Selanjutnya yang ditugaskan untuk melaksanakan perombakan pada radio-radio itu adalah Bapak Yusuf, yang pada zaman Hindia Belanda menjadi dealer radio Philips dan Erres untuk kota Garut dan dengan demikian dipegawainegerikan, entah secara honorer atau tetap!
Saya tadi memakai kata perombakan, karena tiap radio dibuat sedemikian rupa (istilahnya pada waktu itu disegel), sehingga kita tidak mungkin mendengarkan lagi siaran luar negeri.
Jadi hanya dapat mendengarkan siaran-siaran pada gelombang antara 50 dan 130 meter, yaitu gelombang di mana siaran-siaran dalam negeri disiarkan dan barang siapa yang mencoba membuka segel itu dapat dihukum mati!
Hal ini disebutkan juga dalam buku Brugmans.
Tiap pemegang radio mempunyai surat izin memegang radio dan di muka rumah tiap pemegang izin radio dipasang papan kecil, kira-kira 15 cm panjangnya dengan huruf Katakana Jepang yang berjudul Ra Ji Yo disertai nomor surat izinnya, sehingga kita bisa mengetahui di rumah mana yang ada radio.
Hal itu berlaku terus hingga bulan Agustus 1945.
Setelah proklamasi kemerdakaan orang-orang secara spontan memutuskan segel itu, sehingga orang dapat mendengarkan dengan leluasa siaran-siaran, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Pembatasan mendengarkan siaran radio saya alami lagi pada zaman, Dwikora, tahun enam puluhan, yaitu ketika Radio Malaysia secara resmi dilarang untuk didengarkan.
Tetapi pada waktu itu tidak diambil tindakan-tindakan yang nyata. Pernah pada tahun 1964 saya berdinas di Yogyakarta, di suatu kampung dan yang kedengarah dari rumah-rumah penduduk hanya siaran Radio Malaysia.
Ketika kita menghadapi Belanda dalam persoalan Irian Barat, maka Radio Hilversum (Belanda) tidak pernah dilarang.
Demikian juga BBC (Radio Inggris) selama Dwikora. Demikianlah beberapa pengalaman tentang pembatasan mendengarkan radio yang pernah terjadi di Indonesia ini.
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1983)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR