Siapakah yang akan ditunjuk sebagai penggantinya?
Sultan Pajang menunjuk putranya, Ngabehi Loring Pasar (kepala yang mencakup kabeh (semuanya) di daerah utara pasar).
Sebagai raja Mataram yang baru, ia dibalik namanya menjadi Senopati Ingalaga Sayidin Panatagama, sebelum kelak balik nama lagi sebagai Panembahan Senopati.
Tradisi memberi kesempatan pada rakyat untuk bertemu raja itu kemudian dilestarikan oleh raja-raja Mataram berikutnya.
Sepasang beringin yang sama umurnya ditanam di alun-alun depan gapura keraton. Mengapa ditanam kembar, tidak ada penjelasan dalam sejarah.
Diduga, kedua wringin kembar itu harus mengapit jalan yang disediakan untuk lalu lintas gajah kendaraan dinas raja. Keduanya juga dipakai untuk menambatkan gajah-gajah yang sedang diparkir.
Jarak antarkedua batang pohon itu begitu lebar (12 m), sampai bisa dipakai untuk pepe (berjemur) rakyat. Pepe ialah cara yang berbudaya untuk berdemo, meminta perhatian raja agar dapat diterima berdialog.
Pada zaman itu hanya Raja Mataram (yang kemduian sudah menaklukkan Sultan Pajang) yang boleh menanam beringin kembar.
Raja lain yang kecil-kecil dianggap menyaingin Maharaja Mataram kalau berani meniru, lalu dituduh menantang.
Raja Jawa lain, dropping dari pusat, seperti Adipati Jepara, Purbaya (Madiun), Tuban, Gresik, dan lainnya, boleh meniru menanam pohon beringin di alun-alun depan keratonnya. Tetapi hanya sebatang.
Begitu pula para bupati yang diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda di luar daerah kerajaan Mataram. Mereka dikukuhkan dengan pohon beringin tunggal di depan rumah kabupatennya.
Pada zaman sekarang, tradisi menanam beringin masih saja dilakukan oleh para pembesar sipil dan militer Republik yang meresmikan gedung-gedung, seperti gedung koperasi susu sapi, gedung Akademi Kulit, atau pabrik PT Sandal Jepit Tbk. (terbuka).
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR