Di samping-bahan-bahan untuk membuat tembok sangat mahal, pengangkutannya pun sulit. Bisa dikatakan salah satu kendala di daerah ini adalah masalah transportasi.
Kebersihan rumah, tempat tidur dan alat-alat rumah tangga pada umumnya masih kurang baik. Ini ada kaitannya dengan adat kebiasaan untuk makan cepa (sirih pinang), baik kaum lelakinya maupun kaum wanitanya.
Betapa tidak? Mereka biasa meludah di mana-mana, bahkan di dalam rumah berlantai papan. Keterbatasan air juga menjadi penyebab lain.
Bahkan masih ada rumah yang mempunyai bentuk asli seperti setengah lingkaran tertelungkup, tanpa jendela. Apabila para wanita memasak, asapnya memenuhi seluruh rumah.
Di dalam rumah adat ini, begitu masuk kita akan sampai di ruangan paling luas, di tengahnya terdapat tempat memasak.
Apabild ada tamu, tikar digelar dan mereka duduk bersila minum kopi "teh" (air diberi gula), atau moke (tuak terbuat dari sari nira yang sudah disimpan beberapa hari).
Ruangan lain di bagian sisi rumah, dipakai untuk tempat tidur para anggota keluarga bersama-sama.
Makanan sehari-hari adalah nasi putih. Sering kali dicampur dengan jagung tua yang sudah dihilangkan kulit arinya. Pada acara istimewa, mereka kadang menyantap nasi merah, sedangkan nasi beras hitam hanya dimakan pada saat-saat yang sangat istimewa, berkaitan dengan upacara adat.
Teman makan nasi adalah sayur dari daun ubi, daun pepaya, pepaya muda, paria, terung, labu- kuning, dan labu siam. Kadang-kadang ada sayur kacang hijau, kacang tolo, kacang panjang, kangkung, kubis atau sawi.
Ikan kering sangat sering menemani untuk lauk makan nasi. Telur sangat jarang dimakan. Ayam hanya dimakan jika ada tamu istimewa atau upacara adat.
Kambing, babi, dan kerbau dipotong jika ada pesta besar.
Tuak diminum pada saat ada pesta atau tamu penting. Biasanya diminum kaum lelaki. Wanita memberikan sirih pinang (cepa) pada tamu wanita.
Kadang-kadang ada yang dicampur dengan tembakau. Banyak lelaki merokok, dari tembakau panenan setempat yang diproses dan digulung sendiri dalam kertas rokok.
Kesenian di daerah Manggarai ini misalnya sanda, dimana di dalamnya ada beberapa lelaki dan wanita berbaris melingkar, membuat irama perlahan-lahan dengan entakan kaki sambil menyanyikan pantun.
Alat musik yang dipergunakan adalah gong. Jenis kesenian yang lain adalah mbata, di mana para lelaki duduk bersila memainkan kendang sambil menyanyi.
Ada juga gong yang dipukul secara ritmis. Permainan caci dilakukan antdra dua orang laki-laki yang masing-masing memegang cambuk dan tameng, sangat terkenal di daerah suku Manggarai ini.
Masing-masing berusaha melukai lawannya dengan cambuk berujung tajam. Bagian yang paling vital adalah kepala, yang apabila terkena berarti sudah kalah telak.
Cara penerimaan adat apabila ada orang baru yang masuk ke dalam suatu kampung, misalnya jika ada tamu istimewa, atau ada anggota masyarakat baru (seorang wanita yang dinikahi orang yang berasal dari kampung lain, kemudian masuk ke kampung tempat tinggal suaminya), pertama kali dia dijemput oleh para anggota masyarakat bersama tetua adat di mulut kampung dengan membawa ayam dan moke.
Setelah ayam dan moke diterimakan, tamu diajak menuju rumah gendang atau rumah tempat dilakukannya pertemuan-pertemuan para anggota masyarakat.
Setelah naik tangga kayu, masuk ke dalam rumah, mereka duduk bersila saling berhadapan antara tamu dan penerima tamu, kemudian tuan rumah melontarkan sapaan-sapaan dan menyatakan selamat datang.
Lalu wanita tuan rumah memberikan cepa kepada para tamu wanita. Ayam dipotong dan dimasak. Sementara menunggu makanan matang, mereka berbincang-bincang sambil minum moke, mengunyah sirih pinang, merokok, atau mengulum tembakau.
Belakangan kawasan ini sedang berbenah untuk meningkatkan kondisi jalan raya, memperlancar jalur wisata ke daerah yang berpotensi menarik wisatawan.
Salah satunya adalah jalan raya yang menuju ke Desa Robek, yang memiliki pantai indah. Selain itu masih ada lagi pantai yang menyimpan banyak bangkai kapal perang Jepang yang tenggelam sisa-sisa PD II, kemudian Pantai Jengkalang di Desa Wangkung, atau pantai tambak ikan di Nanga Panda.
(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1993)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR