Ia ingin bergerak seperti sediakala dengan gerak kilat merantau di medan perang untuk melawan pasukan-pasukan Belanda.
Perpaduan dinamikan perang Diponegoro dengan dinamika perang Paderi dapat dicegah oleh Belanda.
Sentot diasingkan ke Bengkulu, tanpa pasukan, tanpa kawan berjuang hanya dengan keluarga. Perubahan itu adalah perubahan dahsyat, bukan saja perubahan lingkungan kehidupan oukan pula hanya perubahan wewenang bergerak!
Sentot harus mengalami perubahan jiwa, perubahan rohaniah secara total, secara mutlak.
(Baca juga: (Foto) Sepatu-sepatu di Museum Sepatu Bata Ini Tak Hanya Unik, Tapi Juga Penuh Nilai Sejarah dan Perjuangan)
Ia bukan panglima dengan pasukan-pasukan yang senantiasa berada dalam gerak hidup ketenteraman: latihan perang-perangan.
la bukan lagi ahli siasat, ahli-taktik, ahli perencana gerak dinamika gerilya. la bukan lagi pemimpin pembina prajurit yang terbuka jiwanya untuk diresapi dengan tuah tekad pengaruh jiwa kepahlawanannya.
la bukan lagi ahli teori perang yang meneliti pertempuran-pertempuran kuno untuk meyakinkan hati-pribadi tentang siasat-taktik nenek-moyangnya.
Maka menjadi apakah Sentot Alibasah Prawirodirdjo di Bengkulu itu?
Dalam masa keadaan antara 1830-1855, yaitu 25 (dua puluh lima) tahun Sentot berada di Bengkulu, sebagai apa? Sebagai seorang manusia yang merasa tidak berguna, manusia tanpa tujuan hidup, manusia tanpa tugas, tanpa dedication of life.
Hidup baginya menjadi kosong hampa tanpa isi, tanpa arti, tanpa alas-dasar lagi.
Dua puluh lima tahun tidak lama dalam arti sejarah umat manusia. Sejarah umat manusia menghitung waktu dengan norma abad.
Tetapi bagi manusia biasa, makhluk biasa dengan segala kelemahannya 25 tahun itu besar, maha besar artinya. Dua puluh lima tahun atau 25 x 365 hari = 9125 hari.
Sentot menghadapi ± 9125 kali 12 jam di waktu siang dan 12 jam di waktu malam: 9125 x 24 jam. Bagaimanakah ia dapat menghadapi jam-jam yang terus mendatang berlalu tanpa berkesudahan itu?
Matahari terbit di atas Bukit Barisan terbenam di lautan Indonesia, setiap pagi, setiap sore. Apakah yang hendak dikerjakan oleh seorang bangsawan tulen dari zaman keraton bertuah?
Apakah yang mungkin diperbuat oleh seorang panglima tanpa apa-apa? Apakah yang dapat diperjuangkan oleh seorang pemuda dengan usia 25 tahun di kota kecil dalam perikehidupan terbatas?
Kearah manakah dinamika gerak-hidup yang penuh gerak-gesit dan gelora-gelisah-risau ditujukan, dipusatkan?
Maka betapa hebat dahsyat penderitaan rohaniah yang dialami Sentot dapat kita rasa ikuti seirama dengan gerak waktu dari subuh ke subuh setiap hari 9125 kali!
Di rumah dengan seorang isteri yang setia dan mengerti penderitaan sang suami. Putera-puteri yang tak mungkin dapat menyadari gerak-jiwa yang merana dalam kekosonghampaan dunia pribadi.
Sentot adalah seorang panglima dengan pandangan dan sikap hidup kekesatriaan. Ia bukan pelamun penyelam alam gaib, ia bukan pengejar khayal yang konyol kandas perjuangannya.
Iapun bukan pemupuk timbun dendam, tukang peniup bara sakit hati menjadi api kebencian yang membakar hanguskan hati nurani sendiri.
Bukan pula ia seorang pengemban rasa kecewa yang senantiasa berada dalam pelukan sesal rindu yang melemahkan.
Tiada juga sifatnya untuk melenyapkan duka tapanya dalam peluk rangkul wanita hingga hanyut dalam gelora asmara.
Ia cukup sadar atas diri kesatria disamping seorang isteri yang mengikuti jejaknya dalam kekosongan hidupnya.
Sentot tetap mempertahankan keaselinya dalam sikap hidup menghadapi kehampaan dunianya. Meja judi menjadi medan pertempuran jiwa.
Beberapa orang kawan melaYani Sentot dengan mempergunakan kartu perjudian untuk melenyapkan waktu yang tak berkesudahan itu.
la berjudi, main kartu, mengadu nasib, mempertaruhkan untung-rugi, bergulat dengan segala kemungkinan yang mungkin.
(Ditulis oleh R. Moh. Ali. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 1964)