Intisari-Online.com -Tanggal 11 September kemarin diperingati sebagai Hari Radio Nasional. Pada masa pergerakan, radio mempunyai peranan yang cukup strategis.Jika ada yang paling berjasa atas proklamasi RI 17 Agustus 1945, tak lain dan tak bukan adalah radio. Radio, menjadi satu-satunya media yang paling efektif untuk menyimak informasi dari luar negeri, juga menyiarkan proklamasi ke pelosok negeri. Ya, radio adalah pembuka dan penghubung proklamasi.
Tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar berita melalui radio BBC bahwa Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Demi upanya mengantisipasi segala kemungkinan, Sjahrir mendesak Sukarno agar memproklamasikan kemerdekaan. Tak perlu menunggu sampai tanggal 24 Agustus seperti yang dijanjikan pemerintah militer Jepang.
Para pejuang bawah tanah—yang didominasi golongan muda—juga satu pemikiran dengan Sjahrir. Lalu terjadilah apa yang kemudian hari disebuat dengan peristiwa Rengasdenglok, diculiknya Sukarno dan Hatta oleh pemuda dalam rangka merumuskan teks proklamasi dengan segera.
Tak sampai di situ, peranan besar radio juga berlanjut pasca proklamasi diumumkan. Di hari itu juga, teks proklamasi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Domei—sekarang ANTARA, Waidan B. Palenewen. Waidan menerima teks itu dari seorang wartawan Domei, Syahruddin.
Tak lama kemudian, Waidan mengintruksikan kepada F. Wuz agar berita proklamasi disiarkan selama tiga kali berturut-turut. Mengetahui teks itu mengudara, datang seorang Jepang ke kantor Domei dengan keadaan murka. Tanggal 20 Agustus, pemancar disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang masuk.
Salah seorang pemuda, Jusuf Ronodipuro, tak kehabisan akal. Dibantu oleh beberapa teknisi radio kawannya, dia mendirikan pemancar baru di Menteng 31, dengan kode DJK 1. Lalu dari sinilah proklamasi itu tersebar luas.
Lagi-lagi berkat radio, kali Radio Republik Indonesia sudah berdiri, pada 1951 merekam suara asli Sukarno membacakan teks proklamasi. Jadi, suara Bung Karno yang sedang membaca teks bukan yang direkam tanggal 17 Agustus 1945, tapi rekaman tersendiri yang diprakarsai oleh salah satu pendiri RRI, Yusuf Ronodipuro. (Berbagai Sumber)