Advertorial
Intisari-Online.com -Jakarta, Kamis, 30 September 1965. Tepat 52 tahun yang lalu, umur Sukmawati Soekarnoputri masih 14 tahun.
Malam itu tidak ada yang berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Saat itu Bung Karno sedang tidak di rumah.
Dia sedang menghadiri sebuah acara, kalau tidak salah Hari Teknik Nasional. Sebagai seorang Presiden Republik Indonesia sudah menjadi keharusan beliau menyampaikan pidato.
(Baca juga:Mengenang G30S: Rindu dengan Anak-anaknya)
Setelah acara itu Bung Karno tidak pulang ke Istana. Kebiasaannya pada hari Jumat sampai Minggu, dia akan pulang ke rumah istri ketiganya, Ibu Hartini di Bogor.
Tidak ada sesuatu apa pun yang mengejutkan. Semua berjalan seperti biasa. Sampai pada pagi harinya, Jumat 1 Oktober 1965, Sukmawati sedang bersiap akan berangkat ke sekolah.
Tiba-tiba pengasuhnya memanggil. "Putri, hari ini tidak boleh sekolah karena kabar dari Detasemen Kawal Pribadi ada jenderal yang diculik," kata dia.
Sejak kecil Sukmawati dipanggil dengan nama Putri oleh pengasuhnya, bukan dengan nama aslinya.
Suasana pagi itu begitu sepi dan mencekam. Dia mengintip dari jendela, tidak ada satu pun ajudan Bung Karno yang berkumpul di Istana.
Dia justru melihat di pagar Istana ada sekumpulan tentara siap tempur dengan seragam PDL (Pakaian Dinas Lapangan).
"Kok aneh," pikirnya, karena hari itu tidak ada perayaan kenegaraan apa pun.
"Ah mungkin karena ada jenderal yang diculik."
Kemudian Sukmawati melihat ada seorang tentara membawa pistol di halaman istana, juga ada truk tentara.
Aneh, padahal tidak boleh ada truk dan senjata api di lingkungan istana. Hanya ajudan Bung Karno saja yang boleh membawa senjata di Istana.
Keadaan semakin mencekam. Di dalam istana hanya ada kakaknya Rahmawati dan diknya Guruh.
(Baca juga:Mangil, Kepala Polisi Pengawal Bung Karno yang Ternyata Tak Tahu Jika Proklamasi akan Dibacakan)
Tidak lama kemudian seorang ajudan menyuruh mereka berkemas untuk meninggalkan Istana. Mereka diantar ke rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya.
Saat keluar dari Istana, memang banyak tentara tak dikenal berjaga di depan pagar. Dari rumah, mereka diminta untuk menemui Bung Karno di kawasan Halim.
Mereka akhirnya bertemu. Sukmawati melihat ekspresi bapaknya saat itu sangat berbeda. Ekspresi yang tidak pernah dia lihat sejak peristiwa percobaan pembunuhan Bung Karno pada 30 November 1957 di Perguruan Cikini.
Siang hari itu, wajah Bung Karno kusut. Ada kesedihan dan kekalutan. Perasaan Sukmawati mengatakan ada sesuatu yang tidak benar sedang terjadi.
Saat berada di Halim, dia melihat Bung Karno ditemani oleh para panglima tentaranya, kecuali Jenderal Ahmad Yani saja yang tidak hadir di situ.
Kemudian Bung Karno menyuruh Sukmawati menemui ibunya yang sedang berada di Bandung. Setelah hari itu hidupnya berjalan seperti biasa.
Tahun 1967, mereka sekeluarga harus keluar dari Istana. MPRS mengeluarkan Ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 yang isinya pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno atas segala kekuasaan pemerintah negara dan mengangkat pengemban Supersemar sebagai presiden, yakni Soeharto.
Setelah itu, Bung Karno dikenai tahanan kota dan menetap di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala, Jakarta) sampai akhir 1967.
Pada awal 1968, Soekarno dikenai tahanan rumah dan dibatasi aktivitasnya, termasuk untuk bertemu keluarga.
Bung Karno pernah mengatakan kepada Sukmawati bahwa dia sangat merasa kesepian. Banyak menteri yang masih setia kepadanya diciduk oleh Pemerintah.
Hanya Ibu Hartini yang diperbolehkan mendampingi di rumah tahanan. Sukmawati hanya bisa menjenguk ketika tim investigasi dari Angkatan Darat tidak datang ke rumah tananan untuk melakukan pemeriksaan.
(Baca juga:Seputar G30S/PKI: Kisah Sukitman, yang Lolos dari Lubang Buaya (1))
Betapa hancurnya hati seorang Bung Karno, setelah apa yang sudah dia berikan kepada bangsanya, malah dijadikan sebagai tahanan politik.
Suatu hari ia menjenguk Bung Karno. Dia sudah malas keluar untuk jalan-jalan keliling kota, kebiasaannya sejak dulu. Hari itu dia hanya tidur-tiduran saja di sofa.
Tiba-tiba, Bung Karno menangis tersedu sambil memeluk Sukmawati. Saat itu dia tidak terlalu paham kenapa bapaknya menangis.
Belakangan ia baru mengetahui, Bung Karno menangis karena mendengar kabar yang tidak baik setelah 1 Oktober 1965. Terjadi pembunuhan massal terhadap rakyatnya yang dituduh memiliki paham komunisme.
Bung Karno juga menangis karena dia digulingkan begitu saja oleh bangsanya sendiri dan jutaan rakyat yang dia cintai dibunuh untuk melanggengkan sebuah kekuasaan. Memang tragis, akhir hidup seorang pendiri bangsa.
*Cerita ini disusun dari penuturan Putri Presiden pertama RI Sukmawati Soekarnoputri saat ditemui Kompas.com di Kantor PARA Syndicate, Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, setahun yang lalu.