Pada zaman modern sekarang, pohon beringin masih tetap favorit. Banyak yang ditanam sebagai pohon hias di tepi jalan kota.
Daunnya senantiasa dipangkas agar membentuk tajuk yang membulat seperti kurungan ayam bekisar. Ada pula beringin yang dipelihara sebagai tanaman hias di taman. Tetapi yang dipilih varietas yang daunnya putih.
Beringin biasa yang berdaun hijau juga mengagumkan kalau dikerdilkan sebagai bonsai karang yang akarnya mencengkeram batu karang di bawahnya.
Batangnya dibiarkan agak condong seolah-olah tertiup angin seperti pohon raksasa tua. Padahal ukuran dan bentuknya serba mini, dalam pot mini, yang ditaruh di atas meja mini.
Tiba-tiba saja kita merasa seperti main guliver-guliveran yang sedang mengamati pohon beringin di Negeri Liliput.
Sering juga bonsai beringin ditanam berkelompok 4 - 5 batang menjadi satu. Batangnya yang tegak tidak dikotori akar-akar udara, sehingga kalau tumbuh berkelompok tampak keindahannya sebagai batang yang bersih.
Ini berbeda sekali dengan Ficus kurzii yang dipanggil beringin juga, tetapi berakar udara. la ditanam soliter, agar tampak seram menunjukkan akar-akar udaranya, yang karena menggantung dari cabang disebut juga "akar gantung".
Kesan yang timbul ialah, pohon itu mengingatkan kita pada bentuk pohon tua serupa yang tumbuh seram di alam bebas, penuh burung hantu.
Padahal ini cuma kicit! (Slamet Soeseno)
Berkah di Antara Dua Beringin
Dua pasang beringin, sepasang di alun alun lor (utara) dan sepasang lagi di alun-alun kidul (selatan) Keraton Yogyakarta, merupakan simbol kekuasaan raja yang memerintah.
Keempat pohon itu ditanam mengiringi pembangunan keraton oleh Sultan Hamengku Buwono (HB) I pada tahun 1756 -1757, menyusul Perjanjian Gianti 13 Februari 1755, yang membagi Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Seperti keraton dan isinya yang penuh mitos dan legenda, pohon beringin yang masing-masing dikelilingi pagar tembok berhias dan kemudian disebut Wringin Kurung itu juga tak lepas dari perlakuan mistis.
Keempat pohon itu sesekali masih "disertakan" dalam ritus keraton. Karena itu, setiap saat ada sesaji di sana, meskipun setiap saat pula sesaji makanan diambil orang dan tempat itu jadi tempat berteduh para gelandangan.
Keraton juga menempati posisi khas dalam spiritualitas masyarakat Jawa, khususnya orang Yogya. Puasa atau berbagai bentuk laku batin, umpamanya, sedikit banyak dipengaruhi keraton.
Ada orang yang menganggap lewat di antara dua batang beringin itu sebagai pantangan, sehingga dalam laku-nya ada syarat tidak boleh lewat di antara dua pohon itu.
Tetapi di sisi lain ada anggapan, melewati kedua pohon itu justru penuh berkah, asal dilakukan dengan cara tertentu, dan pada waktu-waktu tertentu.
Cara tertentu adalah berjalan dengan mata tertutup, dan waktu tertentu ialah malam Selasa Kliwon atau malam Jumat Kliwon.
Entah sejak kapan, anggapan itu jadi keyakinan banyak orang. Yang pasti, banyak orang mencoba melakukannya, terutama di alun-alun kidul.
Dari tepi alun-alun, orang berjalan dengan mata tertutup, menempuh jarak 25 - 30 m menuju ke bidang tengah selebar sekitar 12 m di antara dua pohon beringin.
Nyatanya, sangat sedikit yang berhasil pada kesempatan pertama. Kalau tidak berbelok ke kiri, ya ke kanah.
Ada yang melenceng sangat jauh, ada pula yang justru kembali ke posisi semula.
Hary, seorang warga sekitar, mengatakan, "Kegagalan mereka di atas 95%. Baru setelah mencoba berulang-ulang, keberhasilannya bisa-mencapai 50%."
Tak jelas berkah apa yang diperoleh mereka yang berhasil. Yang pasti mendapat berkah ialah mereka yang mencium peluang bisnis.
Sebab, yang penasaran ingin mencoba menerobos beringin cukup banyak. Tidak lagi hanya di malam Selasa atau malam Jumat Kliwon, tetapi setiap saat!
Sang "businessman" membuat kain penutup mata untuk disewakan kepada mereka yang penasaran. Sekali pakai Rp 200,-. Lumayan! (Mayong S. Laksono)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 1999)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR